"Ayah berangkat, jaga rumah baik-baik! Hati-hati saat mengendarai motor ke sekolah!" Mata sembab nan sayu itu membaca notes yang tertempel di kulkas. Meski sudah pindah rumah pun, ayah selalu sibuk bekerja. Mungkin dalam sebulan hanya pulang sesekali, dan Sung Jae mengalami itu sejak ia kecil.
Terbayang anak berumur lima tahun yang berusaha tidur sendirian di gelapnya malam, mungkin saja ia tidak benar-benar tertidur pulas. Bagaimana kalau ia menangis tanpa celah, baru bisa tertidur karena lelah?-anak yang malang.
---
Hari pertama di sekolah barunya dimulai dengan perasaan campur aduk. Tentu rasa berdebar di jantungnya tidak kunjung henti. Perasaan senang, dan cemas membukit bersamaan.
"Aku harap ini awal yang baik, untuk hidup yang lebih baik," gumam Sung Jae, mengepalkan tangan erat pada stang motor. Ia berusaha meredakan ketakutan yang menghantui, menggantinya dengan pikiran positif. Meski begitu, rasa kalut masih menyelimuti saat ia mengendarai motornya.
Tiba di parkiran yang disediakan sekolah, Sung Jae memarkirkan motor ninja hitamnya mengikuti barisan. Melepas helm, lalu merapihkan dasi dengan hati-hati. Ia ingin hari ini berjalan dengan baik, tanpa melakukan kesalahan sedikit pun.
Sung Jae berjalan melawati lorong sekolah, tak henti mengamati murid-murid yang tampak sudah saling mengenal. Tak lama, bel masuk berbunyi, membubarkan ricuhnya para murid di lorong itu, menjadikan lorong yang sunyi-sekarang hanya tersisa Sung Jae seorang.
Terus menelusuri lorong yang panjang tanpa henti, hingga terlihat seorang gadis yang sedang menyendiri. Sung Jae menelan ludah spontan, bersiap untuk mengeluarkan kalimat tanya.
"P-permisi, kelas 11-2 di mana, ya?" tanya Sung Jae dengan suara sedikit bergetar.
Menyadari bahwa ada yang berbicara, gadis itu baru melepas earphone-nya.
"Maaf?" jawabnya meminta Sung Jae mengulangi perkataan.
"Kelas 11-2 di mana, ya?" Sung Jae mengatakan hal yang sama, namun tatapannya berubah ke arah nickname gadis itu. Ia tidak dapat melihat namanya dengan jelas, yang terlihat hanyalah identitas kelasnya-"11-2, Apa dia teman sekelasku?"
Dari arah belakang Sung Jae berdiri, terlihat seorang guru mendekat ke arah mereka. Menghiraukan pertanyaan Sung Jae, gadis itu langsung berlari masuk ke dalam kelas.
"E-eh?" cetusnya, merasa heran. Sung Jae belum menyadari kehadiran guru yang sekarang tepat berada di belakangnya. Dengan lembut, guru itu menyentuh pundak Sung Jae, membuatnya sedikit tersentak.
"Apa benar ini dengan Sung Jae? Siswa baru yang akan menempati kelas saya?" tanya guru tersebut dengan ramah. Cara ia berbicara menciptakan suara yang lembut, membuat Sung Jae merasa sedikit tenang.
Ia mengangguk pelan. "Iya benar, Bu. Saya Sung Jae," jawabnya, masih sedikit bergetar namun lebih santai dibandingkan sebelumnya.
"Bagus, mari ikut saya," perintahnya, sambil melangkah menuju pintu masuk. Sung Jae turut mengikuti pergerakan guru itu dengan tatapan penuh tanya.
Membuka pintu kelas secara perlahan, lalu mengucapkan kalimat salam, "Selamat pagi anak-anak!" Sapaan guru itu disambut kompaknya jawaban para murid. "Baiklah, Sung Jae. Silakan perkenalkan dirimu," lanjutnya, suaranya tenang di tengah keheningan.
Sung Jae berdiri di depan kelas dengan wajah pucat. Kedua tangannya terasa dingin, meski di dalam ruangan itu udara cukup hangat. Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, berharap kegugupan yang mengguncang dadanya dapat mereda. Semua mata kini tertuju padanya, dan ia merasa tenggelam dalam lautan tatapan yang tak kenal belas kasih.
"Na-nama saya... Sung Jae," katanya dengan suara yang nyaris berbisik. Tenggorokannya terasa mencekik. "Saya berasal dari Andong, dan baru saja pindah ke Seoul karena urusan pekerjaan ayah saya. Senang bertemu dengan kalian."
Tak ada yang menanggapi, hanya sunyi yang mengisi ruangan. Beberapa murid menatapnya tanpa minat, ada yang berbisik pelan di antara mereka, membicarakannya tanpa peduli ia bisa mendengar atau tidak, dan ada pula yang hanya sibuk dengan aktivitas mereka. Ini sama sekali bukan reaksi yang Sung Jae harapkan.
"Baik, Sung Jae. Silakan duduk di bangku kosong yang ada di sana," lanjut guru itu, menunjuk ke barisan belakang, di mana ada satu kursi kosong di sebelah gadis earphone yang menyendiri.
Sung Jae melangkah dengan canggung, kepalanya menunduk, berusaha menghindari pandangan semua orang. Namun ia kembali lega, bahwa dirinya sudah berhasil melawan rasa takut. Kursi kosong yang akan ia duduki, tepatnya di samping jendela, yang artinya Sung Jae harus melewati gadis itu terlebih dulu.
"P-permi..." Belum selesai mengeluarkan kalimatnya, gadis itu tiba-tiba mengangkat tangan, seperti ingin berbicara.
"Bu, tapi kan kursi ini milik Jae Won," ungkap gadis tersebut, bermaksud untuk protes.
Sung Jae hanya diam membeku, menunggu kalimat pembelaan.
"Jae Won?" batin Sung Jae bertanya-tanya. "Siapa Jae Won? Lalu mengapa kursi ini kosong?""Lee Seo Ra..." Nada guru itu seperti sudah lelah, ini bukan pertama kalinya Seo Ra mengatakan hal yang sama. Rasanya ingin marah, namun ia mengerti perasaan Seo Ra.
Seo Ra terdiam, tersadar semua mata terarah padanya. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, selain mengizinkan Sung Jae duduk di sebelahnya.
Pria itu memasuki tempatnya dengan hati-hati, menduduki bangku kosong tanpa suara. Ada rasa canggung yang menyelimuti dirinya, karena keheningan yang terasa dingin dan tidak asing. Ia bisa merasakan tatapan Seo Ra, seolah-olah gadis itu ingin segera mengusirnya.
---
Jendela memancarkan sinar matahari pagi yang lembut, tetapi tidak cukup untuk menghangatkan suasana kelas yang dingin dengan gelombang sunyi.
Dalam kepalanya, pertanyaan tentang Jae Won terus memutar. "Mengapa Seo Ra begitu terpengaruh oleh keberadaannya? Apakah dia seseorang yang penting baginya?" Sung Jae tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ada sesuatu yang terasa salah.
Tatapannya beralih ke arah gadis di sebelahnya. Ia tampak murung. Kedua tangannya melipat di atas meja, menopang pipinya yang bertetes air mata.
"Mengapa dia menangis?" Perasaan bersalah Sung Jae semakin besar, entah kesalahan apa yang ia lakukan. Tapi melihat kesedihan Seo Ra, Sung Jae sangat ingin meminta maaf. Namun yang bisa ia lakukan hanyalah memberi tisu dari sakunya. Meletakkan sehelai tisu itu tepat di samping lengan Seo Ra, berharap ia akan menggapainya.
Lagi dan lagi Sung Jae hanya terdiam, berusaha mengerti situasi ini. Ia merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai-sebuah cerita yang tidak ia ketahui, namun begitu dekat.
Selama kelas dimulai, Seo Ra terus melirik keluar jendela, seolah-olah mencari sesuatu di luar sana. Dan entah mengapa, Sung Jae merasa tergelitik oleh rasa ingin tahu yang semakin besar.
"Apa yang sebenarnya terjadi oleh Jae Won? Dan Seo Ra, mengapa ia begitu sedih atas kepergian Jae Won?"
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity Sonata
Dla nastolatków[𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐈𝐍𝐈 𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐔𝐍𝐓𝐔𝐊 𝐃𝐈𝐏𝐋𝐀𝐆𝐈𝐀𝐓!!!] "Meski perjalanan ini baru dimulai, setidaknya aku tak lagi berjalan sendirian."-Serendipity Sonata . . . Serendipity Sonata adalah lambang dari kisah pertemuan tak direncanakan antar...