**
Kamu berdiri di depan altar, di samping seorang pria yang kini resmi menjadi suamimu—Hajime Umemiya. Semua orang di sekelilingmu tersenyum, bertepuk tangan, dan mengucapkan selamat. Tapi, kamu? Kamu hanya bisa tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan yang bercampur aduk di dalam dada.
Acara pernikahan berlangsung lancar. Keluargamu terlihat sangat puas, bahkan bahagia. Bagi mereka, ini adalah akhir dari semua kekhawatiran. Mereka berpikir bahwa Hajime adalah jawaban dari segala keresahan yang kamu alami setelah kegagalanmu yang lalu. Semua terlihat begitu sempurna dari luar, tapi di dalam hatimu, semuanya masih terasa asing.
Setelah acara selesai dan para tamu mulai pulang, kamu duduk di kursi, sedikit terlelah. Hajime mendekat, senyumnya ramah, tidak ada kesan terburu-buru atau mendesak. "Kamu capek? Mau duduk lebih lama, atau kita pulang sekarang?" tanyanya lembut, suaranya terdengar hangat.
Kamu hanya mengangguk pelan, tanpa kata. Tatapanmu tak mampu menemuinya. Kamu tahu dia berusaha bicara, mencoba mencairkan suasana, tapi entah kenapa, kamu tak bisa merespons dengan baik. Kata-katamu seolah tersangkut di tenggorokan, tidak bisa keluar.
Hajime tampak tidak tersinggung. Dia hanya tersenyum tipis, seolah mengerti bahwa mungkin ini tidak mudah bagimu. Dia tidak memaksamu untuk bicara lebih banyak, dan tidak menuntut lebih dari apa yang bisa kamu berikan saat ini.
“Kita pelan-pelan saja, ya,” ucapnya lagi, kali ini dengan suara yang lebih rendah. Kamu mendengar ketulusan di sana, tapi hati kecilmu belum yakin. Mungkin dia benar, mungkin kamu hanya butuh waktu. Tapi waktu itu entah akan sampai kapan.
Hajime berdiri dan mengulurkan tangan, menawarkan mu untuk pulang. Kamu menghela napas pelan, kemudian menyambut tangannya. Tak ada kata yang terucap, tapi dia tetap tersenyum, seperti paham bahwa pernikahan ini baru saja dimulai dan mungkin saja, butuh lebih dari sekadar waktu untuk benar-benar mengenalmu.
**
Perjalanan pulang terasa hening. Hajime menyetir dengan tenang di sampingmu, sesekali melirik ke arahmu seolah ingin memastikan kamu baik-baik saja. Tapi kamu tak peduli. Pandanganmu terpaku keluar jendela, menatap jalanan yang sepi di malam hari. Tak ada kata yang keluar dari mulutmu sejak kalian meninggalkan tempat pernikahan. Kamu tenggelam dalam pikiran sendiri, mengabaikan kehadirannya yang mencoba tetap hangat dan ramah.
Begitu tiba di rumah baru, Hajime membuka pintu dan menunggumu masuk lebih dulu. Rumah itu terasa kosong, hanya ada barang-barang yang benar-benar dibutuhkan—tempat tidur, beberapa kursi, dan lemari pakaian. Semuanya seadanya, seolah tak ada niat untuk membuat tempat ini terasa seperti rumah.
“Nanti kita ke toko furnitur, ya. Biar rumahnya lebih lengkap,” ucap Hajime, suaranya tetap lembut, seakan ingin mencairkan suasana yang dingin di antara kalian.
Kamu hanya mengangguk tanpa menoleh, mengiyakan sekadarnya tanpa benar-benar peduli. Kepalamu penuh dengan pikiran lain, kenangan lain. Hajime menghela napas pelan, tapi dia tak memaksamu untuk bicara lebih banyak. Kalian berdua tahu ini pernikahan yang dipaksakan, dan tak ada satupun dari kalian yang bisa mengubah kenyataan itu.
Kamu berjalan menuju kamar, tak ingin berlama-lama di ruang tamu bersama Hajime. Langkahmu cepat, seolah ingin segera menjauh darinya. Hajime memperhatikan, dan sepertinya dia menyadari bahwa kamu tidak ingin tidur bersamanya.
Tak lama setelah itu, kamu mendengar suara lemari dibuka. Dia sedang membereskan pakaiannya, memindahkannya ke kamar sebelah. "Kamu bisa menempati kamar ini sendiri," katanya dari luar pintu, nadanya datar namun penuh pengertian.
Kamu tidak merespons. Tak ada rasa prihatin sedikit pun dalam hatimu. Kamu tahu dia berusaha untuk membuat semuanya lebih mudah, tapi itu tak mengubah apa pun. Kamu benar-benar tidak mencintainya. Kamu kesal, marah, dan masih tidak bisa menerima bahwa dia menyetujui pernikahan ini begitu saja. Seolah-olah ini hal biasa, padahal bagimu, ini seperti sebuah jebakan.
Kamu duduk di tepi tempat tidur, menghela napas panjang. Bayangan mantanmu kembali menghantui, kenangan yang seolah tak pernah bisa pergi. Kecelakaan itu telah merenggutnya, dan hingga saat ini, kamu belum bisa melupakannya. Bagaimana bisa kamu mencintai Hajime, ketika hatimu masih tersangkut pada masa lalu yang tak bisa kembali?
Di kamar sebelah, kamu bisa mendengar suara Hajime membereskan barang-barangnya, tanpa keluhan, tanpa desakan. Tapi entah kenapa, semua perhatian dan kebaikannya hanya membuatmu semakin muak.
**
Malam itu, kamu duduk di tepi tempat tidur, menggenggam bantal erat-erat. Dada terasa begitu sesak, seolah-olah semua perasaan yang kamu tahan sejak tadi pagi kini meledak begitu saja. Air mata mulai mengalir, dan perlahan berubah menjadi isak yang tak bisa kamu kendalikan. Kamu menangis, tapi tak ada yang bisa menghentikan kesedihan yang terus saja datang.
Ini bukan hidup yang kamu inginkan. Kamu tidak mencintai lelaki yang kini resmi menjadi suamimu, Hajime Umemiya. Bahkan, kamu tak tahu bagaimana bisa berada di titik ini, menikah dengan seseorang yang tak pernah ada dalam hatimu. Kamu rindu kekasihmu, yang kini sudah tiada, meninggalkanmu sendirian dengan luka yang belum sembuh. Lebih dari itu, kamu rindu ayahmu, yang selalu menjadi tempatmu berlindung dari semua rasa sakit.
Kamu teringat pesan terakhir dari ayahmu sebelum ia meninggal. Wajahnya yang tenang, suaranya yang selalu penuh kebijaksanaan, dan kalimat yang selalu menghantuimu sejak saat itu. "Menikahlah dengan ume. Dia pria baik, dia akan menjagamu."
Saat itu, kamu mengangguk, terlalu lemah untuk melawan kehendak keluarga, terlalu hancur untuk berpikir jernih. Tapi sekarang, pesan itu terasa begitu berat, semakin menyesakkan dada setiap kali kamu mengingatnya. Ayahmu selalu tahu yang terbaik untukmu, tapi kali ini, kamu merasa seolah-olah ini adalah beban yang tak mampu kamu pikul.
Tangisanmu makin keras, meski kamu berusaha menahannya. Tapi tanpa sadar, suara isak mu mulai terdengar di malam yang sunyi. Kamu tak menyadari bahwa suara itu merambat melewati dinding tipis di antara kamarmu dan kamar Hajime.
Di kamar sebelah, Hajime terjaga, mendengarkan isak tangismu yang teredam. Tapi dia tetap diam. Tidak ada langkah mendekat, tidak ada ketukan di pintu. Mungkin dia tahu, ini bukan saatnya untuk mencoba berbicara. Atau mungkin, dia hanya tak tahu harus berbuat apa.
Kamu terus menangis, merasakan kehampaan yang tak kunjung hilang. Meskipun ada orang lain di rumah ini, hatimu tetap merasa sendirian. Dan untuk malam ini, kamu biarkan saja air mata itu mengalir, meski tak ada yang bisa menghapus perih yang kamu rasakan.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Takdir • Umemiya Hajime
FanficAU! maaf ooc bagaimana rasanya jadi istri ume?