04. Bangunan Tanpa Suara

20 10 24
                                    

"Terima kasih, Sung Jae

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Terima kasih, Sung Jae. Maaf, aku jadi merepotkan." Tangan Seo Ra berusaha melepas helm milik Sung Jae, memang selama perjalanan, helm itu akhirnya dipakai Seo Ra.

Sung Jae membisu, namun tangannya membantu Seo Ra melepaskan helm-nya. "Sama sekali tidak merepotkan, justru aku senang bisa mengenalmu," sahut Sung Jae menjawab perkataan Seo Ra sebelumnya.

Mereka saling tersenyum, keduanya merasa sangat bersyukur telah dipertemukan. "Hati-hati di jalan, sekali lagi terima kasih atas tumpangannya." Seo Ra tersenyum, dan berjalan menuju gerbang rumahnya.

Pria itu melambaikan tangan, dengan mata yang menyipit, seperti menandakan ia juga tersenyum di balik helm. Motor Sung Jae melaju, tanpa menoleh lagi.

Setiap memasuki rumahnya sendiri, situasi hati Seo Ra kembali abu. Di rumah yang besar ini, rasanya Seo Ra hanya hidup sendiri. Karena... mempunyai kedua orang tua yang lengkap, tidak menjamin seorang anak akan bahagia.

Semua orang tau, bahwa kedua orang tua mati-matian mencari uang untuk kebahagiaan sang anak. Tapi siapa sangka, bahwa kebahagiaan anak adalah kehadiran orang tua di sisinya.

Seo Ra memiliki hidup dengan ekonomi serba cukup, namun perhatian dan kasih sayang orang tua tidak pernah ia rasakan penuh. Ayah dan ibu, setiap hari bekerja dari pagi hingga malam.

Saat Seo Ra kecil, orang tua Seo Ra sering kali menggunakan jasa pengasuh untuk menemani Seo Ra di rumah. Entah sudah berapa puluh pengasuh yang menyerah terhadap perilaku Seo Ra, karena ia terus memberontak. Tidak sesekali Seo Ra mendapat kekerasan dari para pengasuhnya, namun ia tidak pernah bercerita.

"Pergi! Aku hanya ingin ayah dan ibuku!" rengekan anak kecil berumur lima tahun itu memenuhi satu ruangan.

Salah satu pengasuh, yang baru saja dipekerjakan, tampak lebih kesal daripada yang sebelumnya.

"Berhenti menangis! Dasar anak nakal!" bentaknya. Dengan kasar, ia menarik tangan kecil Seo Ra, membuat gadis kecil itu terjerembab ke lantai.

Seo Ra menangis lebih keras, merasa sakit dan ketakutan. Pengasuh itu mengabaikan tangisannya, memilih untuk membanting pintu dan meninggalkan Seo Ra sendirian di lantai.

Setiap malam, gadis kecil itu hanya memandangi jendela kamarnya, berharap mobil yang ia kenal berhenti di depan rumah. Satu-satunya tempat pelindung, namun terlihat sangat jauh.

Gadis kecil yang malang itu, tidak dapat membela atas apa yang telah ia terima.

Saat orang tua Seo Ra pulang, mereka tidak pernah tahu apa yang terjadi. Mereka hanya melihat Seo Ra yang semakin pendiam dan menghindari kontak mata, tidak menyadari bahwa di balik hilangnya senyuman kecil putri mereka, ada luka yang mendalam.

"Seo Ra, sini sayang," panggil ibunya, mengulurkan tangan untuk memeluk anaknya. Seo Ra mendatangi dekapan peluk itu, dan tangisnya pecah di sana.

"Apa yang terjadi, Seo Ra? Kamu sakit?" Seo Ra masih terisak-isak dengan tangis yang sesak, pengasuh itu mengalihkan kondisi.

"Itu bu, tadi Soe Ra terjatuh saat lantai sedang licin," timpal pengasuh bejat itu membalikkan fakta.

Mendengar kebohongan darinya, tangis Seo Ra semakin menjadi. Rasanya ia ingin mengeluarkan kalimat yang berisi kebenaran, tapi tenggorokannya terasa mencekik. Ibunya tentu lebih mempercayai perkataan orang dewasa seumurannya, padahal tidak semua perkataan orang dewasa benar.

---

Keesokan harinya, pengasuh yang sama kembali datang dengan sikap yang semakin kasar. Setiap kali Seo Ra menangis, pengasuh itu memperlakukan Seo Ra dengan lebih keras dan lebih menekan. Memukul, menarik, dan menjambak rambu Seo Ra dengan brutal. Perlakuannya sama persis seperti psikopat.

Dan puncaknya di suatu hari, setelah seharian mengalami perlakuan kasar, tubuh Seo Ra yang semakin mengurus, tidak mampu lagi menahan sakit. la terjatuh ke lantai, tubuhnya lemas dan tidak bergerak. Yang awalnya padangan Seo Ra kabur, sekarang hanyalah warna hitam pekat. Pengasuh itu melihat Seo Ra tergeletak di lantai, panik dan ketakutan.

Berusaha membangunkan dengan menggoncang tubuh Seo Ra dengan keras. "K-kenapa anak ini tidak bergerak!" panik pengasuh tersebut, merasa terjebak dalam situasi yang mengerikan. Dalam kepanikan, ia hanya memikirkan bagaimana cara melarikan diri dari masalah ini. Dengan terburu-buru, pengasuh itu menidurkan Seo Ra di atas kasurnya. Memanipulasi keadaan, agar Seo Ra terlihat sedang tidur pulas. Lalu pengasuh itu menelpon Ibu Seo Ra, dan beralasan untuk pulang kampung. Padahal, ia melarikan diri dari kejahatan yang telah dilakukan.

Saat orang tua Seo Ra pulang, ibunya langsung menghampiri kamar Seo Ra—yang setaunya sedang tertidur.

"Seo Ra," panggilnya, dan meletakkan tangannya di kening gadis itu, berniat mengelus rambutnya. "Seo Ra? Kamu demam? Badan kamu panas sekali!" Ia panik, dan terbirit-birit memanggil suaminya untuk ke rumah sakit.

Dan hingga saat ini, mereka tidak mengetahui bahwa di balik kejadian hari itu, ada cerita yang menyakitkan dan penuh luka yang tersembunyi. Ada anak kecil yang hampir mati, di tangan orang asing.

Sekarang, masih di rumah yang sama, dan dengan kesunyian yang terkubur di setiap sudut ruangan. Di umur Seo Ra yang ke tujuh belas tahun ini, justru luka batin Seo Ra semakin menambah. Ibarat sayatan baru yang menggoreskan luka baru, di atas luka yang lama. Setiap sudut ruangan seperti menyimpan kenangan masa lalu yang tak pernah bisa ia lupakan.

---

Sung Jae membuka pintu rumahnya. Pintu apartemen itu akhirnya dikunjungi angin luar lagi, walau hanya sekejap. Dan saat Sung Jae kembali menutup pintu itu, suasana sepi dan dingin langsung menyambutnya, sama seperti yang selalu ia rasakan sejak kecil. Sung Jae melepas tas dan melemparkannya ke pojok ruangan sebelum berbaring di kasur.

Ia menghela napas, "Hari ini cukup melelahkan, tapi aku senang," ujar Sung Jae menatap langit-langit, selayak sedang berbicara oleh seseorang.

Sung Jae merasa aman sejenak, tapi pikirannya tak bisa berhenti memikirkan Seo Ra. "Ada sesuatu yang berbeda tentang gadis itu."

Setiap kali mata mereka bertemu, Sung Jae merasa seperti melihat tatapan seseorang yang sedang menyimpan sesuatu, tapi apa?

Pertanyaan itu selalu menggantung di udara. Namun, Sung Jae terlalu takut untuk bertanya. Takut mendengar jawaban yang mungkin tidak siap ia pahami, dan takut jika Seo Ra menceritakan hal yang akan membuat ia terluka.

Hari ini berjalan lancar, bu.
A

ku berhasil melawan rasa takutku.
Aku berhasil mendapat teman baru, Lee Seo Ra.
Nama yang cantik, bukan?
Seo Ra memang cantik.
Rambutnya hitam pekat dan panjang, aku paling suka tatapan matanya.
Entah ia menyimpan luka apa dalam tatapan itu, tapi matanya sangat indah.
Hitam pekat, dan berbinar.

Namun di satu sisi, aku merasakan sesuatu pada Seo Ra, yang mengingatkanku pada diri sendiri.
Melihat Seo Ra berjuang dengan serangan paniknya, aku tidak bisa tidak merasa terhubung dengan rasa sakit yang ia rasakan.
Terkadang, aku merasa seakan-akan diriku terperangkap dalam labirin.

Aku berharap bisa membantu Seo Ra menemukan kedamaiannya.
Karena ada sesuatu dalam senyumnya yang membuatku percaya bahwa mungkin kita bisa saling mendukung dan menyembuhkan satu sama lain.
Dan mungkin, dalam prosesnya, aku juga bisa menemukan cara untuk menyembuhkan diriku sendiri.

Menutup buku diary dan kembali menaruhnya di rak. Sung Jae selalu melakukan rutinitas itu setiap hari—menulis. Karena menurutnya, tulisan itu adalah cara ia berkomunikasi dengan ibunya.

---

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Serendipity SonataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang