CHAPTER 47

626 23 12
                                    

Akhirnya aku menyadari bahwa hidupku hanya sebatas luka bagi orang lain.

-Azzalea Syafa Lorenza


°°°


Malam hari pukul 11:30 WIB, Bilal dan ketiga temannya akhirnya sudah berada di pesantren.

Dadanya semakin bergejolak dengan seribu ketakutan yang ia ciptakan sendiri. Apakah orang tuanya akan mempercayai ucapannya? Atau malah mengecam keras atas perbuatan yang belum terbukti kebenarannya itu?

Bilal langsung menarik nafas panjangnya karena berusaha menghilangkan gugupnya. Ia bergegas masuk ke dalam menemui Abi Khalid dan Umi Asma di Asrama. Sementara ketiga temannya hanya mengantar sampai di depan pagar pesantren.

Dengan langkah yang sangat tertatih, Bilal langsung mengetuk pelan pintu Asrama yang sudah terbuka lebar. "Assalamualaikum!"

Dari dalam, Abi Khalid sudah menunggu Bilal di kursi sofa dengan tatapan tajamnya. Sementara Umi Asma hanya menatap dengan penuh kekecewaan. "Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Nafas Bilal semakin berdetak sangat kencang seperti sudah hilang kendali. Sambil menarik nafas panjangnya dan dengan langkah yang semakin tertatih, Bilal mulai berjalan perlahan mendekati Abi Khalid dan Umi Asma.

"Benar kamu sudah melakukan perbuatan kotor bersama Hanna?" Tanya Umi Asma memecah keheningan.

Bilal tidak menjawab sepatah katapun. Ia hanya mampu menundukkan wajahnya kelantai sambil meneguk pelan air ludahnya karena menahan gugup.

"JAWAB BILAL?" Bentak Abi Khalid.

DEGH

Se isi ruangan mendadak hening diikuti jantung yang semakin berdetak sangat kencang. Wajah Bilal semakin menunduk ke lantai karena ketakutan.

Ini pertama kalinya Abi Khalid meninggikan suaranya di depan istri dan juga anaknya. Siapa yang tidak akan murka jika mengetahui anak yang selama ini ia besarkan dengan nilai nilai agama. Tapi, sekarang anaknya telah mempermalukan dirinya bukan hanya dihadapan manusia. Tapi, juga dihadapkan Allah Subhana Hu Wata'ala.

Sambil berusaha mengatur laju nafasnya. Bilal langsung menganggukkan kepalanya dengan pelan dengan bibir yang sudah bergetar hebat. "Ma-maaf."

Kedua bola mata Abi Khalid langsung memerah karena amarahnya sudah benar benar berada di puncaknya. "ASTAGHFIRULLAH HAL AZIM, BILAL. KENAPA KAMU MELAKUKAN HAL YANG JELAS JELAS KAMU SENDIRI SUDAH TAHU HUKUMNYA. INGAT DENGAN MURKANYA ALLAH, BILAL. AZAB ALLAH SANGATLAH PEDIH."

"KAMU JUGA SUDAH PUNYA ISTRI YANG SEHARUSNYA KAMU JAGA PERASAANNYA. BUKAN MALAH BERMAIN API DIBELAKANG NYA. APA ISTRI KAMU TIDAK CUKUP BUAT KAMU?" Lanjut Abi Khalid.

Sementara Umi Asma hanya menangis sambil terus mengelus ngelus punggung Abi Khalid karena berusaha menenangkan nya. "Istighfar, Bi. Istighfar."

"Kamu rajin sholat, kamu mengerti agama bahkan kamu juga menghafalkan ayat ayat Allah. Tapi, kenapa hidup kamu seolah tidak punya agama. Kelakuan kamu tidak mencerminkan semua itu. Sebenarnya apa yang kamu cari, Bilal? Apa ibadah yang kamu jalankan selama ini hanya sekedar topeng agar membuat semua orang terkesan?" Tanya Abi Khalid.

Bilal juga tak kuasa menahan tangisnya. Air matanya juga melaju dengan cepat diikuti nafas yang sudah tersendat sendat. "Maafin Bilal. Abi, Umi."

"Kamu anak kami satu satunya yang seharusnya bisa menjadi jembatan untuk orang tuamu masuk surga. Tapi, apa? Ternyata kamu justru menyeret kami berdua masuk ke dalam neraka. Abi malu Bilal, malu. Apa yang akan Abi jawab dihadapan Allah di hari penghakiman kelak?" Lanjut Abi Khalid yang terus menjerit sehingga membuat nafasnya semakin tersendat sendat.

Lentara Untuk Zaujaty [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang