Hinata berdiri diam di tengah-tengah kamar yang terasa begitu asing, meski ia telah hidup di dalamnya selama tiga bulan. Kamar ini mewah, penuh dengan barang-barang mahal yang dulu ia pikir bisa membuatnya bahagia. Namun, sekarang, setelah delapan tahun berlalu, Hinata tahu lebih baik. Semua ini tidak pernah memberinya kebahagiaan sejati. Kamar ini, apartemen ini, semuanya adalah milik Sasuke. Bukan miliknya.
Hinata menatap cermin besar di sudut kamar, memandangi refleksinya. Dirinya di usia 22 tahun, wajahnya masih polos, matanya penuh dengan harapan. Namun, di balik wajah muda itu, Hinata tahu bahwa yang menantinya di masa depan hanyalah kekecewaan dan penderitaan. Kecelakaan yang merenggut nyawanya, pengkhianatan keluarga, dan kehancuran hidupnya.Tapi kali ini, semuanya akan berbeda. Ia bertekad untuk mengubah segalanya.
Hinata menghela napas panjang, lalu memutar tubuhnya, mengamati barang-barang mewah yang ada di kamar. Tas-tas branded, sepatu mahal, dan perhiasan yang hanya menjadi simbol status sosial yang kosong. Semua ini tidak ada gunanya. Semuanya akan dijual. Ia harus mulai menabung, mempersiapkan masa depan yang lebih baik bagi dirinya sendiri. Ia tidak akan membiarkan dirinya diperlakukan seperti sampah lagi.
Sasuke? Hinata tersenyum pahit. Suaminya yang dijodohkan dengannya itu hanya memandangnya sebagai formalitas. Dan Sakura, pacar tersembunyi Sasuke, adalah bagian dari masa lalu yang ingin ia tinggalkan. Kali ini, Hinata akan menjauh dari mereka. Dia tidak akan jatuh cinta secara bodoh kepada Sasuke lagi, tidak akan mencoba menarik perhatian pria yang tidak pernah benar-benar peduli padanya.
Namun, ketika ia tenggelam dalam pikirannya, perutnya mulai berkeroncong. Lapar. Hinata menekan perutnya dan tersenyum kecil. "Mungkin aku harus makan sesuatu dulu," gumamnya pelan.
Ia melangkah keluar kamar, memandangi unit apartemen mewah ini. Unit dengan tiga kamar, empat kamar mandi, dapur, ruang tamu, ruang keluarga yang besar, dan balkon yang indah dengan pemandangan kota. Segala kemewahan ini terasa begitu sia-sia.
Ia berjalan ke dapur, membuka lemari dan kulkas. Namun, ia tak menemukan apa pun yang bisa dimakan. Dapur itu kosong, seperti yang ia ingat. Hinata dulu tidak bisa memasak. Ia terlalu dimanjakan oleh keluarganya, dibesarkan dalam lingkungan kemewahan tanpa pernah diajarkan untuk mengurus rumah atau dapur.
"Ah, aku ingat ini," gumam Hinata sambil tersenyum getir. 'Di masa ini, aku bahkan tidak bisa membuat mie instan.' Dulu, Hinata baru mulai belajar memasak dua tahun setelah pernikahan, ketika ia putus asa mencoba menarik perhatian Sasuke. Tapi usaha itu sia-sia. Sasuke tetap tidak peduli, dan Hinata akhirnya diceraikan.
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi lagi," kata Hinata dengan tekad. Sebelum memikirkan hal lain, ia memutuskan untuk pergi keluar dan membeli beberapa bahan makanan. Ia kembali ke kamar, mengambil tas dan dompetnya. Untungnya, masih ada uang tunai yang cukup di dalam dompetnya. Setelah memastikan semuanya, Hinata keluar dari apartemen dan menuju convenience store terdekat.
Saat berjalan menyusuri jalanan kota, Hinata merasa aneh. 'Delapan tahun telah berlalu, tapi semuanya terlihat masih begitu familiar.' Ia merasa seperti pengunjung di kehidupannya sendiri. "Aku benar-benar kembali," bisiknya pelan, masih belum sepenuhnya percaya pada kenyataan ini.
