Trauma masa lalu, atau bisa dikatakan luka batin adalah peristiwa atau pengalaman buruk yang berdampak pada psikologis seseorang. 'Dampak' itu bukanlah sekadar kata, namun dapat berpengaruh pada kelanjutan hidup sang pengidap. Karena jiwa yang sehat adalah jiwa yang terbuka.
Seseorang yang memiliki trauma masa lalu mungkin akan merasa takut kehilangan, sulit mempercayai orang lain, dan yang paling menyakitkan adalah... mengalami flashback dengan rasa sakit yang sama. Rasa sakit itu dapat kambuh, tanpa aba-aba.
Manusia memiliki dua pilihan. Tidak akan pernah sembuh jika tidak dikeluarkan. Atau dipaksa keluarkan, walaupun sangat sulit.
Park Sung Jae, memasuki usia pertengahan remajanya, yaitu tujuh belas tahun. Luka masa kecil masih selalu menghantuinya hingga saat ini. Namun ia merasa, perjalanan hidupnya masih panjang. Ia tidak mau terjebak di masa kelam itu lebih lama lagi. Ia hanya ingin merasakan kehidupan selayaknya orang lain.
Sung Jae hanya hidup bersama sang Ayah. Ia dibesarkan tanpa adanya dukungan emosional dari seorang ibu, yang sekarang membuatnya susah untuk mengungkapkan kesedihan. Dampak positifnya, Sung Jae tumbuh menjadi anak yang kuat. Namun, akan sekuat apa manusia menahan rasa sakit? Dan akan sampai kapan manusia mampu menampung kesedihannya seorang diri?
Ayah Sung Jae orang yang keras.
"Anak lelaki tidak boleh menangis. Anak lelaki tidak boleh lemah." Kalimat yang sering ia tegaskan. Sedangkan dalam pertumbuhan emosional anaknya, peran ia sama sekali tidak terlihat. Bagaimana anaknya akan tumbuh menjadi seorang yang kuat? Ia saja sudah dibuat rapuh.
Terkadang, maksud orang tua sebenarnya selalu baik. Mereka tidak ingin anaknya ketergantungan atas bantuan orang lain. Mereka ingin anaknya berdiri di kaki sendiri. Namun mereka lupa, anak juga manusia yang tidak luput dari kelemahan.
---
"Cuaca hari ini panas sekali, yah! Tetapi, kota Andong selalu punya udara yang sejuk," cetusnya, mengambil banyak oksigen. "Berat rasanya meninggalkan kota, dan rumah ini." Sung Jae tidak berhenti menatap setiap sudut rumah yang akan ia tinggalkan.
"Semoga kita bisa kembali ke rumah ini, setelah pekerjaanku selesai." Suara ayah juga terdengar berat, sama halnya dengan apa yang dirasakan anaknya. Bagaimana tidak sulit, mereka sudah hidup di rumah ini kurang lebih selama 18 tahun.
Meninggalkan zona nyaman memang sulit, namun tidak mungkin hanya hidup di ambang air yang tenang.
Sung Jae mengangguk perlahan, dan tersenyum pasrah melepas kesedihan. Ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan pindah ke kota yang jauh lebih besar, dan terdengar asing.
Sepanjang perjalanan, ketakutan akan segala hal mulai muncul perlahan. Ayahnya menyetir mobil dengan fokus, tidak pernah menoleh sekalipun ke arah Sung Jae. Perjalanan mereka hanya diisi oleh suara mesin mobil yang menjadi pengisi kesunyian. Sung Jae berpikir, pindah ini bukan hanya tentang pekerjaan ayah—ini tentang melarikan diri dari sesuatu, meskipun ia belum sepenuhnya paham dari apa.
Mobil terus melaju, melewati pemandangan hijau kota Andong yang membentang. Sung Jae tahu, tak peduli seberapa cepat mereka pergi, ada sesuatu yang tak akan pernah bisa ia tinggalkan sepenuhnya dari rumah itu.
Sudah sekitar 2 jam perjalanan yang mereka tempuh, pemandangan mulai berubah. Gedung-gedung tinggi yang berbaris rapi mulai terlihat di kejauhan, seolah menyambut kedatangannya dengan meriah. Sung Jae merasa perutnya mulai keroncongan, namun perjalanan tak kunjung sampai juga.
Mengalihkan rasa lapar itu, Sung Jae membuka buku diary-nya. Dan mulai menulis tentang kota baru, yang sedang dirinya telaah.
Seoul
Aku sudah sampai di kota Seoul.
Aku sudah jauh dari bilik kamar yang selalu ia kunjungi—wanita itu.Lebih dari 10 tahun aku menunggu kehadiranmu kembali, namun nyatanya nihil.
Dan sekarang aku sudah jauh, kamar itu sudah tidak berpenghuni.
Di mana pun kamu berada, aku selalu ingin bertemu denganmu, lagi.---
Mobil ayah berhenti tepat di parkiran apartemen. Apartemen ini akan menjadi tempat tinggal mereka beberapa tahun ke depan. Sung Jae mulai mengangkut dua buah koper dari bagasi mobil, dan sisa barang bawaan mereka diangkut ayahnya.
Suasana senyap menyelimuti lorong sempit yang mengarah ke pintu unit mereka, mencipatakan harapan baru untuk menjalani hidup lebih baik. Ayah membuka pintu, memaparkan ruangan yang masih kosong. Dinding putih bersih, lantai kayu yang memantulkan langkah kaki mereka dengan jelas, dan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota yang begitu padat.
Sung Jae langsung bergegas ke kamar yang akan ia tempati, wajahnya sangat semringah. "Wah! Kamar ini sangat terang, tidak seperti kamarku kemarin. Temboknya juga masih putih polos, belum ada goresan-goresan krayon-ku." Ia merasakan banyak debu berterbangan di antara siluet cahaya. "Kamar ini sedikit berdebu. Namun tidak apa, akan kurawat kamar ini sepenuh hati." Mata tidak bisa berbohong, bahwa nyatanya ia sangat bahagia.
Sung Jae memandangi buku diary sejenak, lalu menghela napas panjang sebelum meletakkannya di atas meja belajar yang sudah tersusun. Mungkin ini akan menjadi hari di mana ia akhirnya mencoba memahami masa lalu. Atau mungkin ... akan menjadi hari-hari yang selalu dihantui kebingungan?
Ayah selalu diam, membisu.
Aku hidup bersama ayah delapan belas tahun, tapi hidup bersama saja tidak cukup kalau aku tidak bisa mengenalinya.
Kenapa ayah tidak mampu menceritakan masa lalunya? Yang justru itu juga bagian dari masa laluku—tentang ibu."Mengapa hidupku selalu dihantui pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tidak memiliki jawaban?"
"Mengapa ibu pergi? Kalau sayang, tidak mungkin meninggalkan, bukan?"
Aku yakin, ibu punya alasan. Tapi apa?
Apa alasan terbaik untuk membela diri karena telah meninggalkan anaknya?Hidup tanpa ibu tidak mudah.
---
Di pagi, siang, dan sore hari, mungkin Sung Jae akan terlihat baik-baik saja. Ia akan menjadi pribadi yang ceria, menyenangkan, dan penuh energi. Namun saat malam tiba, kepribadiannya terasa ganda. Ia akan mengeluarkan pribadi yang murung, kesepian, dan menyedihkan.
Mungkin ia bisa menjadi matahari yang cerah di pagi hari. Namun saat malam, ia tidak bisa menjadi bulan yang cerah untuk bumi.
Dan ternyata benar, apartemen baru dengan suasana yang berbeda tidak mampu menghapus luka batin yang mengakar dalam diri Sung Jae. Meski dinding-dindingnya bersih dan udara terasa segar, saat malam tiba, semuanya kembali menyeramkan. Ketakutan yang ia coba sembunyikan di siang hari kembali merayap tanpa ampun. Setiap detik yang berlalu terasa mencekik, membuat dadanya sesak, dan pikirannya dipenuhi bayangan kelam dari masa itu.
Seperti malam-malam yang selalu ia lalui, tubuhnya gemetar di bawah selimut tebal yang membungkusnya. Detak jantungnya berdetak sangat kencang. Ia tahu, tidak ada yang bisa melindunginya, bahkan selimut yang selalu menjadi pelarian sementara. Kegelapan kamar seakan memperkuat kecemasan yang tidak pernah benar-benar hilang.
Sung Jae hanya bisa bersembunyi, berharap rasa panik itu akan mereda, sampai ia tertidur pulas.
---
Thanks to Beyonce, jangan lupa vote dan komennya guys<( ̄︶ ̄)>
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity Sonata
Teen Fiction[𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐈𝐍𝐈 𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐔𝐍𝐓𝐔𝐊 𝐃𝐈𝐏𝐋𝐀𝐆𝐈𝐀𝐓!!!] "Meski perjalanan ini baru dimulai, setidaknya aku tak lagi berjalan sendirian."-Serendipity Sonata . . . Serendipity Sonata adalah lambang dari kisah pertemuan tak direncanakan antar...