Kafe itu tampak lengang di sore hari yang berangin. Aroma kopi yang pekat dan suara sendok kecil beradu dengan gelas memenuhi ruangan. Jiwon duduk di sudut, memutar cangkir kopinya perlahan, matanya menatap kosong ke arah pintu masuk. Dia tak pernah menyangka sore itu akan berubah menjadi titik balik yang mengejutkan.
Yeaji duduk di depannya, wajahnya sedikit pucat namun tetap dengan senyumnya yang biasa. Seolah tak ada yang salah. Mereka sudah lama tidak bertemu, dan saat Yeaji mengundangnya ke sini, Jiwon mengira itu hanya akan menjadi obrolan ringan antara dua teman lama.
Namun, kalimat berikutnya dari Yeaji membuat segalanya berubah drastis.
“Jiwon, aku ingin kau menikah dengan Soohyeon.”
Jiwon tersentak, tangannya yang memegang cangkir langsung berhenti bergerak. Matanya membulat, menatap Yeaji dengan pandangan tidak percaya. “Apa?” suaranya serak, hampir tak terdengar di antara suara bising mesin kopi di belakang mereka.
“Aku serius. Kau harus menikah dengan Soohyeon.”
Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Jiwon menelan ludah, berusaha memastikan dia tidak salah dengar. "Are you crazy?" katanya akhirnya, suaranya agak meninggi. Dia tertawa kecil, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari mulut sahabatnya itu. "Kamu gak bercanda, kan?"
Yeaji tidak tertawa. Dia tetap tenang, dengan wajah yang tak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda keisengan. Malah, matanya tampak lebih serius dari biasanya. “Aku tidak bercanda, Jiwon,” ucapnya, suaranya tenang namun penuh tekanan. "Aku minta tolong padamu."
“Yeaji, apa yang kamu omongin? Kamu dan Soohyeon...” Jiwon berhenti sejenak, mencari kata yang tepat. “Kalian masih menikah! Gila saja kalau aku—”
“Kami sudah cerai,” potong Yeaji, datar.
Sekali lagi, Jiwon terdiam. Kali ini lebih lama. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Matanya menyipit, mempelajari wajah Yeaji seolah-olah ingin memastikan ini bukan mimpi buruk yang nyata. “Kalian... sudah cerai?” suaranya gemetar. “Sejak kapan?”
“Sudah beberapa minggu. Itu sebabnya aku menghubungimu sekarang.”
Jiwon menunduk, mencoba mencerna informasi baru itu. Soohyeon dan Yeaji sudah bercerai? Pertanyaan-pertanyaan membanjiri pikirannya, tapi sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, Yeaji melanjutkan.
“Aku kena kanker, Jiwon,” katanya, suaranya hampir seperti bisikan yang menyayat hati. “Stadium dua.”
Jiwon menahan napas. Detik itu, segalanya seperti terhenti. Dunia di sekitarnya, aroma kopi, suara mesin espresso, semua hilang. Yang ada hanya dia dan Yeaji, duduk berhadapan di tengah kabut kenyataan yang mendadak menghantamnya.
“Apa?” gumam Jiwon, perlahan. “Kanker...?”
Yeaji mengangguk. "Iya. Stadium dua. Itu sebabnya aku minta cerai dari Soohyeon. Aku nggak mau dia hidup dalam ketidakpastian. Dia nggak perlu merawatku... Aku nggak mau menyiksanya dengan penyakitku ini.”
Jiwon tidak bisa berkata-kata. Tangannya yang semula gemetar kini perlahan mengepal di atas meja. “Eonnie... kamu nggak bisa melakukan ini sendirian. Soohyeon harusnya tahu—”
“He knows,” potong Yeaji dengan cepat. “Dan itu sebabnya aku minta dia buat biarin aku pergi. Aku nggak mau jadi beban untuknya.”
“Tapi cerai?” Jiwon berbisik, masih tak percaya. “Kamu pikir itu solusi terbaik?”
Yeaji menghela napas panjang, matanya menerawang. "Aku tahu Soohyeon. Setelah aku pergi... dia bakal sendirian. Dia nggak bisa hidup begitu. Aku tahu dia butuh seseorang di sampingnya, Jiwon. Dan aku pengen kamu orangnya."
Jiwon terdiam, tatapannya nanar. “Jadi kamu bercerai dengannya, dan sekarang kamu... mau aku menikahinya?” Nada suara Jiwon berubah jadi kecut, hampir seperti ejekan. "Kamu serius? Itu bukan cuma ide gila, it's damn crazy. Itu..."
“Jiwon,” suara Yeaji terdengar lebih serius sekarang, nyaris memohon. "Aku nggak punya pilihan lain. Aku mau dia bahagia. Dan aku tahu kamu orang yang bisa bikin dia bahagia."
“Kamu pikir aku bisa melakukan itu?” Jiwon membalas dengan nada yang tajam. “Ini bukan sekadar permintaan biasa. Kamu minta aku ambil alih hidup seseorang—suamimu. Mantan suamimu, love of your life.”
Yeaji terdiam sejenak sebelum akhirnya mengucapkan kata-kata yang membuat Jiwon menggigil. "Jiwon, ingatkan aku, siapa yang menyelamatkan ibumu?"
Kalimat itu menghantam Jiwon dengan keras. Dia tersentak, tiba-tiba teringat kembali ke masa lalu. Ibu Yeaji... Wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu sendiri, telah menyelamatkan nyawa ibunya dengan mendonorkan jantungnya. Mereka masih anak-anak waktu itu, tapi itu adalah sesuatu yang tidak mungkin dilupakan Jiwon.
Yeaji melanjutkan, nadanya berubah lembut namun penuh tekanan. "Ibu kamu hidup karena ibu aku memilih buat ngasih jantungnya. Aku nggak pernah minta balas budi, Jiwon. Tapi sekarang... aku benar-benar butuh bantuanmu."
Jiwon menggigit bibirnya, tubuhnya terasa kaku. Sekarang semuanya masuk akal. Mengapa Yeaji membicarakan hal ini, mengapa dia merasa berhak untuk meminta sesuatu yang begitu besar. Tapi tetap saja, Jiwon tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar. “Jadi, kamu mengungkit soal donor jantung itu supaya aku merasa bersalah?” tanyanya lirih, penuh luka.
“Aku nggak mau bikin kamu merasa bersalah,” balas Yeaji, matanya penuh dengan air mata yang tertahan. “Aku cuma... Aku tahu ini banyak buat diminta. Tapi aku nggak punya banyak waktu. Kalau aku... kalau aku mati, aku nggak bisa tenang kalau aku tahu Soohyeon sendirian.”
Jiwon menarik napas panjang, menundukkan kepalanya, menghindari tatapan Yeaji. “Ini salah. Ini nggak benar, aku mau pulang.” tukasnya.
“Yang nggak benar adalah Soohyeon hidup sendirian setelah aku pergi,” sahut Yeaji dengan tegas. “Aku minta tolong, Jiwon. Ini permintaan terakhirku. Tolong jaga dia.”
Jiwon menggigit bibirnya, perasaannya campur aduk. Ini bukan tentang utang budi lagi. Ini tentang sesuatu yang jauh lebih besar dari itu. Permintaan ini... terlalu berat untuk dipenuhi, tapi terlalu berat juga untuk ditolak.
“Pikirkanlah,” Yeaji menutup pembicaraan dengan tenang, mengakhiri tekanan emosional yang tak terlihat itu. "Aku nggak akan memaksa. Tapi kamu tahu apa yang aku harapkan."
Yeaji berdiri, meraih tasnya, lalu menatap Jiwon sekali lagi dengan senyum yang dipaksakan. "Terima kasih sudah mau bertemu, Jiwon. Aku pamit dulu."
Saat Yeaji berjalan keluar dari kafe, Jiwon tetap duduk diam, terjebak dalam pusaran perasaan yang tak mampu dia ungkapkan. Kafe yang tadinya terasa hangat kini terasa dingin dan hampa. Kata-kata Yeaji terus bergaung di telinganya, mengingatkannya pada sesuatu yang tak bisa dia hindari—sebuah pilihan yang akan mengubah segalanya.
Dan di tengah kekacauan itu, Jiwon hanya bisa menunduk, menatap cangkir kopi yang kini sudah dingin, mencoba mencari jawaban yang tak kunjung datang.
Menikahi mantan suami sahabatnya. Hahahaha... dunia pasti sudah gila. Apa kata orang nanti? Bisa-bisa Jiwon dikira perebut suami orang, padahal Yeaji sendiri yang menawarkan. Gadis itu melangkah gontai, keluar dari kafe dengan perasaan yang berkecamuk.
🍀
ditulis pada: 11092024
diunggah pada: 13092024cek ombak only. dilanjut kapan-kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✅Ruang Tanpa Waktu | Kim Soohyun Kim Jiwon
General FictionJiwon tidak menyangka pertemuan di sebuah kafe dengan Yeaji, sahabat masa kecilnya, akan mengubah hidupnya selamanya. Yeaji meminta Jiwon untuk melakukan sesuatu yang tak pernah terbayangkan-menikahi mantan suaminya, Soohyeon. Jiwon terjebak dalam s...