Setelah beberapa menit berjalan, ia tiba di Convenience Store dan segera mulai memilih bahan makanan. Ia mengambil sayuran segar, beberapa protein, dan bahan-bahan dasar lainnya. "Kali ini, aku akan belajar memasak lebih cepat," kata Hinata pada dirinya sendiri.
Saat berada di kasir, seorang pria paruh baya yang bekerja di sana menatapnya dan tersenyum ramah. "Belanja besar, ya?" katanya sambil memindai barang-barangnya. Hinata tersenyum kecil. "Ya, saya sedang mencoba memasak sendiri."
"Ah, bagus itu. Semoga berhasil ya!" pria itu membalas dengan nada ceria.Hinata mengangguk, membayar belanjaannya, lalu berjalan kembali ke apartemen dengan membawa kantong-kantong belanjaan. Di dalam hati, ia mulai menyusun rencana. 'Langkah pertama adalah mempersiapkan diri. Menabung, belajar memasak, dan menjauh dari Sasuke serta keluarga busuknya.'
Sesampainya di apartemen, Hinata langsung menuju dapur dan mulai menata bahan-bahan yang baru dibelinya. Saat ia mulai mencuci sayuran, sebuah suara lembut namun dalam terdengar dari belakangnya.
"Darimana saja kau?" suara itu membuat Hinata tertegun. Ia menoleh dan melihat Sasuke berdiri di ambang pintu dapur, menatapnya dengan tatapan datar.
Hinata menelan ludah. 'Sasuke' Suaminya yang tampan, tinggi, dan selalu dingin. Di masa lalu, setiap kali Sasuke berbicara padanya, hatinya akan berdebar kencang. Tapi sekarang, tidak lagi.
"Aku keluar sebentar untuk membeli bahan makanan," jawab Hinata dengan tenang, kembali memfokuskan diri pada sayuran yang ia cuci.
Sasuke mengangkat alis, sedikit terkejut dengan jawaban singkat Hinata. Biasanya, istrinya itu akan berbicara panjang lebar, mencoba menarik perhatiannya, tapi kali ini berbeda. "Kau memasak?" tanyanya, masih dengan nada datar.
Hinata mengangguk tanpa menoleh. "Ya, aku ingin belajar masak."
Sasuke menatapnya sebentar, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Hinata sendirian di dapur.
Hinata menghela napas panjang setelah Sasuke pergi. 'langkah pertama' Menjauh dari Sasuke, dan fokus pada dirinya sendiri. Tidak ada lagi jatuh cinta secara bodoh. 'Ia akan mengubah masa depan'.
Hinata berdiri di depan kompor, aroma makanan mulai menguar dari panci yang berisi hidangan sederhana. Tangannya bergerak otomatis, mengikuti ingatan yang sudah tertanam di dalam pikirannya sejak lama. Namun, setiap kali ia meracik bumbu, mengaduk bahan, atau memanaskan wajan, pikirannya melayang ke masa lalu—masa yang ingin ia ubah pada kesempatan kehidupan kedua ini.
Hinata menghela napas dalam. 'Kenapa semua yang aku ingat hanyalah menu kesukaan Sasuke?' pikirnya kesal. Dulu, ia begitu terobsesi dengan pria itu, berharap bisa menarik perhatiannya dengan makanan-makanan favoritnya. Ia menghabiskan berjam-jam mempelajari resep-resep yang Sasuke sukai. Namun, 'tidak ada satu pun usahaku yang berhasil membuat Sasuke melihatku' Hinata jadi murung kembali.
Ia merasa sedikit pahit saat menyadari betapa sia-sianya perjuangannya dulu. Pada akhirnya, Sasuke tetap dingin padanya, bahkan lebih memilih untuk membuang makanan yang dibuatnya ke tempat sampah ketimbang memakannya. Namun sekarang, semuanya berbeda. Hinata tidak lagi berusaha menarik perhatian Sasuke.
Dengan desahan kecil, Hinata mulai menyajikan makanannya. 'Lebih baik aku fokus mengisi perutku daripada memikirkan masa lalu yang menyakitkan'. Ia menyiapkan sepiring nasi, sayur rebus, dan sedikit lauk sederhana yang ia buat. Meski sederhana, ia merasa ini lebih baik daripada terus bergantung pada makanan siap saji yang biasa mereka pesan dulu.
Hinata duduk sendirian di meja makan, apartemen yang besar dan mewah ini terasa hampa. Hanya ada dirinya, meja yang luas, dan makanan yang ia buat sendiri. Ia mulai menyuap nasi ke mulutnya, namun pikirannya masih dipenuhi dengan rencana-rencana untuk masa depan. 'Apa yang harus kulakukan sekarang? Bagaimana aku bisa menghadapi Sasuke dan keluarganya?' Hinata tahu bahwa di masa ini, ia masih terlalu naif. Ia dulu berpikir keluarganya cukup baik, setidaknya dalam hal memenuhi kebutuhan materi. Ayahnya, Hiashi, dan kakaknya, Neji, memang selalu menyediakan segala kebutuhan hidupnya, namun tidak pernah ada kasih sayang yang tulus dari mereka.
Hinata meletakkan sumpitnya, memandang kosong ke arah dinding di depannya. 'Mereka hanya menginginkan harta warisan dari ibu', pikirnya getir. Semua perhatian- yang tak seberapa- dari ayahnya, Hiashi dan Neji berikan hanyalah tipu muslihat untuk mengambil alih warisan yang diberikan ibu kepada Hinata. Di masa depan, mereka berhasil merebut semuanya, meninggalkan Hinata tanpa apa-apa. Namun kali ini, Hinata tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Aku harus memastikan property dan saham itu tidak jatuh ke tangan mereka," bisik Hinata dengan tekad yang menguat. Ia harus mulai menyiapkan langkah-langkah untuk melindungi hartanya. Ia tidak akan lagi menjadi korban keluarga busuknya.
Saking tenggelam dalam pikirannya, Hinata bahkan lupa bahwa ia sedang makan. Saat ia tersadar, makanannya sudah menjadi dingin. Hinata tersenyum kecil, sedikit menertawakan dirinya sendiri. 'Pikiran seperti ini akan mengganggu kesehatanku', pikirnya, lalu kembali melanjutkan makan meski nasi dan lauknya sudah tak hangat lagi.
Namun tiba-tiba, suara langkah kaki yang familiar terdengar mendekat. Hinata menoleh, dan di sanalah Sasuke berdiri di pintu dapur, menatapnya dengan tatapan datar seperti biasa. Tanpa berkata apa-apa, Sasuke berjalan menuju meja makan dan duduk di salah satu kursi. Hinata yang terkejut hanya bisa memandangi pria itu dengan bingung saat Sasuke mulai mengambil nasi dan menuang lauk serta sayur yang Hinata buat.
'Apa yang sedang terjadi?' pikir Hinata. Dalam kehidupan sebelumnya, Sasuke tak pernah sekalipun menyentuh makanan yang ia buat. Jika Sasuke tak menolak dengan tegas, ia akan membuangnya tanpa ragu ke bak sampah. Namun sekarang, di kehidupan yang baru ini, Sasuke justru duduk di meja makan, mengambil makanan yang ia buat, dan mulai menyuapnya.Hinata terus memandang Sasuke dengan tatapan penuh kebingungan. Sasuke, yang biasanya begitu dingin dan penuh jarak, kini duduk makan bersama, seolah hal itu adalah sesuatu yang biasa mereka lakukan. 'Kenapa Sasuke tiba-tiba bersikap begini?' pikir Hinata sambil mencoba mengendalikan perasaannya.
Namun, Hinata tahu bahwa ia tidak boleh terjebak dalam kebingungan ini. Mungkin ini hanya kebetulan, atau mungkin Sasuke sedang lapar dan tidak peduli siapa yang membuat makanan itu. Ia tidak boleh membaca terlalu banyak ke dalam tindakannya.
Setelah beberapa saat, Hinata berdiri dari tempat duduknya. Ia mengambil piring dan gelas yang sudah kosong, bersiap untuk mencuci piring. "Sasuke," kata Hinata pelan namun jelas.
![](https://img.wattpad.com/cover/376481196-288-k112964.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
What Will the Ending Be?
FanfictionKesempatan Kedua menanti, Apakah hinata dapat sampai pada akkhir yang lebih baik