CHAPTER 38

267 20 4
                                    

Jika takdir yang sudah dituliskan untukmu seperti itu. Lantas mau bagaimana lagi? Kamu punya keinginan tapi Allah juga punya kuasa.

-Bilal Abidzar Ar Rasyid

°°°

Tuk

Tuk

Hanna membuka pelan pintu rumahnya. Setelah terbuka, ia nampak terkejut karena yang berdiri tepat dihadapannya adalah Bilal bersama Umi Asma dan Abi  Khalid.

"Assalamualaikum!" Ucap mereka semua serentak.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah." Jawab Hanna dengan suara yang sangat pelan karena masih syok.

"Siapa, nak." Tanya Bundanya Hanna dari dalam. Bunda langsung berjalan menghampiri Hanna sambil tersenyum lebar.

Namun, senyumannya langsung tertutup kembali karena melihat Bilal dan kedua orang tuanya. Kedua bola matanya langsung membulat sempurna sambil menatap tajam. "Ngapain kalian kesini?"

"Bilal datang kesini mau minta maaf sama Bunda. Sama Hanna juga." Lirih Bilal dengan suara yang terbata bata.

Bunda tidak merespon sedikitpun. Ia justru memalingkan wajahnya dihadapan Bilal seolah jijik melihatnya.

Bilal yang melihat itu semakin merasa bersalah. Ia langsung menunduk dan meletakkan kedua lututnya sampai menyentuh lantai. Air matanya juga ikut menetes membasahi kedua pipinya. "Maafin Bilal, Bunda."

Umi Asma ikut kasihan melihat anaknya yang sudah sangat memelas. Sambil meneteskan air mata, ia juga mengatupkan kedua tangannya dihadapan mereka berdua untuk meminta maaf. "Saya ngerti, Irma. Sebagai orang tua kamu pasti kecewa dan sakit hati dengan Bilal. Tapi, semua ini sudah terjadi dan Bilal juga sudah menikah. Jadi saya mohon tolong ikhlaskan semua ini."

"Kalian harus ingat. Semua ini juga terjadi atas kehendak Allah. Allah sudah mengatur jodoh seorang hamba jauh sebelum mereka dilahirkan." Sambung Abi Khalid yang nampak tenang sambil memberikan solusi terbaik.

Mereka semua terdiam sejenak. Hanna juga ikut tertegun, ia langsung menarik tangan Bunda untuk mengajaknya kedalam. "Ikut Hanna sebentar, Bunda."

Hanna membawa Bunda kedalam kamar. Setelah berada di dalam kamar, mereka berdua berbicara dari hati kehati. "Benar kata Abi, Bunda."

Bunda langsung menatap wajah Hanna seolah masih belum mengerti.

"Sekarang Hanna sadar, Bunda. Percuma, walaupun Hanna berjuang sampai nangis darah sekalipun kalau Bilal bukan takdirnya Hanna. Tetap nggak akan bisa."

"Tapi, Bunda nggak bisa terima, nak. Ayah kamu sendiri nggak pernah nyakitin kamu apalagi sampai bikin kamu nangis kayak gini."

"In syaa Allah, Hanna sudah ridho dengan semua ini, Bunda. Karena sampai kapanpun Bilal nggak akan pernah bisa jadi milik Hanna."

Bunda tidak merespon sedikitpun ucapan Hanna. Ia masih terus menangis sambil mengelus pelan pipi Hanna.

Hanna berusaha tersenyum sambil menyeka air matanya yang hampir tumpah. "Bunda. Hanna cuma ingin melanjutkan hidup dengan damai. Hanna nggak mau menyimpan dendam sama siapapun."

"Ya Allah, nak. Sungguh mulia hati kamu nak." Lirih Bunda sambil mengelus ngelus kepala Hanna. Tanpa sadar air matanya semakin mengalir deras membasahi kedua pipinya.

Disisi lain.

Umi juga ikut menunduk kelantai sambil memegang kedua pundak Bilal. "Nak. Ayo kita pulang."

Lentara Untuk Zaujaty [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang