Hilya mulai mencari-cari handphonenya yang tiba-tiba hilang. Dibukanya tas, koper, laci, dan almari yang ada di kamar itu.
"Cari apa?" tanya Satya mengejutkan konsentrasinya.
Pria bertubuh atletis yang baru masuk kamar itu, tampak memperhatikan Hilya yang sedang bingung.
"Handphoneku hilang," kata Hilya.
"Aku yang simpan," sahut laki-laki itu datar.
"Kenapa?"
Sejenak Satya menatap wajah Hilya yang penuh tanya.
"Aku rasa kamu tidak butuh benda ini."
Hilya bergeming mendengar jawaban suaminya.
"Jika kamu ingin menghubungi seseorang, kamu bisa menghubungi mereka lewat handphoneku," lanjutnya kemudian.
"Mmm... Iya." Hilya mengangguk dan perlahan duduk di tepi ranjang.
"O iya, kemasi semua barang-barangmu, karena tiga jam lagi kita akan keluar dari hotel ini."
"Maksudnya, kita akan menginap di rumahku?" tanya Hilya dengan senyum sumringah.
"Tidak, kamu akan ikut denganku pulang ke ibu kota."
Hilya kembali bergeming.
"Segera kemasi barang-barangmu! Aku akan keluar dulu sebentar," perintah suaminya kemudian.
"Aku ingin berpamitan pada orang tuaku," kata Hilya saat suaminya itu hendak berjalan menuju pintu keluar.
"Mmm..."
Satya menoleh dengan tersenyum, lalu mengeluarkan handphone dari saku jas.
"Ini, hubungi mereka!" katanya dengan menjulurkan handphone itu ke arah Hilya.
Terlihat di layar ponsel, Satya sudah menghubungkan panggilan kepada orang tua Hilya.
"Assalamualaikum Abah!"
Terdengar Hilya mulai berkomunikasi dengan orang tuanya di depan Satya.
"Waalaikum salam," jawab Abah Hilya, sebuah jawaban yang terdengar keras, karena volume suara yang sengaja diatur keras oleh Satya.
"Abah! Hilya mau pamit," ucap Hilya dengan suara melas.
"Iya, Abah tau, tadi suami kamu juga sudah pamit pada Abah dan Ummi, kalau malam ini dia akan membawa kamu pulang ke rumahnya. Suami kamu itu 'kan orang sibuk, jadi kamu harus selalu mendukung pekerjaannya, ikutlah kemanapun dia pergi, berangkatlah dengan hati ikhlas, jangan sedih, agar hati suami kamu tenang, dan hati Abah ummi juga tenang!" pesan Abah Hilya. "Ini ummimu mau bicara," katanya kemudian.
"Iya," sahut Hilya.
"Hilya, jadilah istri yang baik ya di sana, temani suami kamu, ingat pesan ummi, saat ini ridho suami kamu adalah ridho tuhanmu! Ummi, abah akan selalu mendoakan keselamatan dan kebahagiaan kamu dari sini."
Tak lama setelah itu pembicaraan mereka selesai. Hilya segera mengembalikan handphone itu kepada Satya, seraya kemudian mengemasi barang-barangnya.
Akhirnya tiga jam telah berlalu. Dengan pesawat pribadi Satya membawa Hilya terbang menuju tempat tinggalnya.
Wajah Hilya terlihat murung, ada rasa cemas dalam hatinya, dia mulai merasa ada sikap berbeda yang ditunjukkan Satya padanya. Namun dia berusaha meredam ketidak tenangannya itu dengan mengingat pesan-pesan ibunya, bahwa ibu yang biasa dia sebut Ummi akan selalu berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan hidupnya.
Akhirnya Hilya bangun prasangka baik dalam dirinya untuk selalu mempercayai suaminya.
Ditatapnya wajah pria berkulit putih bersih yang duduk di sampingnya saat dalam pesawat itu. Masih belum ada cinta di hati Hilya, namun saat ini pria itu telah menjadi suaminya, yang harus selalu dia hormati dan taati.
Beberapa jam kemudian pesawat yang Hilya naiki telah mendarat.
Sudah ada mobil yang menjemput rombongan Hilya dan suaminya saat keluar dari bandara.
Tidak sepatah kalimatpun keluar dari mulut Satya di tengah-tengah perjalanannya dengan Hilya. Baik di dalam pesawat, maupun di dalam mobil. Hingga mobil yang mereka naiki sampai disebuah tempat parkir gedung berbintang.
"Kita tidur di hotel lagi?" tanya Hilya saat mereka baru sampai lobby gedung tersebut.
"Ini apartemenku, kamu akan tinggal di sini. Ayo!" kata Satya seraya mengajak gadis yang berasal dari desa itu naik ke lantai 20 apartemennya menggunakan lift.
Tampak petugas kebersihan apartemen itu membawakan tas dan koper milik Hilya.
"Terima kasih!" kata Satya seraya memberikan tips pada petugas kebersihan itu, saat mereka telah sampai pintu apartemen yang dituju.
"Waaah, luas sekali, seperti rumah ya?"
Sikap Hilya begitu polos saat masuk ke dalam apartemen itu.
"Apa keluarga mas Satya juga tinggal di sini?" tanyanya kemudian.
"Tidak," jawab Satya singkat.
"Lalu mereka tinggal di mana?" tanya Hilya lagi.
"Aku hidup mandiri, dan kami memang tidak tinggal bersama," jawab Satya.
"Lalu kapan aku bertemu dengan mereka?"
"Aku masih sibuk, dan orang tuaku juga masih sibuk, nanti jika aku punya waktu luang, akan aku perkenalkan kamu pada mereka," jawab Satya.
"O iya, keluarga Mas Satya yang datang ke pernikahan kita waktu itu, apa mereka juga tinggal di kota ini?"
"Hmmh!" Satya membuang napas. "Tidak, mereka semua tinggal di luar kota," sahut laki-laki itu sedikit kesal.
"Sekarang cepat kamu bereskan barang-barangmu dan kemudian mandi! Aku akan siapkan makan, kamu pasti lapar kan?" katanya dengan nada datar seraya meninggalkan Hilya menuju dapur yang ada di sudut kiri ruangan itu.
Dengan pikiran penuh tanda tanya Hilya mulai merapikan barang-barangnya. Ada perasaan cemas dalam hatinya saat menghadapi sikap suaminya yang begitu dingin.
Setelah selesai merapikan barang-barangnya, Hilya segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, dan ketika dia keluar dari kamar mandi tampak Satya sudah menunggunya di meja makan.
"Aku sudah siapkan makanan untukmu, makanlah! Aku akan keluar," pamit Satya sembari bangkit dari tempat duduknya.
"Mau kemana? Ini kan masih jam tiga pagi?" tanya Hilya.
"Ada urusan penting yang harus aku selesaikan di kantor," sahut Satya. "O iya, nanti siang jika kamu lapar, aku sudah siapkan makanan di kulkas, kamu tinggal menghangatkannya. Bisa menggunakan microwave atau dengan memasaknya kembali di kompor," terang Satya. "Aku pergi dulu!" katanya kemudian.
Dipandangi langkah laki-laki yang baru kemarin menikahinya itu.
Hilya mulai duduk di meja makan, dengan air mata berlinang setelah laki-laki itu pergi. Tidak dimungkiri, ada bayangan malam pertama indah di benak Hilya, sikap romantis penuh kasih suaminya, serta belai kasih sayang suaminya.
Meskipun Hilya belum seutuhnya mencintai suaminya, namun sikap dingin pria itu mampu membuat hati Hilya kecewa, apalagi ketika pria itu meninggalkannya di malam pertama.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Spesial
RomansaPengusaha kaya bernama Satya ini mengira kalau gadis yang dinikahinya adalah gadis yang bodoh, karena gadis itu berasal dari desa. Dia tidak menyangka kalau niatnya memanfaatkan gadis itu berbuntut menjadi cinta.