prolog

152 63 24
                                    

‘’Tidak ada seorang pun di dunia ini, yang bersedia hidup berdampingan dengan kesusahan. Yang ada hanyalah, orang-orang yang sudah pasrah dengan keadaan”~Melody.

Kring...kring...kring....
 
Bel sekolah telah berbunyi. Menghamburkan para siswa-siswi keluar dari ruang kelas masing-masing, namun sepertinya hal tersebut tidak merubah keheningan kelas tiga B. Kelas tersebut nampak hening, canda tawa yang biasanya menghiasi kelas tersebut, nampak enggan untuk keluar dari bibir-bibir mungil tiap anak.

“Buu, haruskah ibu pergi?” tanya Jono pada Melody yang merupakan wali kelas dari kelas tersebut, sekaligus guru bk di sekolah swasta Bakti Mulya. “Iya nak, kan ibu harus pertukaran dinas. Jadi nanti, kalau ibu pergi ya ada penggantinya” jawab Melody dengan antusias. Tapi, tak bisa di sangkal, walaupun baru mengajar disana selama tiga tahun lamanya, Melody sudah sangat akrab dengan murid-murid disana. Kekonyolan mereka, pertanyaan random mereka, menjadi mood booster Melody ketika dia jenuh dengan cita-citanya sendiri.
 
   Namun, apa mau dikata. Tuntutan pekerjaan mengharuskan dia meninggalkan murid-murid kesayangan nya ini. Apalagi dia salah satu guru muda pertama yang di perintahkan menjadi seorang wali kelas. Sedih, senang sudah menjadi santapannya kali ini. Di satu sisi, dia harus membangun kepercayaan diri pada anak-anak didiknya, di sisi lain dia juga sedih harus meninggalkan siswa-siswi kecintaannya.
 
“Nak, percayalah. Besok jika kalian sudah besar, kalian akan bertemu dengan guru-guru yang lebih baik dari ibu. Bahkan besok, akan ada pengganti ibu yang akan kepala sekolah kenalkan pada kalian.

Setiap orang punya cara sendiri untuk mengasihi orang lain, jadi nanti seperti apapun guru baru kalian, jangan di benci yaa. Ibu yakin beliau pasti akan sayang ke kalian juga. Janji??” jelas Melody panjang lebar, diakhiri dengan ia menunjukkan jari kelingkingnya.
 
  Satu per satu siswa maju untuk menautkan kelingking mereka ke kelingking ibu guru favorit mereka itu. Barisan begitu rapi, lebih rapi ini daripada barisan saat upacara hari Senin. Setelah 20 siswa usai dengan kelingking mereka, secara serentak pelukan hangat dan penuh ketulusan mereka berikan pada Melody. “Terima kasih yah bu, ibu sudah selalu bersama sama kami” kata Mona. “Iya bu, ya meskipun kadang ibu galak, tapi ibu kesayangan kami” jawab Johan dengan mulut penuh permen karet.

Setiap siswa dapat kesempatan berbicara dengan Melody, hati Melody begitu terenyuh, sebab dia mengingat perkataan seseorang padanya “cinta anak-anak begitu sangat tulus, sebesar apapun kita mengecewakan mereka, kita tetap jadi orang yang mereka ingat ketika mereka kesulitan” benar rupanya kata-kata tersebut. Melody hanya bisa tersenyum dan mengelus kepala anak-anaknya satu per satu sambil menahan air mata di pelupuk matanya.

Jam 21.00

Setelah usai dengan acara perpisahan yang dibuat khusus untuknya, akhirnya selesai sudah pengabdian nya untuk sekolah swasta favorit tersebut. Esok pagi dia harus sudah berada di tempat baru. "Jangan sampai terlambat, citra baikku harus tetap ada dan sama" kata Melody terkekeh dalam hati.

Bruukk...

Melody nampaknya bertabrakan dengan seseorang, dia tak peduli. Yang jelas dia harus membereskan tas tangannya yang jatuh dan isinya yang berserakan di jalan. "Huh, malam-malam cari ribut aja. Untung saja aku sudah lelah, jadi tak ada tenaga lagi untuk meributkan hal sepele begini" gerutu Melody dalam hati. "Maaf mbak, mau saya bantu?" Tanya seseorang.  Dari suaranya sudah nampak jelas dia laki-laki.

Secangkir Kenangan Masa lalu (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang