f.

47 9 1
                                    

**

Beberapa hari pun berlalu, dan semuanya berjalan dengan lancar. Kini, kamu sudah mulai terbiasa dengan rutinitas harianmu. Setiap pagi, kamu bangun lebih awal untuk menyiapkan bekal dan sarapan untuk Hajime sebelum ia berangkat kerja. Kamu merasa ada kehangatan yang pelan-pelan tumbuh dalam keseharian kalian, dan entah bagaimana, hal itu memberi rasa nyaman.

Malam itu, kamu sedang duduk di ruang tamu, membaca buku sambil sesekali melirik jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih, dan kamu tahu Hajime baru saja selesai mandi setelah seharian bekerja di kantor. Tak lama, kamu mendengar pintu kamarnya terbuka. Hajime keluar, sudah berpakaian rapi, dengan rambut masih sedikit basah.

Ia menatapmu sesaat, dan kamu tersenyum kecil sebagai sapaan. Hajime mengangguk dan membalas senyumanmu dengan lembut. Ia berjalan mendekat dan duduk di sofa di sebelahmu, tampak tenang namun sedikit ragu.

Kalian berdua terdiam, hanya terdengar suara detak jam yang menggema di ruangan. Hajime akhirnya memecah keheningan, "Terima kasih untuk beberapa hari ini. Semuanya terasa lebih... hangat." Ucapannya sederhana, namun ada ketulusan yang terasa di balik kata-kata itu.

Kamu hanya mengangguk, merasa lega bahwa apa yang kamu lakukan selama ini tak sia-sia. Tanpa kata-kata lebih lanjut, kalian duduk bersama, menikmati momen hening yang terasa nyaman, seolah keheningan itu adalah sebuah bahasa baru di antara kalian-bahasa kebersamaan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.

Dengan hati-hati, kamu mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan Hajime. Ketika malam semakin hening dan kalian sedang duduk bersama di ruang tamu, kamu akhirnya memberanikan diri.

"Hajime... aku mau minta izin," katamu pelan, sedikit ragu. Kamu menatapnya, mencoba membaca reaksinya, sementara ia menoleh ke arahmu dengan wajah penuh perhatian, menunggu kelanjutan perkataanmu.

"Aku ingin ikut arisan dengan tetangga-tetangga di sekitar sini," lanjutmu, sambil menjelaskan lebih lanjut. "Arisan ini tidak hanya untuk kumpul-kumpul saja, tapi juga bisa jadi cara untuk menabung secara teratur. Bisa membantu untuk kebutuhan kita juga, mungkin seperti membeli barang rumah tangga, atau sekadar berjaga-jaga."

Hajime mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk tanda mengerti. Kamu menjelaskan bagaimana arisan itu juga bisa menjadi cara agar kamu bisa mengenal tetangga lebih baik dan merasa lebih terhubung dengan lingkungan sekitar.

"Aku pikir ini juga bisa bermanfaat untuk kita berdua. Tidak akan besar jumlahnya, tapi... aku ingin ikut serta," katamu, menutup penjelasanmu dengan hati-hati.

Hajime terdiam sejenak, kemudian tersenyum kecil. "Kalau itu bisa membantu kita dan membuatmu nyaman, aku rasa itu ide yang baik," jawabnya dengan tenang. Ia menatapmu dengan lembut, menunjukkan bahwa ia mempercayai keputusanmu.

Kamu merasa lega, menyadari bahwa Hajime mendukungmu. Persetujuan darinya memberi dorongan semangat yang membuatmu merasa lebih dihargai, dan perlahan, kamu semakin yakin bahwa kamu dan Hajime bisa saling mendukung dalam menjalani hidup bersama.

Setelah kamu selesai bicara, Hajime terdiam sejenak, tampak seperti sedang memikirkan sesuatu yang cukup dalam. Beberapa detik kemudian, ia menghela napas ringan dan menatapmu.

"Kamu tahu..." katanya perlahan, "Aku rasa semua gajiku... mungkin lebih baik kalau kamu saja yang mengaturnya. Supaya lebih teratur, dan mungkin juga akan lebih mudah untuk mengelola kebutuhan kita."

Kamu terdiam, sedikit terkejut. Hajime menatapmu dengan pandangan tenang, menunggu respons darimu. Kamu merasa jantungmu berdegup lebih cepat, kagum dan terharu atas kepercayaannya yang begitu besar. Tak pernah kamu bayangkan bahwa Hajime akan menyerahkan tanggung jawab ini padamu, sebuah bentuk kepercayaan yang dalam.

"Apa kamu yakin?" tanyamu pelan, nyaris berbisik.

Hajime mengangguk, tersenyum kecil. "Aku yakin. Aku tahu kamu akan melakukannya dengan baik," jawabnya penuh keyakinan.

Senyuman lebar perlahan muncul di wajahmu, rasa bahagia dan syukur meluap di dadamu. Kamu mengangguk dengan semangat, menunjukkan bahwa kamu siap menerima kepercayaan ini sepenuh hati.

"Terima kasih, Hajime. Aku akan melakukan yang terbaik," katamu tulus. Di antara senyuman kalian, kamu merasa hubungan ini semakin kuat, dipenuhi oleh rasa saling percaya yang tak perlu diragukan lagi.

Setelah keputusan itu, rutinitas kalian perlahan mulai berubah. Setiap kali Hajime menerima gajinya, ia menyerahkan semuanya kepadamu tanpa ragu, dan kamu mulai merencanakan anggaran dengan hati-hati. Kamu mencatat pengeluaran bulanan, kebutuhan rumah tangga, dan menyisihkan sebagian untuk tabungan. Setiap langkahnya kamu kerjakan dengan teliti, memastikan bahwa setiap sen yang dipercayakan Hajime padamu akan bermanfaat untuk kalian berdua.

Di waktu senggang, kamu terkadang menunjukkan kepadanya catatan pengeluaran dan rencana tabungan yang sudah kamu buat. Meskipun ia hanya mengangguk dan tampak percaya penuh, kamu tetap merasa penting untuk memberinya gambaran tentang pengelolaan keuangan kalian. Hajime selalu menyimak dengan sabar, dan seringkali ia tersenyum puas, menunjukkan bahwa ia sangat menghargai apa yang kamu lakukan.

Pada suatu malam, saat kamu tengah menyusun anggaran, Hajime duduk di sebelahmu dan menatap semua catatan yang kamu buat. Ia tampak sedikit kagum melihat semua rincian yang kamu persiapkan.

"Kamu benar-benar serius ya soal ini," katanya, dengan nada lembut dan bangga. "Aku nggak pernah tahu kalau mengatur keuangan ternyata bisa begitu... detail."

Kamu tertawa kecil dan mengangguk. "Aku ingin memastikan semuanya tertata dengan baik. Ini kan untuk kita berdua, jadi aku ingin melakukan yang terbaik."

Hajime menatapmu dengan senyum lembut yang hangat, seakan ada rasa terima kasih dan kebahagiaan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Dalam momen itu, kamu menyadari bahwa kepercayaan ini bukan hanya soal keuangan, tetapi tentang kedekatan kalian yang semakin dalam. Di balik setiap angka dan catatan, terselip harapan dan impian yang perlahan kalian bangun bersama.

**

Hari-hari penuh kedamaian itu tiba-tiba terasa berubah saat telepon dari orangtuamu datang. Suara ibumu terdengar hangat dan antusias di seberang, memberitahumu bahwa mereka berencana datang berkunjung ke rumah dalam beberapa hari ke depan.

"Kami sudah lama tidak bertemu, jadi kami pikir ini saat yang tepat untuk melihat keadaanmu dan Hajime," katanya dengan nada bahagia, membuatmu tersenyum kecil, meski jantungmu berdebar sedikit lebih cepat.

Setelah menutup telepon, kamu duduk sejenak, membiarkan kabar itu tenggelam dalam pikiranmu. Kamu tahu bahwa ini adalah pertemuan pertama orangtuamu dengan Hajime sejak kalian menikah. Rasa gugup dan cemas pun muncul, memikirkan bagaimana pertemuan ini akan berjalan.

Tak lama kemudian, Hajime datang dan memperhatikan wajahmu yang tampak penuh pikiran. "Ada sesuatu yang terjadi?" tanyanya lembut.

Kamu menghela napas, lalu menjelaskan pelan tentang kedatangan ibumu dan para kerabat. Hajime mendengarkan dengan penuh perhatian, mengangguk pelan, dan memberikan senyum menenangkan. "Itu kabar baik, kan? Aku akan senang bertemu dengan mereka."

Ucapan Hajime membuatmu sedikit lebih tenang. Kamu mulai berpikir tentang persiapan rumah, memastikan segalanya rapi dan nyaman untuk kedatangan orangtuamu. Dengan Hajime di sisimu yang siap membantu, kamu merasa sedikit lebih yakin bahwa kunjungan ini akan berjalan dengan baik.

Bersambung..

Pilihan Takdir • Umemiya HajimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang