Bab 1 (CEO Vs Santriwati)

47 6 1
                                    

Hilya mulai menunduk saat Abahnya meninggikan suara. Abah Hilya, Haji Abdul Ghofur sangat marah ketika Hilya bersikukuh menolak perjodohan yang telah dia putuskan.

"Wanita itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Lagi pula apa sih yang kamu cari? Uang Abah banyak, nggak mungkin habis kamu gunakan sampai tujuh turunan. Kamu nggak perlu kerja, jadi untuk apa kamu sekolah tinggi-tinggi, ijazah S1 kamu itu sudah cukup, nggak perlu kamu kuliah S2, S3, atau kuliah apalah itu namanya," ucap Haji Abdul Ghofur menyeranga.

"Abah dan ummi sudah cukup menyekolahkan kamu, sekarang kewajiban Abah dan ummi adalah menikahkan kamu, jadi kamu tidak boleh menentang keputusan Abah!" putus Haji Abdul Ghofur seraya beranjak dari kursi yang semula dia duduki, meninggalkan Hilya dan umminya.

Terlihat Hajjah Halimah, ibunda Hilya yang biasa dipanggil ummi, mengelus-elus kepala Hilya yang dibalut oleh kerudung syar'i warna coklat muda.

"Abahmu benar, kamu adalah anak satu-satunya abah dan ummi, usiamu juga sudah cukup untuk menikah, jadi wajar jika abah sangat menginginkan menantu."

Hajjah Halimah mencoba menjelaskan keinginan suaminya kepada putri semata wayangnya dengan suara lembut.

"Untuk apa sih Nak, kamu ingin melanjutkan S2? Ummi rasa pendidikan S1 kamu itu sudah cukup sebagai bekal mendidik anak-anak kamu nanti," sambung Hajjah Halimah dengan kembali mengelus-elus kepala putrinya yang masih menunduk lesu.

Terpancar kesedihan mendalam di raut wajah Hilya. Gadis yang baru satu hari pulang dari pesantren ini, meresa sangat kecewa dengan sikap abahnya yang tiba-tiba hendak menikahkannya tanpa sebuah perundingan.

"Hilya sudah berjuang ummi untuk mendapatkan beasiswa S2 ini, dari sepuluh teman Hilya di pesantren, hanya Hilya yang lolos saat mengikuti tes. Hilya sedih ummi, Hilya harus melepaskan beasiswa S2 Hilya, dan harus melepaskan kesempatan untuk bisa belajar di luar negeri."

Hilya masih menunduk saat mengatakan hal tersebut pada umminya.

"Memangnya tujuan kamu apa sih Nak, ingin jauh-jauh belajar di luar negeri?"

Hajjah Halimah kembali mengelus kepala putrinya dengan lembut.

"Hilya punya impian besar ummi, Hilya ingin setelah selesai pendidikan nanti dapat membangun dan mengembangkan pendidikan yang berbasis Islam di desa ini, syukur-syukur Hilya bisa membangun pesantren," jelas Hilya.

"Hilya ingin ilmu Hilya bermanfaat ummi," tambahnya dengan suara masih diselimuti kesedihan.

Terlihat tangan lembut Hajjah Halimah menggenggam jari jemari putrinya.

"Dengan menikah, ilmu kamu juga bisa bermanfaat kok Nak, kamu bisa mendidik anak-anak kamu nanti."

Hajjah Halimah berusaha memberikan semangat.

"Bukan masalah itu ummi, Hilya sangat ingin membangun desa ini, membangun pendidikan di tanah abah yang sangat luas, agar menjadi manfaat dan pahalanya terus mengalir," sahut Hilya dengan menekan suaranya.

Hilya, gadis cantik nan pintar yang namanya memiliki arti perhiasan ini, mempunyai sebuah impian besar. Dia ingin membangun desanya setelah lulus dari pendidikan S2nya.

Semula perasaan Hilya sangat bahagia ketika mendapatkan beasiswa pendidikan Pascasarjana di Khartoum International Institute For Arabic Language Sudan. Namun impiannya untuk belajar di luar negeri kini telah pupus, ketika abahnya tanpa sebuah perundingan telah menentukan tanggal pernikahan dirinya dengan laki-laki yang sama sekali belum dia kenal.

"Dengarkan ummi, Nak! Untuk masalah impianmu membangun pendidikan di desa ini, kamu tidak perlu khawatir. Calon suamimu adalah orang kaya, dia pasti sanggup membangunkan sekolah atau pun pesantren yang besar seperti impian kamu. Hotel berbintang saja dia bangun, apalagi hanya sebuah sekolahan," kata Hajjah Halimah dengan merangkul tubuh putrinya.

"Maksud Ummi?"

"Nak, suami kamu itu seorang pengusaha besar, pengusaha sukses, dia telah banyak membangun rumah dan gedung-gedung bertingkat di kota. Seperti di kota kita saat ini, kamu tahu kan gedung berbintang yang masih dalam tahap pembangunan di tengah kota, itu calon suami kamu yang menangani proyek pembangunannya."

"Maksud ummi, gedung yang akan dijadikan mall dan rumah sakit itu?"

"Iya, benar."

"Berarti dia orang kaya Ummi?"

"Hmm..."

Hajjah Halimah tersenyum. 

"Sudah kaya, tampan lagi," tambahnya.

"Bagaimana dengan akhlak dan agamanya ummi? Apa abah juga telah melihat dua hal itu, sebelum memutuskan menikahkan aku dengannya?"

Seketika Hajjah Halimah bergeming mendengar suara datar dari putrinya. Matanya berkedip-kedip seolah memikirkan jawaban apa yang hendak dia berikan dari pertanyaan putrinya tersebut.

"Ummi yakin, abahmu pasti sudah memikirkan hal itu, Nak," sahut Hajja Halimah lembut dengan menepuk-nepuk bahu putrinya seraya beranjak dari sofa ruang keluarga meninggalkan gadis itu pergi.

Bersambung

Bidadari Spesial Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang