Chapter 4: Bayang-bayang Hujan

55 9 0
                                    


———

Shanera menatap Adnan, berdiri basah kuyup di depan pintu tokonya. Hatinya seolah berhenti berdetak untuk sesaat. Kedatangan Adnan yang tiba-tiba membuat pikirannya campur aduk. Selama berminggu-minggu, ia menanti pesan, panggilan, atau kehadiran Adnan, dan kini pria itu ada di hadapannya—di saat Shanera hampir menyerah berharap.

"Sha, kita perlu bicara," suara Adnan terdengar pelan, namun cukup jelas di antara suara hujan yang deras di luar.

Shanera masih terdiam. Tubuhnya kaku, tak yakin harus bereaksi seperti apa. Setelah pesan singkat dan janji-janji yang terus diingkari, kedatangan Adnan malam ini terasa tidak nyata. Bagian dari dirinya ingin memeluk Adnan, tapi bagian lain mengingatkannya tentang rasa kecewa yang telah menumpuk selama ini. Ia tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

"Ayo masuk dulu, badan kamu basah semua." kata Shanera akhirnya, memecah keheningan.

Adnan melangkah masuk, tubuhnya gemetar sedikit akibat pakaian yang basah oleh hujan. Shanera mengambil handuk kecil dari belakang meja dan menyerahkannya kepada Adnan tanpa berkata apa-apa. Pria itu menerimanya, tapi tidak langsung menggunakannya. Matanya tetap tertuju pada Shanera, seolah mencoba mencari jawaban yang tak bisa ia temukan di dalam dirinya sendiri.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Adnan berbicara lagi. "Aku minta maaf, Sha. Aku tahu aku udah bikin kamu nunggu terlalu lama."

Shanera menelan ludah, mencoba menahan amarah yang mulai timbul. "Kamu pikir dengan minta maaf, semuanya bakal baik-baik aja?" ucapnya dengan nada datar, meski hatinya mendidih.

Adnan menghela napas, lalu duduk di kursi terdekat. "Aku tahu nggak semudah itu. Tapi aku benar-benar sibuk, Sha. Proyek hotel ini—itu mimpi keluarga aku. Apalagi aku baru mulai syuting untuk film baru, kamu tahu itu. Aku nggak bisa ninggalin begitu aja."

Shanera memutar matanya. "Selalu alasan yang sama." Ia mengusap wajahnya, mencoba meredakan perasaan yang berkecamuk. "Aku ngerti, Adnan. Aku ngerti betapa pentingnya hal itu buat kamu dan keluargamu. Tapi di mana posisiku? Apa aku cuma pelengkap di hidup kamu? Aku nggak bisa terus kayak gini. Aku butuh support kamu Nan."

Adnan terdiam, terkejut dengan intensitas emosi yang terpancar dari Shanera. Ia tidak menyangka Shanera akan mengungkapkan perasaannya sedalam ini. Selama ini, Adnan selalu berpikir bahwa Shanera akan mengerti, bahwa ia cukup sabar untuk menunggu. Tapi mungkin ia salah.

"Aku nggak pernah berpikir kamu cuma pelengkap, Sha. Kamu penting buat aku," jawab Adnan akhirnya, suaranya terdengar lelah.

Shanera tertawa kecil, namun tanpa kebahagiaan. "Penting? Penting tapi kamu nggak pernah ada buat aku? Kamu nggak pernah mencoba buat komunikasi? Apa susahnya mengirim pesan atau meluangkan satu hari untuk ketemu?"

"Aku udah coba, Sha. Tapi..." Adnan tergagap, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku nggak tahu gimana cara bagi waktu. Aku nggak tahu gimana cara menyeimbangkan semuanya."

Shanera menatapnya dengan mata yang mulai basah. "Kamu selalu bilang nggak tahu. Tapi kamu juga nggak pernah mencoba cari tahu."

Lego dan Smokie yang duduk di sudut ruangan tampak memperhatikan mereka dengan tenang. Seakan mereka juga bisa merasakan betapa rapuhnya hati Shanera saat itu. Kedua kucing itu biasanya menjadi pelipur lara Shanera, tapi malam ini, tak ada yang bisa meredakan kepedihan di hatinya.

"Aku capek, Nan," Shanera akhirnya berkata, suaranya bergetar. "Aku capek terus merasa diabaikan. Aku capek berharap kamu bakal berubah, sementara kamu selalu bilang butuh waktu. Berapa lama lagi, Adnan? Sampai kapan aku harus menunggu?"

"Percakapan kita kok jadi kemana-mana sih Sha? Masalah awalnya bukan ini Sha."

"Jadi apa?! Aku minta kamu buat ketemu malam itu, cuma untuk support dari pacar aku." Shanera sedikit menekan kata "Pacar"
Adnan terdiam, tak mampu menjawab. Ia tahu Shanera benar, tapi di saat yang sama, ia juga merasa terjebak. Ambisinya untuk membuktikan diri di mata keluarganya, tanggung jawab yang berat untuk proyek hotel, semua itu menyita seluruh fokusnya. Ia tak ingin kehilangan Shanera, tapi bagaimana mungkin ia bisa terus maju tanpa menyelesaikan tanggung jawabnya?

"Aku nggak punya jawabannya sekarang, Sha," jawab Adnan akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Tapi aku tahu satu hal. Aku nggak mau kehilangan kamu."

Shanera menggelengkan kepalanya, menahan air mata yang hampir tumpah. "Kamu nggak bisa bilang kamu nggak mau kehilangan aku kalau kamu nggak pernah mencoba untuk mempertahankan aku."

Sebuah keheningan panjang menggantung di antara mereka. Hanya suara hujan yang masih terdengar di luar, semakin meresapi suasana yang suram di dalam toko.

Akhirnya, Shanera menghela napas dalam-dalam. "Aku butuh waktu juga, Adnan. Aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan kayak gini."

Adnan bangkit berdiri, pandangannya menunduk. Ia tahu ini bukan percakapan yang bisa diselesaikan malam ini. "Aku ngerti, Sha. Aku bakal kasih kamu waktu yang kamu butuhkan."

Shanera tidak menjawab, hanya menatap Adnan yang perlahan-lahan melangkah keluar toko, kembali ke dalam derasnya hujan.

Setelah pintu tertutup, Shanera merasakan kesunyian yang menghampiri dirinya. Tidak ada lagi suara Adnan, hanya sisa-sisa percakapan mereka yang terus bergaung di kepalanya.

Hujan terus mengguyur di luar, seolah ingin menghapus semua jejak yang ada. Tapi Shanera tahu, rasa yang ada di hatinya tak semudah itu hilang.

———
Adnan duduk di dalam mobilnya, membiarkan hujan deras yang mengguyur kaca depan menjadi latar suasana hatinya yang tak kalah kelam. Bayangan Shanera tadi masih jelas di kepalanya—tatapan kecewa dan rasa sakit yang ia coba sembunyikan, namun tetap terpancar kuat. Adnan mengusap wajahnya, merasa sesak oleh beban yang makin hari makin sulit ditanggung.

Dia tahu Shanera marah. Dia tahu Shanera kecewa. Tapi dia juga tahu kalau hubungan mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Setiap kali mereka bertemu, bukannya menyelesaikan masalah, mereka malah bertengkar. Semua dimulai sejak Shanera dipecat dari pekerjaannya beberapa waktu lalu. Shanera yang tadinya ceria dan penuh semangat berubah jadi sosok yang mudah emosi dan gampang tersinggung. Adnan mengerti betapa berat situasi yang dihadapi Shanera, tapi di sisi lain, dia juga punya beban sendiri.

Proyek film barunya sedang berjalan—sebuah proyek yang sangat penting untuk kariernya sebagai aktor. Setiap hari jadwalnya padat, mulai dari syuting, pertemuan dengan produser, hingga promosi. Di luar itu, keluarganya terus menekannya soal hotel yang akan diwariskan kepadanya. Mereka menuntut Adnan untuk terlibat lebih aktif dalam proses renovasi dan manajemen. Semua ini sudah cukup membuatnya lelah, belum lagi saat harus menghadapi Shanera yang sedang dalam kondisi rapuh.

Bukannya dia tidak peduli. Justru karena dia peduli, Adnan meminta mereka untuk break sebentar dari hubungan yang sudah mereka jalani selama lima tahun. Tapi keputusan itu bukannya tanpa pertimbangan. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Shanera adalah orang yang penting dalam hidupnya—dia tahu itu. Tapi akhir-akhir ini, setiap pertemuan mereka hanya berujung pada pertengkaran, tanpa solusi.

Adnan merasa terjebak di antara tanggung jawab dan perasaan. Setiap kali bertemu dengan Shanera, suasana hatinya yang sudah buruk akibat stres kerja, semakin kacau. Bukannya mendukung satu sama lain, mereka malah saling menyalahkan. Dia benci itu, tapi dia juga tidak tahu harus bagaimana lagi.

“Mungkin break ini adalah solusi,” pikir Adnan. Dia butuh waktu untuk menata ulang hidupnya yang kacau, dan Shanera juga butuh waktu untuk menemukan kembali dirinya yang hilang. Tapi bagian lain dari dirinya meragukan keputusan itu. Bagaimana jika ini justru memperburuk keadaan? Bagaimana jika Shanera merasa dia menyerah?

Adnan menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. Bukan menyerah, tapi mengambil jeda. Itu yang selalu dia katakan pada dirinya sendiri. Namun, tetap saja, ada perasaan bersalah yang tidak bisa hilang.

"Aku cuma mau kita sama-sama bisa bernapas, Sha," gumam Adnan pada dirinya sendiri, mengenang percakapan terakhir mereka. "Aku cuma nggak mau kita saling menghancurkan."

Namun dalam hatinya, Adnan tahu, semakin lama jeda itu berlangsung, semakin besar kemungkinan Shanera akan menjauh untuk selamanya.

———

Seeking for Clarity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang