6

169 32 2
                                    

Lucinda yang masuk ke kereta masih diam tanpa banyak bicara. Seolah ada yang begitu mengusik kepalanya saat ini membuat gadis itu hanya meremas tangannya dengan banyak pertanyaan yang mengusiknya.

Nuran yang menatap sang nona yang terus tidak bicara, agak sedikit khawatir. "Nona, anda terluka?"

Lucinda yang mendengarnya segera menggeleng. Kemudian ingat kalau dia harusnya bertanya pada pelayannya yang pelayannya rasakan semalam. "Nuran."

"Ya, Nona?"

"Apa kau merasa aneh semalam?"

"Semalam? Tidak, Nona. Apa yang aneh? Bukankah kita tidur nyenyak semalam? Sangat nyenyak sampai saya bangun paginya dengan tubuh yang benar-benar segar. Sepertinya tempat itu diberkahi. Karena kita sudah menjelajah hutan seharian, saya pikir pagi harinya setelah bangun badan saya akan terasa pegal dan tidak nyaman. Tidak saya sangka malah sebaliknya."

Ya, dan itu tempat anehnya. Harusnya pagi hari ini mereka sedang merasakan sakit di sekujur tubuh. Apalagi Lucinda yang sempat terjatuh, meski tidak sampai melukainya. Tapi harusnya itu membuat dia setidaknya bisa merasakan sendiri akibat dari jatuh itu. Tapi tidak ada perasaan seperti itu, malah rasanya begitu baik.

Seolah dia dibuai semalaman dan dibuat rileks tubuhnya sampai semua rasa sakit itu tidak dirasakan sama sekali olehnya.

Tapi dengan kewaspadaan Lucinda dan tidak mudahnya dia tidur di tempat asing, semalam sungguh dia pertanyakan. Ada yang salah. Pria itu entah melakukan apa padanya. Lucinda menggosok seluruh tubuhnya dengan agak kasar.

"Nona, ada apa?"

"Bukan apa-apa. Hanya membersihkan diri dari pengaruh buruk."

Nuran yang mendengar hanya tersenyum. "Anda ada-ada saja."

Lucinda tidak bisa ikut tersenyum dengan Nuran. Dia sedang merasa ngeri membayangkan apa yang dilakukan pria mesum itu pada tubuhnya. Dia bergidik hanya dengan membayangkannya.

Kereta yang membawa mereka kembali tiba-tiba berhenti. Lucinda memandang ke arah luar melewati kain jendela yang dia sibak perlahan. Merasa ada yang salah di luar sana dengan suara angin yang tidak biasa.

"Ada apa?" Nuran bertanya pada kusir yang membawa mereka.

Sang kusir menatap mereka dengan teror dan yang mengejutkan adalah pria yang dibayar mahal itu segera melarikan diri tanpa sekali pun menatap ke belakang. Dia berteriak seperti orang gila yang hendak dibunuh. Itu membuat Nuran dan Lucinda saling berpegang tangan.

Tidak lama kemudian terdengar suara serak dari luar sana meminta mereka keluar. Kalau mereka tidak keluar maka suara itu akan menerobos masuk dan membuat masalah.

Lucinda memberikan anggukan pada Nuran karena mereka tidak memiliki pilihan. Nuran meraih tangan Lucinda dan membawanya keluar. Lucinda meraih tongkatnya terlebih dahulu. Saat ini tidak ada senjata, tongkat itu harusnya cukup berguna. Meski dia sendiri tidak tahu berapa lawannya di luar sana.

Meraba dengan pelan, Lucinda sudah turun dari keretanya. Dia menemukan tiga orang yang menghadang mereka dengan mengarahkan pedang ke arah mereka.

"Mereka sepertinya bandit gunung, Nona," bisik Nuran dengan menggigil. "Saya akan menghadang mereka. Anda lari ke sisi kanan dan terus lari lalu cari tempat persembunyian. Saya akan menahan anda sebisa mungkin."

Lucinda menepuk punggung tangan Nuran yang ada di lengannya. "Aku tidak akan meninggalkanmu. Mari hadapi bersama."

"Tapi, Nona—"

"Dengarkan aku, tidak akan ada yang berpisah. Kita hadapi berdua."

Nuran mengangguk dengan terpaksa, meski saat ini prioritasnya adalah melindungi sang nona. Tapi saat dia tidak memiliki pilihan, Nuran hanya bisa mati bersama majikannya itu. Setidaknya mereka bisa mengakhiri hidup mereka sendiri dari pada membiarkan para bandit itu menyentuh mereka.

Lucinda sendiri menatap mereka dalam balut tertarik. Mereka bukan bandit gunung, mereka bukan penjahat biasa sama sekali. Dengan lapis pakaian yang cukup mahal dan senjata yang jelas dibuat dengan ahli. Mereka adalah orang dari istana. Satu-satunya yang mengutus mereka adalah pria yang masih memiliki kecurigaan padanya itu. Entah apa maksud pria itu mengirim para bandit ini ke sini. Apa untuk mengujinya lagi? Atau malam tadi ujiannya cukup menjadi alasan pria itu membunuhnya hari ini?

Jika pria itu menginginkan kematiannya, maka Lucinda harus meminta maaf karena hari ini dia belum mau mati.

"Serahkan semua barang berharga kalian!" seru sang pemimpin yang tampak coba menggarangkan diri.

Tubuh Nuran bergetar melepaskan kantong uang mereka. Dia melemparkan benda itu kemudian. "Kalian boleh mengambilnya, bahkan kereta ini juga silakan buat kalian. Tapi jangan sakiti nonaku. Ambil dan pergilah."

Si pemimpin tertawa, memegang perutnya dengan bahagia. "Kau banyak omong!" seru pemimpin itu dan hendak menyerang.

Lucinda dengan sigap memberikan pukulan ke arah leher pria itu dengan tongkatnya sampai pria itu mundur dua langkah. Tapi di sudut matanya Lucinda malah menemukan ada sosok lain yang datang mendekat seperti hendak menyelamatkan. Lucinda yang sepertinya salah membaca rencana hari ini mendatangkan masalah untuk dirinya sendiri.

"Kau—" Pria itu menunjuk hendak mengatakan sesuatu.

"Kenapa dengannya, Nuran?" tanya Lucinda bodoh.

"Hebat, Nona. Anda tepat sasaran, anda memukulnya."

Nuran tidak menyadari pria dengan pakaian putih yang menatap di kejauhan itu. Bagus, maka Lucinda akan membuat pria itu mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Biarkan aku memukulnya untukmu," ucap Lucinda dan segera memukul sembarang arah.

Penyerang itu segera menyasar ke arah tubuh Lucinda, seperti hendak membuktikan sesuatu. Tapi Lucinda lebih pintar darinya, karena dia membiarkan pedang itu mengenai bahunya. Tusukannya tidak dalam tapi cukup mengeluarkan darah.

"NONA!" seru Nuran berlari mengejar.

Dan tidak lama pedang pria yang menyerang terlepas dari tangannya. Pria dengan pakaian putih bertarung melawan tiga orang yang segera dipukul mundur tersebut dengan mudah. Lucinda mendengus melihatnya, tentu saja dia mudah mengalahkannya. Mereka adalah komplotan.

Pria pakaian putih itu bukan Kaufman. Tapi sepertinya satu kubu dengan pria pembunuh itu. Mereka sama saja.

Tubuh Lucinda segera hampir jatuh. Nuran yang agak terlalu jauh tidak bisa menangkapnya jadi Lucinda sudah menyerah akan berakhir pada krikil kecil yang menyakitkan itu. Tapi sebuah tangan besar menghentikan tubuhnya dari terluka. Sosok itu adalah Kaufman yang segera memeluknya dan membuat Lucinda malah berada pada satu paha pria itu yang memang tengah berlutut.

Saat pandangan mata mereka bertemu dan Lucinda dapat menemukan mata yang begita terang itu sedang menyorot padanya, dia bergegas mengalihkan pandangannya. Tongkatnya sudah lama dia jatuhkan, jadi tangannya yang bebas menyasar ke dada dan naik ke leher. Dia meraba sampai dia menemukan wajah sosok itu.

"Kau bukan Nuran. Siapa kau?" tanya Lucinda dengan agak keberatan. Dia segera hendak membebaskan diri dengan ketakutan.

"Tenanglah, kau terluka."

"Lepaskan. Kau pria!" seru Lucinda mengingatkan sosok itu. Bagaimanapun keinginan Lucinda untuk berpura-pura, dia tidak dapat sedekat ini dengan pria yang tidak akan bertanggung jawab dengannya. Apalagi pria itu lawan dan bukan kawan.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

My Cruel King (MIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang