Chapter 6: Memori yang Terlupakan

43 6 0
                                    


———

Beberapa hari setelah pertemuan di kafe itu, hubungan Adnan dan Shanera terasa sedikit lebih stabil. Meski belum sepenuhnya pulih, ada upaya dari kedua belah pihak untuk saling memahami dan mendukung. Shanera merasa sedikit lebih lega setiap kali menerima pesan dari Adnan, dan Adnan pun tampak lebih teratur membagi waktu antara proyek-proyeknya dengan hubungan mereka. Sama seperti yang Raya katakan, komunikasi adalah kuncinya.

Namun, di balik semua itu, masih ada jejak luka yang belum sembuh. Shanera sering terjaga di malam hari, memikirkan bagaimana hubungan mereka bisa sampai di titik ini. Lima tahun bukan waktu yang singkat, dan dia mulai mempertanyakan banyak hal. Apakah mereka masih seperti dulu? Atau apakah waktu telah mengubah segalanya tanpa mereka sadari?

Pagi itu, Shanera bangun lebih awal dari biasanya. Pawkie’s baru buka sekitar satu jam lagi, tapi entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang mendesak untuk dilakukannya. Dia melihat ke arah Lego dan Smokie yang masih tertidur di ujung tempat tidurnya, lalu memutuskan untuk membuka laci kecil di samping tempat tidurnya—laci yang hampir selalu ia abaikan sejak beberapa bulan terakhir.

Di dalam laci itu, ada sebuah album foto kecil berwarna biru. Shanera mengusap debu tipis yang menempel di permukaannya, kemudian membuka halaman pertama. Di dalamnya, tersimpan potongan-potongan memori yang telah lama terlewatkan—foto-foto dirinya dan Adnan, mulai dari awal hubungan mereka hingga momen-momen penting yang mereka lewati bersama.

Foto pertama adalah dari tahun pertama mereka berpacaran saat itu usia dirinya 21 tahun. Mereka sedang duduk di sebuah taman, dengan Adnan memeluk Shanera dari belakang, senyum di wajah mereka tampak tulus dan penuh kebahagiaan. Di halaman berikutnya, ada foto ketika mereka merayakan ulang tahun Adnan yang ke-25. Shanera ingat betapa ia telah berusaha keras menyiapkan kejutan kecil itu, meskipun saat itu dia baru saja selesai bekerja lembur.

Setiap halaman membawa Shanera ke masa-masa yang lebih bahagia—momen saat mereka berdua masih bisa tertawa bersama tanpa ada beban. Tapi semakin banyak foto yang ia lihat, semakin ia merasa jauh dari orang yang ada di foto-foto itu. Shanera menyadari bahwa sebagian dari dirinya yang dulu telah hilang, begitu juga dengan Adnan.

Dia menghela napas panjang, merasakan perasaan nostalgia bercampur penyesalan. Shanera tahu, hubungan mereka telah berubah, tapi apakah itu berarti cinta mereka sudah tidak ada lagi?

Ponselnya berdering, memecah lamunannya. Nama Adnan muncul di layar, dan Shanera segera menjawabnya.

“Halo, Sha?” suara Adnan terdengar ceria, berbeda dari biasanya.

“Hai, Nan. Ada apa?” tanya Shanera sambil menutup album fotonya.

“Kamu sibuk gak hari ini? Aku lagi ada break sebentar sebelum syuting sore nanti, mungkin kita bisa jalan-jalan?” tawarnya, terdengar ragu-ragu namun penuh harap.

Shanera terdiam sejenak. Sudah lama sekali Adnan tidak mengajaknya keluar untuk sekadar bersenang-senang. Biasanya, jika mereka bertemu, itu lebih sering karena ada hal yang perlu dibicarakan atau diselesaikan. Tapi kali ini, ajakan Adnan terasa berbeda.

“Bisa, Nan. Kamu mau ke mana?” jawab Shanera akhirnya.

“Aku mikirnya sih... gimana kalau kita ke tempat yang lama? Kamu tahu kan, taman yang sering kita kunjungi dulu?” Adnan menjelaskan dengan nada antusias. “Aku cuma pengen nostalgia sedikit.”

Shanera tersenyum tipis. "Aku siap-siap dulu."

Beberapa jam kemudian, mereka bertemu di taman kecil yang berada tidak jauh dari pusat kota. Tempat itu adalah salah satu lokasi favorit mereka ketika masih berpacaran di tahun-tahun pertama, sebelum kesibukan dan ambisi mulai menguasai hidup mereka. Shanera tiba lebih dulu dan duduk di bangku kayu yang biasa mereka tempati.

Tak lama kemudian, Adnan muncul, dengan senyum kecil yang penuh nostalgia di wajahnya. "Tempat ini nggak banyak berubah ya," katanya sambil duduk di sebelah Shanera. “Dulu kita sering banget ke sini, ya?”

Shanera tersenyum, meski sedikit kaku. “Iya, hampir setiap minggu. Kita selalu bawa bekal dan duduk di sini selama berjam-jam, ngobrolin apa aja.”

Adnan tertawa kecil. “Aku ingat banget kamu selalu bikin cookies kesukaanku waktu itu. Rasanya, aku nggak pernah makan cookies yang seenak itu.”

Mendengar itu, Shanera terdiam sejenak, mengingat bagaimana ia selalu berusaha membuat Adnan senang dengan hal-hal kecil. Sekarang, momen-momen sederhana seperti itu terasa begitu jauh.

“Gimana syutingnya?” tanya Shanera, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Adnan tersenyum lagi, tapi kali ini ada sedikit kelelahan yang tersirat di matanya. “Syutingnya lumayan berat, tapi aku nikmatin setiap prosesnya. Aku merasa karier aktingku akhirnya mulai berjalan seperti yang aku inginkan.”

Shanera mengangguk pelan, ikut merasa bangga untuk Adnan. “Aku senang denger itu, Nan. Kamu udah lama banget nunggu momen ini.”

Adnan menghela napas panjang, lalu menatap Shanera dengan serius. “Sha, aku tahu kita udah melewati banyak hal akhir-akhir ini. Tapi aku nggak mau hubungan kita berhenti sampai di sini. Aku masih sayang sama kamu. Dan aku mau kita berusaha lagi.”

Shanera terdiam, hatinya berdebar mendengar kata-kata itu. Bagian dari dirinya merasa senang, tapi bagian lain merasa ragu. Apakah mereka benar-benar bisa memperbaiki semuanya? Setelah semua luka dan pertengkaran yang mereka alami, bisakah mereka kembali seperti dulu?

"Aku juga masih sayang sama kamu, Nan. Tapi... aku nggak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu," Shanera akhirnya berkata, suaranya penuh dengan kejujuran. "Banyak yang udah berubah. Kamu punya karier yang makin sibuk, dan aku juga lagi berusaha menemukan jalanku sendiri."

Adnan mengangguk, memahami apa yang Shanera rasakan. “Aku tahu, Sha. Aku nggak minta semuanya langsung kembali seperti dulu. Aku cuma pengen kita coba lagi, pelan-pelan. Mungkin kita nggak akan persis sama, tapi... aku yakin kita masih bisa jadi sesuatu yang baik.”

Shanera memandang Adnan dengan mata yang lembut, meski dalam hati masih ada keraguan. Tapi melihat upaya Adnan untuk memperbaiki hubungan mereka, Shanera tahu bahwa dia juga harus mencoba. Mungkin mereka tidak akan pernah sepenuhnya kembali seperti dulu, tapi mungkin itu tidak masalah. Yang penting, mereka masih mau berusaha.

"Nan. Kita coba lagi ya," Shanera berkata dengan senyum kecil. "Tapi kali ini, kita harus lebih jujur sama diri kita sendiri dan satu sama lain. Kalau ada yang salah, kita harus bicara."

Adnan tersenyum lega, meraih tangan Shanera dan menggenggamnya erat. “Aku janji, Sha. Kita mulai lagi, dari awal. Pelan-pelan, tapi pasti.”

"Aku sayang sama kamu, Nan."

"I loved you long before you loved me, Sha."

Di bawah langit biru yang cerah, mereka duduk berdua di bangku taman, seperti dua orang yang sedang mencoba menemukan kembali cinta yang pernah hilang. Mereka tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi untuk saat ini, mereka merasa cukup.

———

Seeking for Clarity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang