Four

400 68 1
                                        

Pagi itu, Hinata sedang sibuk di balkon, merawat bunga-bunga yang diberikan oleh Mikoto beberapa waktu lalu. Tangan bersarungnya kotor oleh tanah dan pupuk, dan beberapa bercak tanah menempel di wajahnya. Ia sedang mengganti tanah tanaman dengan yang lebih baik, berharap bunga-bunga itu bisa tumbuh lebih subur.


Tiba-tiba, suara bel apartemen mengalihkan perhatiannya. Hinata buru-buru melepas sarung tangannya dan berjalan menuju pintu. Begitu pintu terbuka, ia terkejut melihat Mikoto, ibu mertuanya, berdiri di sana dengan senyum hangat dan membawa keresek berisi bahan masakan.


"Selamat pagi, Hinata!" sapa Mikoto dengan riang. "Boleh bunda masuk?"


"Ah, tentu, bunda. Silakan masuk," jawab Hinata, masih agak terkejut. Ia segera menyingkir untuk memberi ruang bagi Mikoto masuk.


Mikoto langsung memperhatikan tampilan Hinata yang masih berantakan dengan bekas tanah di wajah dan tangannya. Ia melirik ke balkon, tempat tanaman-tanaman yang sedang dirawat Hinata.


"Oh, kamu sedang mengurus bunga-bunga itu ya? Sepertinya kamu benar-benar menyukainya," komentar Mikoto dengan senang, senyum lembutnya memperlihatkan kepuasan karena menantunya tampak menikmati pemberiannya.


Hinata tersenyum kecil. "Iya, bunda. Aku sedang mengisi waktu luang dengan merawat mereka."


Mikoto lalu mengangkat kantong belanjaan yang dibawanya. "Wah, kamu sudah masak? Padahal bunda datang ke sini mau masakin kalian! Tapi nggak apa-apa deh, bunda boleh ikut sarapan kan? Bunda belum pernah coba masakan kamu," cerocos Mikoto penuh antusias.


Hinata terdiam sejenak, bingung harus bersikap bagaimana. Mikoto memang mertua yang sangat baik dan perhatian, namun Hinata tahu bagaimana akhirnya. Di kehidupan sebelumnya, meskipun Mikoto menyayanginya, pada akhirnya ia tetap mendukung Sakura dan menyalahkan Hinata karena tidak memberikan cucu. 'Padahal, bukankah itu salah Sasuke yang hampir tak pernah menyentuhku?' pikir Hinata getir. Hubungannya pun dengan Mikoto menegang saat itu, dan Mikoto lah yang mengurs perceraian Sasuke dan Hinata saat itu.


Ia teringat malam itu, malam yang menjadi titik paling menyakitkan dalam hidupnya. Sasuke, dalam keadaan mabuk dan di bawah pengaruh obat yang tidak jelas, akhirnya menyentuhnya untuk pertama kali setelah lima tahun pernikahan. Tapi justru hal itu yang membuat Sasuke sangat membenci Hinata. Sasuke menganggap Hinata menjebaknya, padahal Hinata yakin semua itu adalah rencana jahat Naruto dan Sakura. 'Naruto yang menghubungiku, mengatakan bahwa Sasuke mabuk di klub, dan aku ingat melihat Sakura yang tampak ketakutan dan menangis di sana. Entah apa yang gterjadi padanya'.


Kembali dari pemikiran rumit di kepalanya, Hinata menyesuaikan perilakunya, saat ini ia dan Mikoto memiliki hubungan baik maka jalani lah peran menantu yang baik layaknya dirinya di awal pernikahan pada kehidupan pertama itu.

"Iya, bunda. Aku bersih-bersih dulu ya," ucap Hinata sambil tersenyum manis,ia pamit dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia tak ingin menampilkan dirinya dalam keadaan berantakan seperti itu.


Setelah mandi dengan cepat, Hinata menuju meja makan. Di sana, Sasuke baru saja duduk dengan setelan formal khasnya ketika hendak berangkat bekerja. Mikoto, yang sudah duduk di meja makan, segera memuji masakan Hinata.


"Wah, masakan kamu enak banget, Hinata. Bunda nggak nyangka kamu bisa masak sehebat ini!" Mikoto memandang menantunya dengan bangga.


"Terima kasih, Bunda," jawab Hinata sambil tersenyum lembut, meski di dalam hatinya masih ada rasa getir yang sulit dihilangkan. Ia tahu, pujian ini mungkin tidak akan bertahan lama jika situasi memburuk.


Percakapan selama sarapan lebih banyak didominasi oleh Mikoto. Ia terus bercerita tentang berbagai hal, dari kehidupan sehari-harinya hingga hal-hal yang berkaitan dengan keluarga Uchiha. Sasuke hanya mendengarkan dengan tenang, sesekali menyuap makanan tanpa banyak bicara. Hinata pun mendengarkan dengan sopan, meski pikirannya kadang melayang ke berbagai hal lain.


Saat Mikoto mulai membahas tentang keluarga dan cucu, Hinata merasakan ketegangan dalam dirinya. "Kapan ya, bunda bisa gendong cucu? Sasuke dan Hinata pasti bakal punya anak-anak yang lucu, ya?" ujar Mikoto dengan senyum cerah, tapi pertanyaan itu seolah membawa beban besar ke tengah meja.


Hinata hanya tersenyum kecil, menunduk sedikit untuk menghindari pandangan Mikoto. Sementara itu, Sasuke tetap diam, tak memberikan respon apa pun terhadap komentar ibunya. Namun pandangannya tertuju pada Hinata, entah apa yang ia pikirkan


Setelah beberapa waktu, Mikoto akhirnya pamit pulang, dengan senyum bahagia di wajahnya. "Bunda senang bisa sarapan bareng kalian hari ini. Nanti bunda mampir lagi, ya?" katanya.
"Tentu, Bunda. Hati-hati di jalan," jawab Hinata sambil mengantar Mikoto ke pintu.


Begitu Mikoto pergi, apartemen terasa kembali hening. Hinata menghela napas panjang, merasa lega namun juga tertekan. 'Bukan salahku jika pernikahan ini tak berjalan seperti yang diharapkan,' pikirnya.


Sasuke, yang masih duduk di meja makan, menatap punggung Hinata dengan tatapan sulit dibaca. Sasuke beranjak dari kursinya dan bersiap pergi bekerja. "Aku pergi", ucapnya singkat sebelum melangkah keluar.


Hinata hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Setelah pintu tertutup, ia duduk di sofa, memandangi bunga-bunga yang baru saja ia rawat di balkon. 'Bunga-bunga itu jauh lebih sederhana dan jujur daripada apa yang terjadi di dalam kehidupanku', pikirnya.



*
*
*

What Will the Ending Be?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang