BAB 4 - Pelaku

123 24 0
                                    

Nama itu, nama yang Nada cari-cari selama dua tahun terakhir. Tapi sepertinya mustahil, jika dirinya bertemu teman SMA satu angkatan, di Milan. Negara yang jauhnya beribu-ribu kilometer dari Indonesia.

"Lo pernah sekolah di SMA Dirganusantara?" Tanya Nada spontan, tidak ada salahnya bertanya. Kalau salah yaudah, kalau benar, astaga masa iya.

"Iya,"

"Really? Angkatan 22?" Nada menutup mulutnya dengan kedua tangan, terkejut.

"Iya," Juan menjawab santai.

Afirmasi jawaban dari Juan, membuat Nada naik darah. Emosinya sekarang sudah berada di puncak ubun-ubun. Jadi laki-laki di depannya adalah pelaku. Pelaku dari segala masa keterpurukannya yang paling memalukan di SMA.

Jadi ceritanya bermula sewaktu Nada kelas 11. Seseorang mengirimkan menfess yang dipajang pada mading dan menggunakan Nada sebagai nama pengirimnya. 

Pengakuan cinta yang berlebihan dan memalukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pengakuan cinta yang berlebihan dan memalukan. Tidak mungkin seorang Nada Nasera Caltagirone membuat pengakuan cinta duluan. Parahnya, pengakuan itu dikirimkan kepada anak laki-laki yang bahkan Nada tidak tahu eksistensinya. Lagipula mana ada perempuan yang menyatakan cintanya terang-terangan dengan gombalan cringe seperti itu, lewat menfess pula. Norak.

Semua orang tahu Nada paling anti dengan anak IPS. Saat SMA, Nada adalah seorang anggota OSIS. Nada langganan ditugaskan sebagai seksi bidang HUMAS setiap kepanitiaan acara. Dalam sejarah kepanitiaan Nada, anak IPS adalah kelompok yang paling sulit diatur, pembut onar, dan selalu membuat Nada stress berat.

Lalu tiba-tiba sekolah dihebohkan dengan pengakuan cinta Nada kepada seorang anak kutu buku kelas IPS yang namanya Arya. "Guys gosip seru! Nada anak osis MIPA yang suka marah-marah itu, confess ke anak IPS," Berita tentangnya selalu saja dimulai dengan kata itu, Nada sudah hafal.

Karena itu Nada terus menjadi bual-bualan teman-teman kelas, adik kelas, hingga organisasi karena ungkapan cintanya yang palsu itu. Bahkan para guru menggunakan Nada sebagai contoh buruk dari dampak kebanyakan main sosmed. Karena tidak tahan, pada saat itu juga Nada berlari merobek kertas menfess di mading. 

Dengan segala relasi yang dia miliki. Nada pergi ke ruangan Jurnalistik, ekstrakulikuler yang ditugaskan mengisi mading. Nada memaksa temannya yang seorang tim penanggungjawab mading, untuk mencari tahu siapa pengirim sebenarnya. Tanpa perlu waktu lama Nada tahu saat itu juga, terdapat email yang tertera pada googleform. Pengirimnya bahkan tidak berusaha menggunakan email palsu atau menyembunyikan email untuk menutupi identitasnya.

juanbmntradcaprio11@gmail.com

Pemiliknya adalah Juan Bimantara.

Anak IPS 2 yang sekelas dengan Arya. Informasi email datang disusuli oleh banyak informasi lain. Dalam satu hari Nada sudah tahu latar belakang invisible enemy-nya itu. Mudahnya informasi ini karena Juan ternyata adalah sosok yang terkenal di sekolah. Nada tidak pernah mendengar namanya, karena selalu sibuk dengan dunianya sendiri.

Jika informasinya diringkas, seperti ini garis besarnya. Juan adalah seorang troublemaker sekaligus aset sekolah. Disebut troublemaker karena dia selalu punya cara untuk menciptakan kekacauan dengan menantang aturan-aturan kecil di sekolah. Selebihnya, Juan adalah seorang atlet kebanggaan, aset sekolah yang memenangkan berbagai kejuaraan di berbagai tingkatan. Wajahnya yang tampan juga menjadi hal yang selalu disertakan dalam setiap berita kemenangannya.

Muda, pintar, dan berbakat. Seperti itulah julukan Juan.

Semenjak saat itu Juan menjadi orang yang terus-menerus dicari oleh Nada hingga hari kelulusan tiba. Namun, tidak sekalipun Nada bertemu dengannya. Selalu saja ada halangan. Juan lomba di pulau lain lah, di luar negeri lah. Orang jahat paling sibuk di mata Nada.

Air hujan yang jatuh ke hidungnya membuat Nada tersadar. Nada menutup kelopak matanya untuk menahan emosi yang sudah menguap. Dia menghempaskan ingatan yang baru saja terlintas di kepalanya, kembali pada realita

"Akhirnya setelah dua tahun gue ketemu orang yang fitnah gue!" Matanya menatap tajam Juan, marah.

Juan berusaha tetap tenang, meski dia takut hingga jantungnya seperti berusaha loncat dari tempatnya. "Lo tenang dulu." Juan telah mengenali wajah Nada saat Nada mengunjungi cafe, namun dia tidak menyangka Nada masih mengingat namanya.

"TENANG?"

Juan mundur beberapa langkah, "Pahala lo itu besar banget Nad karena membuat orang bahagia. Arya suka banget sama lo. Jadi sebagai temen yang baik, gue nyenengin dia lewat surat menfess atas nama lo. Meskipun dia senengnya sehari doang karena besoknya lo marah-marah ke kelas gue."

"Kok lo tahu gue ke kelas lo? Bukannya lo keluar negeri?" Nada berbicara cepat tanpa jeda, getaran gelombang suaranya semakin meninggi.

"Karena sebenarnya gue di dalem kelas," ucap Juan enteng. Membuat Nada semakin marah berjalan agresif mendekatinya untuk meminta penjelasan. "Tapi semua orang tahu lo ngga suka Arya. Mereka semua tahu pelaku menfess itu gue. Serius!"

"Beneran?" Emosi Nada luntur dengan cepat. Perasaan lega memenuhi hatinya karena Juan mengucapkan jawaban yang paling ingin dia dengar. Sebenarnya Nada masih marah, tapi hari ini sudah terlalu banyak tenaga yang dia gunakan untuk marah.

Juan kecewa, Nada luluh dengan mudah padahal dia kira akan terjadi perang. Tahu begitu dia bohong saja, biar Nada tetap kesal. "Cepet banget marahnya? Ga seru,"

"Aslinya masih marah, confessan lo dulu alay banget tahu ga? Pake gombal segala,"

"Berarti kalo nggak alay gapapa?"

"Bener-bener lo ya," Nada kesal menjitak kepala Juan yang menyalahartikan ucapannya, membuat Juan berlari menjauh.

Nada ingin mengejar Juan tapi dia urungkan karena ponselnya berdering. Muncul nomor Bundanya di layar ponsel. Nada tidak ingin menjawab. Perasaannya seolah memberitahu mengangkat panggilan itu akan menjadi kesedihan berikutnya.

Juan menyadari ekspresi Nada berubah sendu. "NADA!" Suara Juan samar-samar tertutupi oleh suara hujan yang semakin deras.

"Apa?" Nada hanya menggerakkan mulutnya tanpa bersuara. Tangan Nada reflek memasukkan ponsel ke dalam tas mungilnya.

Juan berjalan mendekati, "Kita itu termasuk orang-orang beruntung karena tahu cara nikmatin hujan." Juan mencoba mengalihkan perhatian Nada dari benda yang tadi menganggunya.

"Tiba-tiba?" Nada tersenyum tipis, merasa situasi ini lucu.

"Lo liat orang-orang di sana?" Juan menunjuk orang-orang yang sedang berteduh. "Mereka nganggep hujan itu masalah, mereka takut kedinginan, takut kebasahan, dan hujan memperburuk hari-hari mereka yang penuh masalah."

"Memangnya kenapa?"

"Kalau kita seperti mereka. Yang cuma berdiri diam dan menghindari hujan, ya... hujan bakal makin dingin, makin memperberat masalah kita. ." lanjut Juan, suaranya lebih pelan, "Padahal hujan bisa buat kita kaya anak kecil yang gapunya beban. Lompat ke genangan air, ketawa, dan buat diri kita lupa sama hal-hal yang bikin pikiran berat." Juan menginjak salah satu genangan air.

Nada tersenyum manis, dia masuk kedalam satu genangan air yang sama dengan Juan. Jarak mereka hanya terpaut beberapa senti sekarang. "Setuju, bahkan genangan airnya cuma ada sekarang kan? Nggak selalu ada." Nada bahagia, bersama Juan benar-benar memperbaiki hari buruknya.

"Pinter," Juan mengusap puncak kepala Nada beberapa kali. "Gue harap lo selalu bisa nikmatin hujan kaya sekarang."

Jangan tanya bagaimana perasaan Nada saat ini. Kepalanya kosong, jantungnya berdetak tidak karuan, rasa hangat menjalar naik ke pipinya.

.

.

.

Terima kasih sudah membacaaa, jangan lupa tinggalkan jejak jika kalian suka dengan ceritanya. Love u all.
 

JUAN : LATE NIGHT CONCERT (JAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang