4

180 38 1
                                    

"Nuran?" sebut Lucinda penuh tanya.

Pria itu mengerjap. Sepertinya tidak hanya Lucinda yang terhipnotis, pria itu juga sama. Karena setelah nama itu tersebut, Lucinda dapat melihat pria itu sedikit tergesa menyembunyikan diri.

Suara langkah terdengar mendekat dari arah kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka dan Lucinda dapat melihat kaki Nuran yang sudah berdiri di depannya.

"Anda memanggil saya, Nona?"

"Bukankah kau tadi ada di depanku?"

"Apa? Saya ada di kamar mandi. Bukan saya. Apa ada yang masuk?" Pelayan segera bergerak mencari ke arah pintu menemukan pintu itu masih terkunci dengan rapat. "Pintunya terkunci, Nona."

"Aku salah mungkin. Aku merasa seperti ada seseorang."

"Mungkin hanya perasaan anda."

Lucinda mengangguk percaya. Dia kemudian mengangkat tangannya. "Bantu aku ke kamar mandi. Aku takut menabrak sesuatu."

Nuran mendekat dan segera meraih tangan nonanya yang sudah dia urus sejak mereka sama-sama kecil. Membawanya ke kamar mandi, Nuran menatap nonanya yang meraba dengan agak kewalahan. Tanpa diduga Nuran meneteskan airmatanya. Tidak kuasa menahan gejolak perasaan kasihan melihat perempuan yang selalu percaya diri itu sekarang memiliki kelemahannya.

Mendengar isakan kecil yang coba disembunyikan itu, Lucinda melirik ke sampingnya. "Nuran, kau menangis?"

Nuran menggeleng, sadar nonanya tidak dapat melihat dia segera bicara, "tidak, Nona."

"Jangan berbohong. Kau memang menangis."

"Soal apa yang terjadi pada anda, saya akan menerima hukuman saya, Nona. Saya bersalah dan membuat anda seperti ini. Jika tidak dihukum, saya tidak akan bisa tenang."

Lucinda ingin saja mengatakan pada Nuran kebenarannya. Tapi dengan mata pria itu yang mengintainya, sulit mengatakannya tanpa membuat pelayannya berada dalam bahaya. Dia lebih suka dirinya sendiri yang mengalami bahaya itu. Jadi untuk saat ini biarkan saja.

Mereka masuk ke kamar mandi dan Nuran menatap ke arah bak mandi yang sudah terisi penuh. Dia meninggalkan nonanya mematikan air.

"Nona, saya lupa. Sabunnya belum dibawa masuk."

"Sabun?"

"Ya. Saya meninggalkannya di luar. Tunggu di sini, Nona. Saya akan segera kembali."

"Nuran!" Lucinda coba memanggil. Dia tidak mau ditinggal sendiri. Tapi Nuran sudah berlari penuh meninggalkannya. Membuat Lucinda sudah sendirian.

Tentu saja tidak sepenuhnya sendirian. Pria itu sudah bergabung dengannya. Menyelinap masuk ke kamar mandi tanpa bersuara seperti biasa. Tapi bayangannya bisa dilihat oleh Lucinda. Membuat getar pada tubuh gadis itu. Apa pria itu akan mengintipnya mandi? Sungguh bajingan jika dia benar-benar melakukan itu.

Lucinda bergerak meraba ke arah bak mandi. Berusaha membuat dirinya sendiri tetap tenang, meski di dalam dirinya dia memiliki seribu umpatan untuk pria mata keranjang yang sekarang sibuk duduk di jendela yang terbuka dengan pandangan terus mengintai ke arahnya. Seolah menunggu Lucinda melepaskan segalanya.

Pelan Lucinda duduk di pinggiran bak membelakangi pria itu, dia tidak dapat membiarkan dirinya sendiri diam menunggu sampai Nuran kembali. Kalau tidak, pria itu akan curiga ada yang salah dengannya. Jadi perlahan Lucinda melepaskan ikat gaunnya yang ada di belakang tubuhnya. Agak kewalahan dia melakukannya karena jangkuan tangannya tidak bebas sama sekali.

Setelah banyak usaha yang dia harap tidak pernah berhasil, kenyataan mengejeknya. Dia berhasil menjangkau tali gaunnya dan melepaskan ikatannya. Membawa gaun itu turun dari tubuhnya dengan mata liar pria itu yang terus menunggu.

Lucinda hampir saja melemparkann gaun itu ke arah si pria saat dia tiba-tiba mendengar suara langkah Nuran yang datang dari balik pintu tertutup. Hebat, dengan cepat pria itu berbalik dan meloncat dari lantai dua. Tanpa memikirkan kakinya yang mungkin bisa terluka.

Mendesah lega, Lucinda hampir berteriak mengatakan terima kasih pada Nuran yang kembali tepat waktu. Sepertinya pria itu benar-benar tidak akan menghentikan pandangannya kalau Nuran tidak kembali.

"Nona, saya membawa sabun dengan aroma yang berbeda, yang bisa anda pakai. Apakah tetap akan menggunakannya atau saya kembali ke pasar untuk mencarinya?" tanya Nuran dengan sabun yang berada di tangan.

Lucinda memang benci memakai sabun yang berbeda, mungkin kalau nonanya tidak buta, Nuran akan langsung pergi ke pasar tanpa kembali untuk bertanya. Tapi sekarang nonanya tidak bisa melakukan apa pun sendirian, Nuran harus terus ada di sisinya. Itu makanya dia segera kembali dengan sabun yang lain.

Dan jika Lucinda benar-benar sendirian di sini, itu lebih baik. Tapi dia tidak mau si pengintai itu kembali dan mengacaukan akal sehatnya. Lebih lama bersamanya, Lucinda rasa dia akan segera ketahuan. Lebih baik memakai sabun yang mana saja selama dia bisa mengenyahkan aroma memuakkan dari gua itu yang masih tertinggal di tubuhnya.

"Pakai sabun itu saja."

"Baiklah, Nona. Saya akan membantu anda masuk ke bak."

Lucinda sudah telanjang dan segera masuk ke bak dengan air penuh itu. Sabun di tuangkan ke bak dan aromanya segera memeluk erat Lucinda. Aroma yang manis dan menenangkan. Tapi Lucinda sama sekali tidak menyukai aromanya. Dia lebih suka aroma tegas dan dalam.

Sekarang bukan waktunya memilih-milih warna. Lebih baik dia memikirkan bagaimana menghadapi besok kalau pria itu tidak kunjung meninggalkannya. Tidak mungkin pria itu akan mengikutinya sampai ke rumah. Ayahnya bukan orang yang mudah dihadapi, dan tidak seperti di sini di mana pria itu bisa leluasa bergerak dan menyelinap, rumahnya aman dan tidak akan bisa dimasuki sembarangan orang. Kau hanya akan bisa masuk dari pintu depan.

Bersandar pada dinding bak, Lucinda menatap ke arah jari jemarinya yang tampak sibuk merasakan lembut sabun membuainya. Dia memandang penuh keingintahuan siapa sebenarnya pria itu dan apa yang dia rencanakan. Tapi saat ini Lucinda tidak bisa melakukan apa pun. Dia hanya berharap bisa membawa pelayannya kembali ke rumah dengan selamat.

"Nona, anda ingin melihat lagi tangan anda?"

Lucinda yang mendengarnya segera memandang ke arah Nuran, Nuran tidak sedang memandangnya. Dia memandang tangan Lucinda yang sedang dimainkan.

"Anda percaya saja, tuan pasti akan melakukan segalanya untuk mengembalikan pandangan anda kembali. Kita semua tidak akan menyerah."

Lucinda hampir tertawa mendengarnya tapi dia menahannya. Mana mungkin dia tertawa di atas kesedihan pelayannya yang tidak tahu apa pun.

"Aku senang kau ada di sini, Nuran. Itu cukup."

"Saya akan selalu ada di sisi anda, Nona. Percaya sama saya."

"Aku tentu saja percaya. Kau selama ini ada di sisiku. Tidak pernah meninggalkanku. Jadi sebaiknya kau segera bantu aku keluar dari bak mandi ini. Tubuhku rasanya sudah keriput."

"Baik, Nona."

Nuran sigap membantu nonanya dan membasuh tubuh itu dengan air hangat untuk membersihkan sisa sabunya. Setelahnya Nuran memasangkan baju hangat ke tubuh nonanya untuk meredam dinginnya yang ditambah dengan dingin sang malam yang sudah datang menyapa.

***

Ready pdf : 35k

My Cruel King (MIN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang