Prolog

212 103 85
                                    

Anak yang malang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anak yang malang. Kegiatan sehari-hari yang ia lakukan hanyalah menatap pemandangan luar dari jendela yang tertutup. Daun-daun di luar bergerak terbawa angin, namun angin itu tidak memasuki ventilasi. Anak-anak seusianya tertawa di luar, berlari kesana-kemari, namun suaranya tetap kedap. Hujan, fenomena yang juga sering ia perhatikan, tidak lebih dingin dari kamar ini.

Anak kecil yang baru menginjak usia lima tahun, sudah merasakan dunia yang sunyi. Dari pagi hingga malam, yang ia lihat hanya kesedihannya sendiri. Dinding kamar itu dipenuhi coretan krayon berwarna-warni—satu-satunya hiburan yang ia lakukan dalam keterbatasan.

Setiap malam, ia duduk meringkuk di atas kasur. Lututnya ditarik erat ke dada, sementara dagunya bertumpu pada lengannya yang terlipat. Tatapannya kosong, seolah menanti kehadiran seseorang yang selalu menghangatkan.

Seorang wanita, yang selalu menggunakan syal berwarna merah bergaris, sering kali mengunjunginya. Terkadang, ia memberikan mainan atau pun secarik surat melalui jendela. Kedatangannya sedikit memberikan warna pada hidup seorang anak yang kesepian. Namun sudah beberapa hari, ia tidak kunjung datang lagi.

"Ke mana perginya dia?" pikirnya, tatapannya kembali murung. "Padahal aku selalu senang akan kehadirannya, walaupun dari jauh."

Dan tak seperti anak-anak lain seusianya, matanya tak pernah memancarkan cahaya. Hidupnya terlalu sepi, terlalu hampa. Satu-satunya yang riuh adalah pikirannya sendiri: apakah seorang anak kecil pantas merasakan kesedihan sebesar ini?

"Setiap kali kesepian menghantui, aku hanya ingin bertemu ibu," batinnya, selalu menangis setiap malam tiba. "Kata ayah, ibu sudah pergi meninggalkanku saat aku bayi, tapi apakah itu adil? Aku bahkan belum mengenal, bagaimana wajahnya... aku belum pernah dengar, bagaimana suaranya... tidakkah seharusnya sekali saja aku merasakan itu?"

Ayahnya sibuk bekerja. Dari pagi hingga malam, ia bahkan tidak benar-benar memperhatikan tumbuh kembang anaknya. Makan pagi, siang, dan malam, selalu ia siapkan di kulkas. Ia juga mengajarkan pada anaknya tentang kehidupan mendasar, seperti memanaskan makanan pada microwave. Mengajarkan anaknya untuk mandiri, meskipun belum waktunya.

Tepat dua tahun berlalu, ketika anak laki-laki itu menginjak umur tujuh tahun, akhirnya perhatian dari ayahnya sedikit terlihat.

Suatu hari ayahnya masuk ke kamar, langkahnya terasa ikut kedap saat memasuki ruangan. Pria dewasa itu mulai memperhatikan postur tubuh anaknya yang mulai meninggi, bukan lagi anak kecil yang mengintip jendela dengan bantuan bangku.

"Hei, kenapa kamu sudah besar? Maafkan ayah, ayah selalu tidak punya waktu untukmu," ujarnya, merasa terpukau, namun juga dihantui rasa bersalah.

Untuk pertama kali, dalam hidupnya, anak itu mengeluarkan senyum paling bahagia di wajahnya. Tetapi, senyum itu tidak bertahan lama. Keesokan hari, atau bahkan hari-hari selanjutnya, ayahnya akan tetap melakukan kesalahan yang sama.

Mungkin siklus manusia memang seperti itu. Merasa bersalah, meminta maaf, lalu mengulanginya lagi.

Dan, ia kembali kesepian.

---

Serendipity SonataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang