Chapter 9: Berpikir Untuk Bersiap

32 5 0
                                    

———

Seiring berjalannya waktu, Shanera dan Adnan mulai sibuk dengan kehidupan masing-masing. Shanera yang tadinya masih berusaha untuk menjaga komunikasi kini mulai mengalihkan perhatiannya sepenuhnya pada toko dan kucing-kucingnya. Pawkie's makin berkembang, dan Shanera mulai dikenal sebagai pemilik toko yang tidak hanya menjual cookies, tapi juga sosok yang ramah pada pelanggannya. Setiap hari, kesibukan mengurus pesanan besar dan menciptakan resep baru membuat Shanera merasa ada tujuan yang ia capai—sekaligus mengalihkan pikirannya dari hubungan yang semakin renggang.

Sementara itu, Adnan tenggelam dalam dunia filmnya. Proyek besar yang ia kerjakan semakin mendekati akhir, dan itu memberinya sedikit ruang untuk bernapas. Namun, di setiap kesempatan yang ia dapatkan untuk istirahat, Adnan selalu teringat pada Shanera. Dia mencoba menghubunginya beberapa kali, tetapi Shanera selalu sibuk atau hanya merespons singkat.

Suatu hari, Adnan memutuskan untuk datang ke toko tanpa pemberitahuan. Dia berdiri di depan pintu, memperhatikan Shanera yang sibuk melayani pelanggan dengan senyum yang tampak tulus. Ia merasa canggung, seolah-olah sudah terlalu lama sejak mereka terakhir kali bicara dengan jujur. Shanera menyadari kehadiran Adnan ketika ia melirik ke arah pintu.

“Adnan?” panggil Shanera dengan nada ragu. Dia tak menyangka Adnan akan datang tiba-tiba seperti itu.

“Aku pengen ngobrol, kalau kamu nggak sibuk,” jawab Adnan sambil melangkah masuk. Suasana yang terbentuk di antara mereka aneh—bukan lagi seperti sepasang kekasih yang saling mengenal selama lima tahun, melainkan seperti dua orang asing yang sedang mencoba memahami kembali hubungan mereka.

Shanera menghela napas, lalu memberi isyarat pada asistennya untuk menangani pelanggan yang lain. “Oke, kita bisa bicara sebentar. Tapi... aku nggak tahu harus mulai dari mana, Nan.”

Adnan menatapnya dengan serius. “Aku juga nggak tahu, Sha. Aku cuma tahu satu hal, aku nggak suka keadaan kita yang sekarang.”

Shanera menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang tiba-tiba muncul. “Aku juga, Nan. Tapi masalahnya, setiap kali kita mencoba memperbaiki, rasanya nggak ada yang berubah. Kamu sibuk dengan dunia kamu, dan aku dengan dunia aku.”

“Apa itu salah, Sha?” Adnan bertanya dengan nada lembut. “Aku nggak pernah mau kita jadi seperti ini. Aku pikir, dengan kita masing-masing fokus pada apa yang penting, kita bisa kembali lebih kuat.”

Shanera menggelengkan kepalanya, merasa frustrasi. “Tapi mungkin masalahnya bukan cuma di waktu atau kesibukan kita, Nan. Mungkin masalahnya lebih dalam dari itu.”

Adnan terdiam, merenungkan kata-kata Shanera. Selama ini, dia berpikir bahwa mereka hanya butuh ruang, bahwa pekerjaan dan tanggung jawab yang menyita waktu adalah penyebab utama masalah mereka. Tapi mungkin Shanera benar—mungkin ada sesuatu yang lebih mendasar yang tidak pernah mereka bahas.

“Kalau begitu, apa yang kamu pikirkan, Sha?” tanya Adnan perlahan. “Apa kita harus berhenti?”

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Adnan, dan Shanera terdiam mendengarnya. Mereka berdua tahu bahwa hubungan ini tidak lagi sama, tapi mereka juga tidak siap untuk mengakuinya dengan terang-terangan.

“Aku nggak tahu, Nan,” Shanera akhirnya berkata, suaranya lemah. “Aku nggak tahu apa kita masih bisa memperbaiki semuanya, atau apa kita cuma memperpanjang sesuatu yang sudah mati.”

---

Setelah percakapan yang sulit itu, Shanera dan Adnan sepakat untuk tidak terburu-buru membuat keputusan. Mereka mencoba menjalani hari-hari seperti biasa, tetapi ada perasaan bahwa sesuatu telah berubah. Keduanya tahu bahwa percakapan mereka yang terakhir itu bukanlah akhir, melainkan awal dari kenyataan pahit yang semakin sulit dihindari.

Suatu malam, Shanera menerima undangan dari seorang teman lama untuk datang ke sebuah pameran seni. Teman-teman lamanya sering mengundang Shanera untuk ikut berkumpul, tapi selama beberapa bulan terakhir, ia selalu menolak. Kali ini, ia merasa butuh pelarian dari semua kekacauan dalam pikirannya.

Di pameran itu, Shanera bertemu dengan banyak orang yang memberikan perspektif baru tentang kehidupan. Ia berbicara dengan seniman, kolektor, dan beberapa pengusaha yang membuatnya sadar bahwa hidupnya selama ini terlalu berpusat pada hubungannya dengan Adnan. Meski hubungan itu penting, Shanera mulai menyadari bahwa ia butuh lebih dari sekadar hubungan romantis untuk merasa utuh.

Sementara itu, Adnan juga merasakan perubahan yang sama. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan rekan-rekan di dunia film dan keluarga besarnya. Keluarganya terus mendorongnya untuk lebih terlibat dalam bisnis hotel, dan tanpa sadar, Adnan mulai menikmati tanggung jawab itu. Ia merasa bahwa hidupnya mulai mendapatkan stabilitas, meski di balik semua itu, ada kekosongan yang sulit ia jelaskan.

Pada akhirnya, keduanya sadar bahwa hubungan mereka tidak lagi menjadi prioritas yang sama seperti dulu. Meski cinta masih ada, perbedaan tujuan hidup dan kebutuhan mereka perlahan-lahan menarik mereka ke arah yang berbeda. Keduanya belum bicara secara langsung tentang perpisahan, tapi baik Shanera maupun Adnan mulai mempersiapkan diri untuk melepaskan satu sama lain.

———

Seeking for Clarity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang