Waktu terus berjalan, lima hari lagi adalah hari pernikahan Hilya digelar. Kesibukan tampak terlihat di rumah gadis itu, rumah termewah yang ada di desa Kemuning, sebuah desa yang tidak jauh dari pesisir pantai tempat gadis cantik itu dilahirkan.
Semilirnya angin sore di desa Kemuning menjadi saksi kegundahan hati Hilya. Gadis berkulit putih bersih itu masih diselimuti sejuta kesedihan dan kecewa, karena harus melepaskan impiannya untuk melanjutkan pendidikan S2 di negara tetangga.
"Hilya! Ada telepon," seru Hajjah Halimah saat melihat telepon genggam milik putrinya tergeletak di meja ruang keluarga tengah berdering.
Gadis yang saat itu tengah melamun di depan jendela kamarnya itu bergegas menghampiri suara yang memanggilnya.
Diraihnya gawai yang saat itu dijulurkan oleh ibunya, dengan kemudian menyentuh layar gawai untuk menerima telepon.
"Assalamualaikum, Ustadz!" kata hadis itu beruluk salam pada seseorang yang menelepon.
Mata wanita paruh baya yang berdiri di sisi Hilya mulai menyelidik, menaruh curiga pada sikap putrinya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamat.
Kaki wanita itu mulai mengendap menuju kamar putrinya, telinganya mulai mengembang, menempel di daun pintu, berusaha mendengar percakapan putrinya dengan seorang laki-laki yang disapa ustadz oleh putrinya.
"Ummi! Ngapain di sini ?" tanya gadis yang tiba-tiba membuka pintu kamar itu.
"Mmm..." Wanita yang biasa disapa Ummi itu pun meringis.
"Siapa yang menelepon kamu?" tanyanya sembari tersenyum dengan membuntuti langkah putrinya yang kembali masuk ke dalam kamar.
"Ustadz Ilyas," jawab Hilya singkat.
"Untuk apa menelepon kamu?"
"Menanyakan persiapan keberangkatan Hilya ke Sudan."
"Terus?"
"Ya Hilya bilang, kalau Hilya akan menikah dan harus melepaskan kesempatan beasiswa itu."
Hilya mengatakannya dengan suara pelan sembari menunjukkan wajah penuh kesedihan,lalu duduk di bibir ranjang.
"Oooh, ummi kira kalian bicara apa," sahut ummi Hilya dengan tersenyum lega.
"Memang Ummi berfikir apa?"
"Ummi takut kamu mencintai laki-laki lain dan berpikir untuk lari dari pernikahan yang telah abah dan ummi siapkan."
"Masya Allah Ummi! Kenapa Ummi berfikir Hilya serendah itu? Sekecewa apa pun hati Hilya, Hilya tidak mungkin mempermalukan Abah dan Ummi."
"Iya ummi percaya," sahut Hajja Halimah dengan meraih jari jemari putrinya lalu menemaninya duduk di tepi ranjang.
"Ummi bahagia kamu tidak ada hubungan dengan Ustadz Ilyas, itu."
"Maksud Ummi?" Kedua alis Hilya seketika bertaut. "Ustadz Ilyas itu, dosen Hilya di pesantren Ummi, dia sudah punya istri, dan punya lima orang anak, usianya juga seumuran abah, jadi mana mungkin Hilya punya hubungan dengan Ustadz Ilyas."
Hilya sedikit meninggikan suara saat menjelaskan siapa sebenarnya Ustadz Ilyas pada umminya.
"Oooh, maaf ya! Ummi sudah salah sangka," sahut ummi Halimah dengan meringis.
"Hmmh!" Hilya membuang napas dengan menggelengkan kepala.
"Nak! Jujur, ummi sangat bahagia, ternyata tidak ada laki-laki di hati kamu," kata Hajjah Halimah dengan merangkul putrinya.
"Ada," sahut Hilya lirih.
"Siapa?"
"Abah," jawab Hilya dengan senyum menggoda umminya.
"Kamu, ini."
Hajjah Halimah seketika menepuk lengan Hilya dengan senyum sumringah.
"Sudah! Sekarang kamu mandi, dandan yang cantik! Sebentar lagi calon suami kamu akan datang," kata wanita paruh baya itu kemudian.
Seketika Hilya bergeming. Senyum yang baru saja terukir di wajahnya tiba-tiba memudar. Sepertinya dia kembali dirundung kesedihan.
"Hilya! Percayalah sama Abah dan ummi! Abah dan ummi, tidak mungkin salah memilihkan jodoh untuk kamu. Laki-laki bernama Satya itu sangat tampan. Selain itu dia juga pengusaha kaya. Keren kan, calon mantu Ummi?" cerita wanita itu penuh kekaguman dengan menyentuh dagu putrinya. "Sudah sana mandi! Ummi yakin setelah bertemu dengan Nak Satya, kamu pasti akan jatuh cinta," lanjutnya seraya beranjak dari kamar Hilya.
Hilya menghela napas dalam setelah wanita berusia empat puluh tiga tahun itu keluar dari kamar.
Ada rasa penasaran dalam hati Hilya tentang calon suaminya tersebut.
Segera dia membersihkan diri di kamar mandi, lalu kemudian duduk di meja belajarnya membuka laptop mengotak atik benda tersebut.
Gadis itu berpikir jika laki-laki yang umminya sebutkan itu adalah seorang pengusaha besar, pasti nama dan gambarnya akan mudah dia temukan di media sosial.
Setelah beberapa menit mencari akhirnya Hilya menemukan sebuah jawaban.
"Agung Satya Adiwijaya adalah pemilik Agung Wijaya group. Dia adalah salah satu pengusaha muda sukses. Diusianya yang ke 29 tahun dia telah..."
Hilya membaca sebuah artikel yang dia lansir dari majalah bisnis di aplikasi google yang ada di laptopnya.
Gadis itu mulai berpikir, apa mungkin laki-laki tersebut yang akan menjadi calon suaminya.
Ah! Tidak mungkin. Eksekutif muda yang tinggal di ibu kota seperti dia, mana mungkin tertarik pada gadis desa.
Hilya mulai mengatur napas sembari menutup kembali laptopnya.
***
"Hilya!" Tiba-tiba terdengar suara ibunya memanggil.
"Iya, Ummi," sahut gadis itu seraya menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka itu.
"Ayo cepat! Calon suamimu sudah datang," katanya.
"Mmm..." Hilya mengangguk sembari merapikan jilbab yang sudah dia kenakan, jilbab syar'i warna toska yang tampak senada dengan gamis yang dia pakai.
"Cantik sekali putri ummi!" puji wanita yang berdiri di belakang Hilya dengan memandangi wajah putrinya tersebut dari cermin.
Hilya gadis berkulit putih bersih dengan tinggi 160 centimeter itu memang tampak cantik mengenakan pakaian dengan warna apa pun.
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/376485331-288-k121211.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Spesial
RomancePengusaha kaya bernama Satya ini mengira kalau gadis yang dinikahinya adalah gadis yang bodoh, karena gadis itu berasal dari desa. Dia tidak menyangka kalau niatnya memanfaatkan gadis itu berbuntut menjadi cinta.