Seven

440 67 9
                                    

Hinata terbangun di pagi hari, merasakan kehangatan tubuh Sasuke yang masih tertidur pulas di sebelahnya. Sasuke memeluk lengan kanannya erat, kepalanya bersandar di bahu Hinata. Suhu tubuh Sasuke jauh lebih baik dibanding malam sebelumnya, pertanda ia sudah mulai pulih dari demamnya. Hinata terkekeh kecil mengingat kejadian tadi malam—bagaimana Sasuke merajuk dan menangis, memperlihatkan sisi rentannya yang jarang terlihat.

Dengan hati-hati, Hinata menarik lengannya dari dekapan Sasuke, mencoba agar tidak membangunkannya. Ia lalu bangkit untuk menyiapkan sarapan, mengesampingkan niatnya untuk berlari pagi hari ini.

Saat Hinata sibuk memasak di dapur, Sasuke terbangun dan menyadari bahwa tempat di sebelahnya kosong. Dengan tubuh yang masih terasa lemah, ia berjalan ke dapur dan melihat Hinata sibuk di sana.

"Pagi banget masaknya," ujar Sasuke sambil duduk di kursi pantry.

"Kamu sudah merasa baikan? Istirahat lagi aja satu hari, aku bikinin sekalian makan siang ya," balas Hinata tanpa menoleh, masih fokus pada masakannya.

"Nggak, ada rapat penting," jawab Sasuke singkat, memandangi punggung Hinata yang sibuk di dapur. Pikiran Sasuke kembali pada kejadian semalam—bagaimana ia merasa marah saat mendapati Sakura memeluknya di ranjang. Awalnya, ia mengira itu Hinata, tapi begitu menyadari siapa yang memeluknya, kemarahan menyelimuti dirinya. Namun, lebih dari itu, Sasuke bingung dengan reaksi Hinata. 'Apakah dia benar-benar sudah menyerah padaku?' pikir Sasuke. 'Dulu, Hinata akan marah besar kalau aku dekat dengan Sakura.'

"Tadi malam, kenapa mereka ke sini?" tanya Sasuke, suaranya sedikit lebih serius.

"Ah, aku juga gak tahu. Naruto menelepon dan aku bilang kamu sakit, lalu tiba-tiba mereka datang tanpa bilang-bilang," jawab Hinata santai, sambil mengaduk masakannya.

"Kenapa kamu kasih masuk?" tanya Sasuke, nada sewot mulai terdengar.

"Ya masa nggak nggak dibukain, kan mereka sahabat kamu," balas Hinata, sedikit jengkel dengan pertanyaan Sasuke.

"Lalu kenapa kamu biarin Sakura meluk aku, di ranjangku?" tanya Sasuke lagi, nadanya semakin tak terima.

Hinata menghela napas panjang, merasa lelah dengan pertanyaan-pertanyaan Sasuke. "Bukankah kalian memang dekat? Lagi pula, ada Naruto waktu aku tinggalkan kamar," jawabnya, mencoba bersikap tenang meski sebenarnya sudah kesal.

Sasuke mendengus. "Aku suamimu, mana ada istri yang mempersilakan suaminya dekat dengan perempuan lain," kata Sasuke dengan nada kekeh, seolah ia yang benar.

"Iya iya," jawab Hinata, kesal sendiri menghadapi sikap Sasuke yang selalu merasa benar.

Sasuke memandang Hinata serius, mencoba memastikan sesuatu. "Berarti kalau kamu tahu dari awal Sakura bakal memelukku, kamu bakal ngelarang kan?"

"Kamu masih suami ku, pasti aku larang," jawab Hinata akhirnya, berpikir bahwa Sasuke ingin mendengar jawaban itu.

Sasuke mengangguk puas. "Bagus, aku suamimu untuk selamanya, jadi jangan biarkan siapapun merebutku darimu," ujarnya dengan nada serius.

Hinata menoleh ke belakang, memandangi Sasuke dengan bingung. "Mau kamu apa sih, Sas? Jangan membuat seolah aku serba salah," ujar Hinata, merasa semakin kesal dengan percakapan ini. Ia begitu lelah menahan beban psikologis yang telah ia pendam beberapa hari ini. Sikap Sasuke yang berubah-ubah membuatnya lelah.

Sasuke terdiam, bingung melihat reaksi Hinata yang semakin emosional.

"Aku sudah menjauh seperti yang kau harapkan sejak lama. Aku minta maaf, okey? Maaf karena keegoisanku dan sifat kekanakanku menahanmu terikat dengan gadis bodoh ini. Jadi stop berperilaku seolah pernikahan ini baik-baik saja," kata Hinata dengan nada ketus.

What Will the Ending Be?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang