8

130 31 0
                                    

"Jangan macam-macam denganku, Tuan. Walau aku buta, aku masih bisa melawan."

"Apa yang kau katakan, Nona. Aku tidak mengerti."

Lucinda hanya mendengus. Dia menyilangkan tangan di depan tubuh dan menatap ke arah lain. Meraba ke arah jendela, dia menyibak kain jendela itu dan merasakan udara mulai menyapu wajah indahnya. Wajah tanpa polesan pewarna itu malah membuat dia menunjukkan keindahannya yang asli. Keindahan yang tanpa cacat cela. Keindahan yang tidak layak diburukkan dan keindahan yang tidak akan mudah diabaikan.

Sapuan angin pagi hari membawa sejuk kenyamanan dalam memandangnya. Siapa pun yang melihat akan mendapati dirinya berada dalam ketenangan yang mustahil didapatkan.

Bibir itu tipis tapi penuh. Dengan bola mata cerah yang menggugah selera. Andai mata itu menatap lawannya, maka kau akan menemukan diri tersesat dan tidak menginginkan kata kembali. Seolah nyata mata itu akan memberikanmu rumah yang selama ini kau dambakan.

Nafas Nathan tidak tenang menatapnya. Seluruh kendali dirinya yang coba dia pertahankan meruntuhkan sanubarinya. Dia menginginkannya. Begitu ingin sampai rasanya dia bisa melanggar norma dan apa yang mereka sebut sebagai tradisi. Dia hanya ingin memilikinya, entah itu suka atau tidak. Selama dia bisa mendapatkannya, dia rela menukar dengan apa pun.

"Kurasa aku memang mengenalmu, Tuan?"

Nathan tidak menanggapi, bukan karena tidak ingin. Tapi dia masih betah berada pada hipnotis perasaannya.

"Tuan?"

Nathan menatap ke arah gadis yang tampak kehilangan cahaya dalam pandangannya. "Ya?"

"Kau mendengarku? Aku mengatakan kurasa aku mengenalmu."

"Oh, ya? Bagaimana kau mengenalku? Mengingat kau sendiri tidak dapat melihat."

Lucinda meletakkan kedua tangannya di atas pangkuannya. Dia menatap ke depan ke sumber suara. Tersenyum dengan manis, kemudian Lucinda menundukkan kepalanya. "Tuan, terima kasih."

"Tiba-tiba?" tanya Nathan penasaran.

"Kau membantuku."

"Oh, soal perkelahian itu. Sebenarnya—"

"Bukan. Di gua, kau sungguh tidak mengingatnya?" Lucinda menatap dengan bimbang. "Kupikir wajahku tidak akan mudah dilupakan."

Nathan menyeringai. Memang tidak mudah dilupakan sama tidak mudahnya juga untuk ditinggalkan. "Bagaimana kau tahu aku pria yang sama seperti yang ada di gua itu?"

"Aromamu."

Nathan segera mengidu aromanya sendiri. Dia merasa tidak ada aroma. Dia benci pewangi. Sangat tidak suka ada benda asing yang bercampur dengan tubuhnya. "Bagaimana aromaku? Aku tidak suka memakai pewangi."

"Aromamu seperti hujan di musim panas. Menyejukkan."

Nathan terdiam sejenak. Kemudian tersenyum. "Kau pandai dengan kalimatmu, Nona."

"Itu kenyataan. Bukan sekedar untuk memuji hanya karena kau menyelamatkanku. Oh, bagaimana kabar pria yang bersamamu di gua? Apakah dia pria yang sama yang menjadi kusir kita?"

"Ya. Itu dia."

Lucinda hampir berdecih mendengarnya. Pria di depannya adalah pembohong besar. Dia sungguh menipu Lucinda. Untung saja Lucinda hanya pura-pura buta. Kalau sampai benar-benar buta, dan tidak tahu kebenarannya. Dia akan menganggap pria itu dewa penolong yang sangat baik.

Sekarang dia tahu kalau dia tidak boleh terus bersama pria ini lebih lama. Bisa-bisa dia yang mati. Harus buru-buru mencari jalan untuk melarikan diri. Selama dia bisa menjauh maka itu cukup. Dengan apa yang terjadi selama pertemuan mereka, Lucinda bisa menebak kalau pria ini sama sekali tidak biasa. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat Lucinda waspada. Seolah hal besar akan terjadi kalau sampai dia terus membuat pria ini tertarik padanya.

"Tuan, karena kau sudah bersedia mengantar sampai pulang, aku akan memberikan beberapa emas untukmu nantinya. Kau bagi saja dengan temanmu dan sekali lagi terima kasih sudah mau membawaku kembali ke rumah." Lucinda mengatakannya lebih dulu untuk memastikan kalau dia memang akan dibawa kembali ke rumah dan bukannya malah pergi ke mana-mana.

"Siapa bilang aku akan membawamu pulang?"

"Hah? Tapi ...."

"Kita harus mengobatimu terlebih dahulu. Jika melepaskanmu dengan luka seperti itu, aku merasa buruk. Aku tidak dapat meninggalkanmu."

Berpura-pura baik? Lucinda benar-benar tidak percaya akan ada orang yang begitu manipulatif seperti pria di depannya ini. "Aku sudah bersyukur karena kau membantu kami. Aku tidak mau merepotkanmu lebih lama."

"Tidak merepotkan. Tenang saja," jawab pria itu setenang danau.

"Tuan, kami tidak dapat menanggung kebaikan sebanyak ini. Aku benar-benar tidak nyaman. Jadi—"

"Apa kau menyembunyikan sesuatu dariku, Lucy?"

"Lucy?" ucap Lucinda tanpa berpikir panjang.

Pria itu mengelus dagunya tertarik. "Bukankah itu namamu? Kenapa? Kau lupa memperkenalkan diri padaku sebagai Lucy? Apa ada nama lain?"

Lucinda menyumpahi dirinya sendiri. Kenapa dia bisa melupakan hal penting seperti itu? "Apa yang kau katakan, Tuan? Aku sungguh Lucy. Hanya saja kau menyebut namaku langsung membuat aku terkejut. Tidak pernah ada orang asing yang langsung menyebut namaku."

"Maka kau bisa menyebut namaku juga. Kaufman. Kau tentu masih mengingatnya."

Lucinda tidak akan melupakannya. "Kaufman. Aku mengingatnya."

"Kalau memang kau tidak memiliki apa pun yang disembunyikan maka tidak masalah aku membantumu, kan? Soal kebaikanku yang aku berikan padamu, kau akan dapat dengan mudah membalasnya. Jangan khawatir pada sesuatu yang remeh seperti itu."

"Aku bisa membalasnya dengan mudah?" Lucinda memiliki firasat yang tidak menyenangkan.

"Ya. Aku tidak butuh emas atau apapun. Kau tidak perlu memberikan hal-hal semacam itu. Aku tidak kekurangan."

"Lalu bagaimana kau ingin aku membalas?"

"Kau akan tahu nanti. Waktu akan memberikanmu jawaban."

Lucinda hampir melotot mendengarnya. Dia sepertinya diberikan sebuah kebenaran kalau dia harus melakukan sesuatu yang sama sekali tidak dia senangi. Apa sebenarnya rencana pria ini dan siapa sebenarnya dia?

"El, berhenti di rumah gubuk," perintah Kaufman dengan nada dingin seperti biasa.

"Tidak mau ke kota besar saja?"

"Ada dokter pribadi di sana. Berhenti di sana saja."

"Baik."

Kuda berjalan dengan lebih kencang. Tapi kali ini gerakan kereta tidak terlalu mengganggu bagi Lucinda. Karena lukanya sudah dibebat dengan kencang. Itu membuat nyaman yang anehnya manjur tidak memberikan luka.

Begitu kuda berhenti, pria itu hendak menyentuhnya. Tapi Lucinda bergerak lebih dulu seolah dia tidak melihat tangan pria itu yang bergerak. Meraba ke pintu kereta, Lucinda hampir meloncat melarikan diri. Hanya saja menjadi buta memang benar-benar membutakan segaalanya juga. Dia tidak juga kunjung menemukan di mana gagang pintunya berada.

Sampai sebuah tangan datang dari arah pinggangnya, membantunya membuka pintu yang membuat lengan itu bersinggungan dengan pinggang rampingnya. Lucinda hampir menjerit kesal karena pria itu terus mendekat padanya. Membuat Lucinda sendiri tidak berdaya.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

My Cruel King (MIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang