Di tengah fokus para murid mengikuti pelajaran, bel istirahat pun akhirnya berbunyi.
"Baik, anak-anak, saya tutup dulu pelajaran kita untuk hari ini," pamit guru, dengan sambutan meriah para murid yang merasa lega telah melewati pelajaran Matematika hari ini.
Para siswa dan siswi satu persatu berdiri dari duduknya, dan bergantian keluar kelas. Kelas yang tadinya dipenuhi manusia, kini hanya tersisa Sung Jae dan Seo Ra. Mereka masih terdiam satu sama lain, canggung, dan hening.
Namun keheningan itu lebur tiba-tiba. Seo Ra beranjak dari duduknya, gerakan tubuhnya seakan memberi jalan untuk Sung Jae keluar, walaupun tidak ada sepatah kata yang diucapkan.
"Aku tidak ingin ke kantin," ujar Sung Jae, yang mengerti dengan kode gerakan gadis itu.
Acuh tak acuh, Seo Ra kembali duduk. Ia mengeluarkan kotak bekal yang berisi beberapa buah sandwich. Tangannya meraih tisu dari Sung Jae yang belum ia gunakan, lalu membalut satu potong sandwich di atas tisu itu, dan memberikannya pada Sung Jae.
Sung Jae menatapnya sejenak, ragu apakah harus menerimanya atau tidak. Ia menoleh ke arah Seo Ra yang kini sedang memakan sandwich-nya seraya menatap keluar jendela, seolah mengabaikan kebisuannya.
"Aku tidak lapar," sahut Sung Jae pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan mereka.
Seo Ra tetap diam, tidak memaksa. Ia mengerti Sung Jae bukan orang yang mudah untuk diajak bicara. Tapi entah mengapa, di saat-saat tertentu seperti sekarang, ia merasa Sung Jae hanya butuh waktu dan ruang. Jadi, Seo Ra membiarkan semuanya berjalan dengan tenang.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya Sung Jae meraih sandwich yang diletakkan di atas tisu itu. Sung Jae mengerti, ini adalah cara Seo Ra menunjukkan bahwa ia telah menerima kehadirannya.
"Aku tahu rasanya," kata Seo Ra tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh arti. "Tidak ingin pergi ke tempat ramai, atau berada di sekitar orang lain."
Sung Jae terdiam, tangannya masih memegang sandwich itu dengan mulut yang penuh. Kalimat yang Seo Ra ucapakan berhasil membuat tatapannya berpaling dari makanan.
"Terkadang... keramaian itu terlalu banyak," lanjut Seo Ra. Secara mendadak, tatapan gadis itu berbalik ke arah Sung Jae, "Tapi bukan berarti kamu harus selalu sendirian."
Sung Jae membeku, tidak mampu merespons. Namun, tatapan matanya mulai melunak sedikit, seperti ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
"Maaf atas kejadian tadi, aku tidak bermaksud membuat orang lain merasa bersalah, atas segala rasa sakit yang sedang aku alami," timpal Seo Ra dari hati terdalam.
Sung Jae mengangguk pelan, matanya tetap tidak lepas dari Seo Ra. "Aku... aku mengerti." Walaupun sebenarnya ia tidak mengerti apa yang terjadi.
Seo Ra tersenyum lembut. Senyum yang sudah lama tidak ia keluarkan, terpecah di hari ini. Mata Seo Ra berbinar, menatap ke arah Sung Jae. Di dalam hatinya ia berharap, orang baru yang datang di kehidupannya tidak akan pergi lagi.
"Dia tersenyum..." Sung Jae terus terpana dengan senyum Seo Ra, tidak menyangka gadis dengan tatapan dingin itu memiliki senyum yang indah.
Dari sini Sung Jae sudah dapat menilai, bahwa Seo Ra orang yang tulus.
Karena orang yang tulus adalah orang yang sederhana: sederhana saat ia mengungkapkan kata, sederhana dalam diam, dan sederhana saat ia tersenyum.
Di tengah-tengah ruang kelas yang sunyi, ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka—sebuah pemahaman yang diam-diam berkembang tanpa perlu banyak kata, pengenalan yang mengalir tanpa paksaan, diam-diam mereka sudah mengerti satu sama lain.
---
Sung Jae sangat puas dengan perjalanan hari ini. Walaupun di awal terasa gagal, namun nyatanya memiliki ending yang baik. Ia menaiki motornya, tidak lupa memakai helm yang akan menutupi senyum lebarnya di sepanjang perjalanan pulang.
Baru 200m perjalanan yang Sung Jae tempuh, ia menghentikan motornya di tepi jalan. Sung Jae melihat keberadaan Seo Ra, yang sedang berjalan kaki tidak jauh di depannya. Tanpa berpikir panjang, Sung Jae menyalakan motornya kembali dan mengikuti Seo Ra, berniat untuk memberi tumpangan.
Namun tidak lama dari itu, Seo Ra menoleh ke belakang. Ia menyadari bahwa ada sebuah motor yang menguntitnya. Dan saat mata mereka bertemu, Sung Jae melihat ekspresi panik di wajah Seo Ra sebelum ia berbalik dan melarikan diri.
Jalanan yang sepi dan gelap membuatnya semakin khawatir. Sung Jae berusaha mempercepat laju motornya, tetapi Seo Ra tampak semakin menjauh. Meskipun jantungnya berdebar kencang, Sung Jae bertekad untuk mengejar dan mencari tahu apa yang membuat Seo Ra begitu ketakutan.
"Ada apa dengan Seo Ra? Mengapa dia melarikan diri dengan takutnya? Ketakutannya seperti ada bahaya yang sedang mengancam."
Tiba-tiba, terlihat langkah gadis itu melambat. Seo Ra menghentikan langkahnya, tubuhnya bergetar hebat, dan wajahnya tampak pucat. Dengan kondisi yang terengah-engah, ia tampak kesulitan menenangkan diri.
Pikirannya kalut. Seo Ra merasa setiap kendaraan yang ada di belakangnya, membuat ia seperti dikejar. Setiap ia berlari, ia akan terus terbayang-bayang dengan kejadian di masa lalu itu. Kejadian yang hingga saat ini membuat seorang Lee Seo Ra menjadi rapuh.
Sung Jae segera menghentikan motornya dan berlari menuju Seo Ra yang sudah berdiri lemas di tepi jalan.
"Seo Ra!" panggil Sung Jae penuh kekhawatiran. Ia paham apa yang sedang dialami Seo Ra, karena hal itu juga sering ia rasakan: panik attack atau serangan panik.
Saat Sung Jae semakin mendekat, Seo Ra menoleh dengan tatapan kosong, seakan tatapannya sudah kabur. "Tenanglah, Seo Ra. Aku di sini. Aku akan membantumu." Sung Jae merangkul Seo Ra dengan kedua tangannya. Ia merasa tubuh Seo Ra sangat lemah saat ini, seperti pohon yang akan tumbang.
Sung Jae meraih wajahnya, "Seo Ra, dengarkan aku. Coba tarik napas dalam-dalam, dan fokuskan perhatianmu padaku!" Sung Jae tahu, saat ini yang terpenting adalah membuat Seo Ra merasa aman dan membantu meredakan rasa cemasnya.
Napas wanita itu perlahan kembali normal, dengan wajah yang sudah putih memucat. Serangan panik ini membuat tubuhnya bercucuran keringat.
Sung Jae memberikan waktu Seo Ra sejenak, sebelum ia kembali melontarkan pertanyaan. "Apa kamu sudah merasa lebih baik? Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu seperti ini," lontar Sung Jae penuh penyesalan.
Seo Ra mengangguk, "Aku tidak apa-apa, ini bukan salahmu. Aku sudah salah paham," jawab Seo Ra menenangkan pria itu.
"Aku tahu betul rasanya serangan panik, pasti sekarang kamu merasa lelah, bukan?" Sung Jae tetap khawatir akan kondisi Seo Ra yang masih memucat.
"Aku baik-baik saja, Sung Jae. Tidak perlu khawatir."
"Baiklah, tapi... izinkan aku mengantarmu pulang, ya?" tanya Sung Jae, ia terlalu takut jika melepas Seo Ra jalan sendirian. Mendengar itu, Seo Ra hanya terdiam mengiyakan permintaan Sung Jae, seperti terhipnotis.
"Park Sung Jae, kamu mengingatkanku pada seseorang..."
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity Sonata
Teen Fiction[𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐈𝐍𝐈 𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐔𝐍𝐓𝐔𝐊 𝐃𝐈𝐏𝐋𝐀𝐆𝐈𝐀𝐓!!!] "Meski perjalanan ini baru dimulai, setidaknya aku tak lagi berjalan sendirian."-Serendipity Sonata . . . Serendipity Sonata adalah lambang dari kisah pertemuan tak direncanakan antar...