**
Ppagi itu, Hajime berdiri di depan pintu kamarmu, ragu-ragu. Tangan kanannya sudah terangkat, siap mengetuk pintu, tapi kemudian dia teringat suara tangisanmu semalam. Suara itu masih terngiang di telinganya. Dia menghela napas pelan, menurunkan tangannya. Dia tahu kamu belum siap, dan dia tak ingin memaksamu. Akhirnya, dia melangkah pergi tanpa mengetuk pintu.
Di dapur, Hajime mulai menyiapkan sarapan. Telur mata sapi, roti panggang, dan secangkir kopi. Sederhana, tapi dia berharap kamu akan memakannya. Di meja makan, dia meletakkan secarik kertas kecil di samping piringmu.
"Sarapan sudah siap. Aku ke kantor dulu. Jangan lupa makan, ya."
Setelah menyantap sarapannya sendiri, Hajime mengambil tas kerjanya dan keluar rumah tanpa suara. Dia pergi meninggalkanmu dengan ruang dan waktu yang kamu butuhkan.
Siang hari, kamu terbangun. Mata masih sedikit bengkak karena tangisan semalam. Rumah terasa sunyi. Ketika kamu keluar dari kamar, kamu melihat meja makan yang rapi, dengan sarapan yang sudah disiapkan di sana. Di samping piring, kamu melihat kertas yang ditinggalkan Hajime. Membacanya, kamu merasa ada sesuatu yang berbeda, namun kamu tak bisa sepenuhnya menggambarkan perasaan itu.
Kamu duduk dan mulai memakan sarapan yang sudah disiapkan. Telur yang dingin, roti yang sudah mulai keras. Namun, kamu tetap memakannya. Setiap gigitan terasa berat, bukan karena rasanya, tapi karena pikiranmu melayang-layang. Kamu tidak tahu harus melakukan apa.
Kamu terdiam lama di meja makan setelah selesai. Hajime sudah berusaha, itu jelas. Tapi kamu? Kamu merasa hampa, bingung dengan semua ini. Rasanya begitu salah, tapi di sisi lain, kamu tidak bisa menyalahkan Hajime. Semua ini begitu membingungkan.
Kamu menatap piring kosong di depanmu, mencari jawaban yang tak pernah datang.
Kamu terus menatap piring kosong itu, berharap jawaban muncul dari dalam dirimu. Namun, yang kamu rasakan hanya kehampaan. Kamu tahu Hajime sudah berusaha, tapi apa yang bisa kamu lakukan? Hatimu masih terlalu jauh, terlalu tersangkut di masa lalu. Setiap kebaikannya terasa bagai jarum yang menyentuh luka lama, perih meski tidak tajam.
Kamu bangkit dari kursi, melangkah pelan menuju dapur. Pikiranmu masih melayang, penuh dengan keraguan dan perasaan yang tidak kamu mengerti. Kamu mencuci piring bekas sarapan itu dengan gerakan otomatis, tanpa perasaan. Air keran yang dingin mengalir di atas tanganmu, tapi entah kenapa, kamu tetap merasa hangat.
Kamu teringat lagi wajah ayahmu, dan pesan terakhirnya yang memintamu menikah dengan Hajime. Kamu tahu dia hanya ingin yang terbaik, ingin kamu bahagia. Tapi apa benar ini jalan yang harus kamu tempuh? Apa ini yang ayahmu harapkan, melihatmu menjalani hari-hari dengan hati kosong?
Kamu kembali ke meja makan, kali ini duduk di kursi yang berbeda, memandang jendela yang mengarah ke luar. Dunia di luar sana terus bergerak, sementara kamu terjebak di dalam pusaran perasaan yang tak menentu. Kamu ingin melupakan semua yang terjadi, tapi bayangan mantan kekasihmu terus menghantuimu, membuatmu sulit untuk menerima Hajime, meski dia tidak pernah berbuat salah.
Hari itu berlalu begitu saja. Kamu tidak benar-benar melakukan apa pun selain berdiam diri, mencoba memikirkan apa yang harus kamu lakukan. Saat matahari mulai tenggelam dan langit berubah jingga, kamu mendengar pintu depan terbuka pelan. Hajime pulang dari kantor. Langkah kakinya terdengar hati-hati, seolah dia tidak ingin mengganggumu.
Kamu tidak bergerak, hanya duduk di tempatmu, tetap diam. Beberapa menit berlalu, Hajime masuk ke ruang makan dan melihatmu masih di sana. Dia tampak sedikit terkejut, tapi tidak mengatakan apa pun. Dia hanya melirik ke arahmu, matanya penuh dengan pertanyaan yang tak berani dia lontarkan.
"Aku... udah pulang," katanya pelan, memecah keheningan. Suaranya terdengar lembut, penuh perhatian.
Kamu menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil. "Aku tahu," jawabmu singkat. Tak ada yang lain yang kamu katakan, dan Hajime tampaknya mengerti. Dia berjalan ke dapur, mungkin ingin memberi waktu lebih untukmu.
Tapi di dalam hatimu, sesuatu mulai berubah, meski perlahan. Kamu tidak tahu apakah itu karena waktu yang kamu habiskan sendirian, atau karena kebaikan Hajime yang terus berusaha meski kamu terus menjauh. Kamu belum yakin bisa mencintainya, tapi setidaknya, mungkin kamu bisa mencoba.
**
Hajime berdiri di dapur, sibuk menyiapkan makan malam. Kamu masih duduk di meja makan, menatap punggungnya yang tenang dan penuh perhatian. Setelah beberapa saat, rasa tidak enak menyusup dalam dirimu. Dia sudah lelah bekerja seharian, tapi tetap memasak untukmu. Kamu bangkit dari kursi, merasa bahwa setidaknya kamu bisa membantu sedikit.
"Kamu mau aku bantu?" tanyamu pelan, suaramu hampir tenggelam oleh suara panci di atas kompor.
Hajime menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. "Nggak perlu, kamu duduk aja di sana. Aku bisa urus ini sendiri."
Kamu ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk dan kembali duduk. Meski begitu, matamu terus mengikuti setiap gerakannya. Dia bergerak luwes di dapur, seolah sudah terbiasa. Bau tumisan yang harum mulai menyebar di ruangan, membuat perutmu yang tadinya tak terasa lapar mulai keroncongan.
Sesekali Hajime menoleh ke arahmu, mungkin memastikan kamu baik-baik saja. Namun, dia tetap diam, tidak banyak bicara, hanya fokus pada apa yang sedang dia kerjakan. Kamu perhatikan, dia begitu tenang dan penuh perhatian, meski kamu terus memberikan jarak di antara kalian. Di dalam hatimu, ada sedikit rasa bersalah, tapi kamu juga mulai merasa... nyaman.
Saat melihat Hajime memasak dengan penuh kesabaran, entah kenapa kamu merasa bahwa dia memang pantas mendapatkan lebih dari sekadar diam dan sikap dingin darimu. Dia tidak pernah memaksa, tidak pernah menuntut. Perlahan, pikiranmu mulai berubah. Mungkin tidak ada salahnya mencoba menerima kenyataan ini, mencoba menjadi istri yang baik untuknya. Toh, dia sudah berusaha keras.
Setelah beberapa menit, Hajime mematikan kompor dan menyusun makanan di atas piring. Dia meletakkannya di meja, di hadapanmu. "Ini makan malamnya. Nggak terlalu istimewa, tapi semoga kamu suka," katanya sambil tersenyum.
Kamu menatap hidangan itu. Tumis sayur, daging panggang sederhana, dan sepiring nasi. Tidak mewah, tapi jelas dibuat dengan niat yang tulus. Kamu mengambil sendok dan mulai makan perlahan. Rasanya... cukup enak. Bukan masakan restoran, tapi cukup hangat untuk menenangkan hati yang lelah.
Hajime duduk di depanmu, juga mulai makan tanpa banyak bicara. Keheningan menyelimuti kalian berdua, tapi kali ini rasanya tidak seberat biasanya. Kamu merasa sedikit lebih ringan. Di tengah gigitan makanan, kamu berpikir, mungkin ini awal yang baik. Kamu tidak harus langsung mencintainya, tapi setidaknya, kamu bisa berusaha untuk tidak selalu menjauh.
Setelah makan malam selesai, Hajime berdiri dan mulai merapikan piring-piring. Kamu ikut berdiri, kali ini lebih tegas menawarkan diri. "Biar aku yang cuci piring," katamu, sedikit lebih kuat dari sebelumnya.
Hajime tersenyum, tampak sedikit terkejut. "Kamu yakin? Aku bisa urus ini, kok."
Kamu mengangguk. "Iya, aku mau bantu."
Dia tidak membantah lagi, hanya mengangguk pelan dan membiarkanmu mengambil alih. Kamu berdiri di depan wastafel, mencuci piring sambil merasakan ada sesuatu yang sedikit berubah dalam dirimu. Mungkin kecil, tapi itu sudah cukup.
Di dalam hatimu, kamu tahu bahwa Hajime memang pria yang baik. Mungkin kamu tidak akan bisa melupakan masa lalu mu secepat itu, tapi setidaknya, kamu bisa mencoba memulai lembaran baru. Tidak ada salahnya menjadi istri yang baik untuk seseorang yang sudah berusaha keras untuk membuatmu nyaman.
Dan mungkin, suatu hari nanti, kamu bisa belajar mencintainya.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Pilihan Takdir • Umemiya Hajime
FanficAU! maaf ooc bagaimana rasanya jadi istri ume?