Six

324 60 10
                                    

Hari-hari Hinata akhir-akhir ini penuh dengan pikiran kalut. Meskipun ia berusaha menjalani rutinitas hariannya dengan sebaik mungkin, suasana hatinya terasa berat, dan kedamaian yang biasa ia rasakan akhir-akhir ini tampaknya menghilang. Sasuke, yang memperhatikan perubahan ini, merasa khawatir namun tidak tahu bagaimana cara menyikapinya, ia tidak pernah begitu penasaran dan ingin ikut campur dengan masalah orang lain-apa yang harus dia lakuakan?


Pada malam itu, Hinata sibuk dengan desain di laptopnya di balkon, tempat favoritnya untuk bekerja. Sasuke, di sisi lain, duduk di meja sebelah, menyelesaikan berkas-berkas perusahaan. Suasana terasa canggung, dan Hinata bahkan tidak sempat memasak malam itu, memilih untuk membeli makanan secara online. Sasuke menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Suasana ini sangat berbeda dari apa yang biasanya ia nikmati.


Ketika Hinata selesai dengan pekerjaannya, ia mematikan laptop dan meletakkannya di meja. Kemudian, ia mengambil rokok yang terletak di depan Sasuke, rokok milik Sasuke yang baru kali ini ia coba. Stress yang dirasakannya mungkin membuat Hinata merasa perlu rokok dengan kandungan nikotin yang lebih berat.


"Kau mau cerita?" tanya Sasuke, melepaskan fokusnya dari laptop.


"Tak ada," jawab Hinata dengan nada cuek.


Sasuke memerhatikan Hinata dengan cermat. Lalu, tanpa berkata-kata, ia mengambil kotak rokok Hinata, membakarnya, dan menghembuskan asap ke udara.

Kemudian, ia mengambil rokok yang Hinata hisap di bibir ranumnya dan menukar rokok berat itu dengan rokok ringan yang baru saja ia hisap- rokok yang biasa Hinata gunakan.

Sasuke menghisap rokok bekas Hinata, rasanya lebih manis dan entah apa perbedaannya-bukankah ini merupakan ciuman tak langsung?


"Kenapa?" tanya Hinata heran. "Sebegitu pelitnya kau rokok pun tak ingin ku pintai?" ujarnya agak sewot.


"Ini terlalu berat," jawab Sasuke santai sambil menunjuk rokok di tangannya, lalu melanjutkan, "Benar-benar tidak ada apa-apa?"


Hinata terdiam, dan keheningan menyelimuti mereka. Setelah beberapa menit, Hinata akhirnya mengeluarkan suaranya.


"Apakah kau ingin perceraian itu dipercepat saja?" tanya Hinata, suaranya penuh ketidakpastian.


"Apa maksudmu?" tanya Sasuke, menegakkan posturnya dengan nada tak suka mendengar pertanyaan Hinata.


"Ya, kalau ingin dipercepat, aku akan mulai mencari apartemen baru," jawab Hinata dengan nada cuek.


"Kau sangat ingin kita bercerai, ya?" tanya Sasuke, geram namun tertahan.


"Bukankah kau yang tidak menginginkan pernikahan ini? Aku melepaskanmu, Sasuke. Kurasa benar kata mereka, aku hanya akan menghambatmu," balas Hinata.


Sasuke mendehem, tidak suka dengan jawaban Hinata.


"Ngomong-ngomong, apakah dokumen perceraian itu sudah kau kirim ke departemen terkait?"*tanya Hinata penasaran. "Aku berharap, demi pertemanan kita belakangan ini, kau bisa menunda sedikit hingga aku mendapatkan sebuah apartemen. Sangat sulit mencari di tengah kota saat ini." Hinata mengucapkannya dengan nada lesu.


Sasuke termenung sejenak. Ia merasa tertekan dengan situasi ini. Meski awalnya ia memang mempersiapkan dokumen perceraian, ia merasa semakin bingung dengan perasaan Hinata dan suasana hati mereka. Dokumen perceraian itu sebenarnya telah ada di tangan Sasuke dan telah ia robek menjadi sampah beberapa hari lalu.


"Kita tidak akan bercerai!" ucap Sasuke dengan penekanan, lalu meninggalkan Hinata sendirian di balkon.


Hinata terkejut dan bingung. 'Apa maksudnya? Kenapa tiba-tiba ia berkata begitu?' pikirnya. Hatinya terasa kosong, dan kebingungan menyelimuti pikirannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Setelah kepergian Sasuke, Hinata duduk sendiri di balkon, memikirkan segala sesuatu yang telah terjadi. Perasaan bingung dan kesal bercampur menjadi satu. Ia merasa tertekan dan tidak tahu bagaimana melanjutkan hidupnya dengan Sasuke yang tiba-tiba berubah sikapnya.


Hinata menghela napas panjang, menatap bintang-bintang di langit. 'Apa yang sebenarnya diinginkan Sasuke? Apakah dia benar-benar ingin melanjutkan pernikahan ini atau hanya tidak ingin mengakui perasaannya sendiri?' pikirnya dalam hati.

******

Pagi hari terasa berat bagi Hinata. Setelah lari pagi yang menyegarkan, ia berusaha menenangkan pikirannya dengan menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Sasuke.

Walaupun ia merasa tertekan dengan situasi semalam, Hinata mencoba untuk mengabaikan pikiran-pikiran tersebut dan fokus pada rutinitas hariannya.

Sambil menyiapkan sarapan, Hinata tidak bisa menghilangkan rasa penasaran tentang bento set pasangan yang dipilih Sasuke. Bento set itu, dengan desain hitam yang elegan dan tulisan "his" dan "hers", terlihat sangat minimalis namun mengesankan.

Ternyata, Sasuke tidak hanya memperhatikan hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari mereka, tapi juga menginginkan hal-hal yang memiliki makna tersendiri.

Di meja makan, suasana terasa canggung. Sasuke tampak mengabaikan Hinata, dan ini membuatnya bingung. 'Kenapa Sasuke marah padaku?' pikir Hinata. Setelah selesai makan, ia membersihkan piring-piring dan mengucapkan selamat tinggal kepada Sasuke dengan asumsi bahwa mungkin Sasuke masih marah padanya.

"Mau kemana? Aku belum selesai," kata Sasuke dengan nada datar saat Hinata hendak pergi.

"Aku naik bus saja. Piring kotornya taruh saja nanti sore aku bersihkan," jawab Hinata sambil mengikat tali sepatunya.

Tanpa ada balasan dari Sasuke, Hinata terus memfokuskan perhatian pada sepatu yang dikenakannya. Namun, tangan Sasuke menyentuh lembut bahunya, membuat Hinata terkejut.

"Kata siapa kau ku izinkan naik bus? Kita bersama," kata Sasuke lembut, lalu melepas bahunya dan memakai sepatu kantornya.

Hinata tertegun. 'Bukankah dia marah tadi?' pikirnya, tapi ia merasa lega karena bisa diantar oleh Sasuke ke kantor.

Dalam perjalanan menuju kantor Ni-Pro, suasana di dalam mobil terasa hening. Hinata memilih untuk menatap jendela, takut jika ia melihat Sasuke atau berbicara, maka perdebatan akan terjadi dan mengganggu suasana hatinya. Sasuke juga tampak bingung, tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Sesampainya di kantor Ni-Pro, Hinata mengucapkan terima kasih dan meninggalkan mobil Sasuke. Ia merasa sedikit lega saat melihat Sasuke menghilang dari pandangannya, berharap suasana hati mereka bisa membaik.

Di kantor, Hinata merasa nyaman dengan pekerjaannya. Proses kreatif adalah sesuatu yang ia nikmati, dan meeting pagi ini dengan Choiju, Tenten, Ino, Sasori, dan Kiba memberikan kesempatan untuk fokus pada hal-hal yang lebih positif. Mereka membahas sebuah proyek baru yang besar dan penting bagi Ni-Pro, proyek yang akan memerlukan keterampilan dan dedikasi mereka.

"Baiklah, mari kita mulai," kata Choiju, membuka rapat. "Proyek ini akan menjadi tantangan besar, tapi juga kesempatan besar bagi kita. Kita harus memastikan semua detailnya matang dan siap untuk eksekusi."

Hinata, yang sebelumnya merasa cemas, mulai merasa teralihkan dari masalah pribadi dengan fokus pada proyek. Paling tidak kesibukan kantornya dapat mengalihkan pikiran pikiran hinata yang bingung dengan sikap Sasuke akhir akhir ini.

***

Setelah seharian bekerja dan berdiskusi dengan tim kreatif serta Choji, Hinata pulang ke rumah agak terlambat. Waktu sudah menunjukkan pukul 18:00 ketika ia tiba di rumah, dan ia melihat sepatu kantor Sasuke yang tadi pagi dikenakan sudah tersusun rapi di lemari. Hinata merasa ini aneh karena biasanya Sasuke akan duduk di ruang keluarga pada jam-jam seperti ini.

Dengan penasaran, Hinata melanjutkan rutinitasnya. Ia mandi dan membersihkan diri sebelum menyiapkan makan malam. Ia memutuskan untuk memasak makanan favorit Sasuke, berharap ini bisa memperbaiki suasana hati pria itu.

Setelah menyiapkan makanan dan meletakkannya di meja, Hinata mulai merasa cemas. 'Kenapa Sasuke tidak keluar dari kamar seperti biasanya?' Rasa cemasnya semakin meningkat saat ia menyadari bahwa pintu kamar Sasuke tidak terkunci—padahal biasanya Sasuke selalu menguncinya.

"Sasuke, makan malam sudah siap," panggil Hinata lembut saat ia membuka pintu kamar Sasuke.

Kamar itu gelap, dan Hinata segera menyalakan lampu. Ia melihat Sasuke terbaring di ranjang, masih mengenakan kemeja kantor dan celana bahan.

"Sas, ganti baju sama bersih-bersih dulu," ujar Hinata dengan nada lembut, mencoba mengingatkan Sasuke.

Namun, Sasuke tidak memberikan balasan. Hinata mendekat dan merasakan suhu tubuh Sasuke yang panas. Dengan berat hati, ia mulai membangunkan Sasuke.

"Sas, bangun dulu ya," kata Hinata sambil menggoyangkan bahu Sasuke pelan.

"Hn," gumam Sasuke, membuka mata dengan kesulitan.

Sasuke tampak sangat lemah dan pusing, bersandar di headboard ranjang. Hinata duduk di pinggir ranjang dan mengamati Sasuke dengan rasa iba.

"Pusing banget ya?" tanya Hinata lembut.Sasuke mengangguk lemah, dan Hinata merasa kasihan melihatnya.

"Ganti baju aja ya, enggak perlu mandi dulu tapi tetap ganti bajunya,"*lanjut Hinata dengan lembut.

Hinata berdiri dan mencari kaos serta celana tidur Sasuke di lemari. Ia membantu Sasuke melepaskan kancing kemejanya, kaos kaki, dan celana bahan. Untungnya, Sasuke masih mengenakan boxer tipis.Dengan hati-hati, Hinata membersihkan keringat di tubuh Sasuke menggunakan tisu basah, kemudian mengelapnya dengan tisu kering. Setelah itu, ia membantu Sasuke mengenakan kaos dan celana tidur.

Hinata kembali ke dapur dan membawa makanan yang telah ia siapkan. Dia menyadari bahwa porsi makanan tersebut tidak terlalu banyak, mungkin tidak cukup untuk Sasuke, tetapi ia berharap ini bisa membantu.

"Ini makan ya, baru minum obat," kata Hinata sambil meletakkan piring di meja samping ranjang.

Sasuke tampak kesulitan dan Hinata menawarkan diri untuk membantu.

"Mau aku suapi?" tanya Hinata dengan lembut.

Sasuke mengangguk lemah, dan Hinata mulai menyuapi Sasuke sedikit demi sedikit. Ia terus membujuk Sasuke untuk makan meskipun Sasuke merasa kenyang. Setelah beberapa saat, Sasuke akhirnya berhasil menghabiskan makanannya.

Hinata memberikan pil obat dan segelas air kepada Sasuke. Setelah Sasuke meminum obatnya, Hinata merasa lega karena semuanya sudah beres. Namun, ia segera menyadari bahwa getaran-getaran kecil yang terasa berasal dari handphone Sasuke.

Hinata melihat handphone dan melihat bahwa ada panggilan dari Naruto.

"Ini dari tadi bunyi, angkat ya takutnya penting," kata Hinata sambil menyerahkan handphone ke Sasuke.

Sasuke mengangkat telepon dari Naruto, yang langsung bertanya kenapa Sasuke tidak mengangkat telepon mereka dari sore tadi. Naruto terdengar agak kesal dan mengatakan bahwa Sakura merasa sedih.

Sasuke merasa semakin pusing dan mematikan telepon tanpa memberikan penjelasan. Naruto, bingung melihat kondisi Sasuke, kemudian menghubungi Hinata.

"Sasuke kenapa?" tanya Naruto dengan nada khawatir. "Kau tidak melakukan hal buruk pada Sasuke, kan? Kalau terjadi apa-apa, akan kukirim laporan ke polisi."

Hinata merasa lelah dan kesal. "Sasuke sakit, dia baru bangun, makan, minum obat. Sudah, aku juga capek dan butuh istirahat," jawab Hinata sebelum mematikan sambungan telepon dengan kasar.

Dengan rasa lelah dan frustrasi, Hinata kembali ke kamar Sasuke. Ia memastikan Sasuke nyaman dan kemudian pergi untuk membersihkan sisa-sisa makan malam dan merapikan dapur.

Setelah semuanya selesai, Hinata kembali ke kamar dan duduk di samping Sasuke, yang kini tertidur dengan lebih tenang.

"Semoga kau merasa lebih baik besok," bisik Hinata dengan lembut, sebelum akhirnya memejamkan mata dan mencoba untuk istirahat.

---
Hinata baru saja memejamkan mata setelah merawat Sasuke yang sedang sakit ketika suara bel apartemen berbunyi. Dengan berat hati, ia bangkit dari tempat tidur dan melihat jam dinding di kamar Sasuke. 'Baru saja menutup mata,' pikirnya sambil berjalan ke pintu.

Saat membuka pintu, ia terkejut melihat Naruto dan Sakura berdiri di sana. Sebelum Hinata sempat mempersilakan mereka masuk, Sakura langsung menyerbu masuk ke apartemen, menuju kamar Sasuke.

Hinata, yang malas berdebat, membiarkan Sakura berlalu begitu saja. Sementara itu, Hinata mempersilakan Naruto masuk dan menutup pintu.Dengan lelah, Hinata berjalan ke dapur, mengambil segelas air dari dispenser, dan meneguknya hingga habis.

'Pusing... Aku bahkan belum sempat makan,' pikirnya, merasa kepalanya semakin berat.

Setelah merasa sedikit lebih baik, Hinata berjalan ke kamar Sasuke. Di sana, ia melihat Sakura duduk di samping Sasuke yang masih terbaring lemah. Sakura tampak sangat sedih, namun Hinata tidak merasa perlu untuk mengintervensi. 'Biarkan saja,' pikirnya. Ia merasa tidak ingin berdebat malam ini.

Hinata lalu mengambil ponselnya dari meja nakas Sasuke dan keluar kamar, meninggalkan Naruto, Sakura, dan Sasuke. Begitu di luar, ia menghela napas panjang, membuka pintu balkon, dan duduk di sana sambil membakar rokok. Asap rokok membumbung di udara malam, dan Hinata tenggelam dalam pikirannya sambil sibuk dengan ponselnya, mencari apartemen di dekat kantornya.

Sayangnya, tidak banyak pilihan apartemen yang sesuai dengan kebutuhannya. Kebanyakan terlalu mahal, sementara yang lebih murah tidak memenuhi kriteria.

'Sungguh sulit mencari tempat tinggal yang cocok,' pikirnya, sambil membakar rokok kedua.

***

Naruto keluar dari kamar Sasuke setelah melihat Sakura yang hanya fokus pada wajah lelah Sasuke. Naruto merasa tak nyaman berada di antara mereka, jadi ia memutuskan untuk mencari Hinata.

Naruto menuju dapur, berniat mengambil minuman. Namun, ia melihat pintu balkon terbuka dan asap rokok yang melayang di udara. Dengan rasa penasaran, ia melangkah keluar dan terkejut melihat Hinata duduk di sana, merokok sambil sibuk dengan ponselnya.

Hinata, dengan siluet cantiknya, tampak begitu berbeda dari sosok yang dulu ia kenal. Naruto merasa terpesona dengan sosok Hinata yang sekarang terlihat lebih dewasa, anggun, dan tenang. Ia berjalan mendekat, melirik apa yang sedang Hinata lakukan.

'Mencari apartemen?' pikir Naruto, mengernyit bingung.

"Sejak kapan kau merokok?" tanya Naruto tiba-tiba, memecah keheningan.

Hinata terkejut mendengar suara Naruto. "Ah, cukup lama," jawabnya sekenanya, sambil menunjuk kotak rokok di depan mereka. "Mau?" tawarnya.

Naruto mendudukkan dirinya di kursi samping Hinata, mengambil satu batang rokok dari kotak dan membakarnya. "Wah, boleh juga. Rokok ini punya rasa buah yang unik," komentarnya.

Keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Naruto merasa canggung, sementara Hinata tetap asyik dengan ponselnya. Naruto mulai memiliki pandangan baru tentang Hinata, dan setelah beberapa kali berinteraksi dengannya belakangan ini, ia merasa bahwa Hinata tidak seburuk yang selama ini ia pikirkan.

"Kau mencari apartemen baru?" tanya Naruto lagi, berusaha memecah kebisuan.

"Hn," jawab Hinata singkat.

"Kau benar-benar akan bercerai dengan Sasuke?" tanya Naruto, kali ini dengan nada ragu. Tiba-tiba, ia merasa bersalah.

"Ya," balas Hinata cuek, lalu memandang Naruto dengan serius. "Karena kamu juga salah satu alasan perceraian ini, maka tolong bantu aku mencari apartemen. Aku yakin Uzumaki punya koneksi ke beberapa properti, kan?"

Naruto terdiam, merasa tersentak dengan permintaan itu. Sebagai pewaris Uzumaki, ia memang punya akses ke beberapa properti baru yang sudah sold out, tapi masih ada beberapa slot yang bisa ia atur untuk Hinata.

Namun, rasa bersalah menghantuinya. 'Apakah ini benar? Apakah aku terlalu keras mendorong mereka berpisah?' pikir Naruto.

"Nanti aku kabari," jawab Naruto akhirnya.

"Oke. Kau tak perlu membayar, aku yang akan membayar. Aku benar-benar kesulitan mencari unit yang tersedia," ujar Hinata dengan nada serius.

Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing, hingga suara teriakan dari dalam kamar Sasuke terdengar.

"Pergi! Kubilang pergi!!" teriak Sasuke dengan marah.

Hinata dan Naruto segera bergegas menuju kamar Sasuke. Di sana, mereka melihat Sasuke yang masih lemah, mencoba berdiri dengan marah. Sakura berdiri di dekatnya, menangis dan tampak tertekan.

"Sasu, aku hanya ingin—" Sakura mencoba berbicara, namun Sasuke memotongnya dengan teriakan keras.

"Pergi sialan!"

Hinata segera melirik Naruto, isyarat untuk membawa Sakura pergi. Naruto mengerti, dan ia segera menyeret Sakura keluar dari kamar. "Kami pamit dulu," ujar Naruto singkat kepada Hinata sebelum meninggalkan apartemen bersama Sakura.

Setelah pintu apartemen tertutup, dan suara kunci otomatis terdengar, Sasuke kembali merebahkan tubuhnya yang lemas ke ranjang. Hinata hanya bisa menatapnya dengan bingung, tak mengerti mengapa Sasuke begitu marah.

"Bagaimana bisa kau meninggalkan suamimu yang sakit berduaan dengan wanita lain?" ucap Sasuke ketus, menatap Hinata tajam.

"Aku tidak. Aku meninggalkanmu dengan Naruto dan Sakura," jawab Hinata dengan nada tak terima.

Sasuke tidak membalas dengan kata-kata. Namun, tiba-tiba, Hinata melihat air mata mengalir dari mata Sasuke. Ia terkejut, tak pernah melihat Sasuke menangis sebelumnya. Dengan gelisah, Hinata mendekati Sasuke dan duduk di sampingnya.

"Apa yang sakit?" tanya Hinata, suaranya penuh perhatian sambil memeriksa tubuh Sasuke. Sasuke hanya menatapnya dengan mata yang basah.

"Kau... kau membiarkan wanita lain memelukku di ranjangku," ucap Sasuke dengan nada terluka.

Hinata bingung, namun hatinya tersentuh oleh kata-kata Sasuke. Tanpa berpikir panjang, ia merebahkan dirinya di samping Sasuke, dan mengelus pelan lengannya, mencoba menenangkan hati suaminya yang tampak begitu rapuh malam itu. 'Gemas juga, kaya anak kecil' Hinata terkekeh sendiri


What Will the Ending Be?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang