Chapter 10: Keputusan Akhir

54 5 0
                                    


———

Kehidupan Adnan dan Shanera mulai mengalir ke arah yang berbeda secara nyata. Meskipun mereka masih berhubungan, keduanya semakin jarang berbicara tentang masa depan yang dulu sering mereka bayangkan bersama. Shanera yang dulu selalu berbicara tentang impian memiliki rumah kecil di pinggiran kota, kini lebih sering menghindari topik yang melibatkan mereka berdua.

Suatu malam, Adnan memutuskan untuk berkunjung ke Pawkie’s, lagi lagi tanpa pemberitahuan. Setelah berbulan-bulan dengan percakapan yang hanya bersifat formal, ia merasa perlu bertatap muka langsung dengan Shanera, merasakan kehadirannya lagi. Namun, saat tiba di sana, ia mendapati toko sudah tutup lebih awal. Terlihat dari luar, Shanera sedang duduk di salah satu meja, mengelap kursi dengan gerakan lambat. Ada kelelahan di wajahnya yang tidak pernah Adnan lihat sebelumnya.

“Sha,” panggil Adnan pelan setelah masuk. Shanera menoleh, sedikit terkejut namun tidak terlihat antusias. “Aku kangen kamu.”

Shanera hanya tersenyum tipis. “Aku juga kangen, Nan.” Tapi tak ada kehangatan dalam kata-kata itu. Seperti sebuah formalitas, seolah mereka sedang berbicara tentang hal yang sudah usang, hal yang tidak lagi relevan.

Adnan duduk di hadapannya, merasa janggal dengan suasana yang begitu hening di antara mereka. Shanera tidak berbicara, hanya kembali mengelap meja dan kursi, sibuk dengan pekerjaannya. “Kenapa tokonya tutup lebih awal?” tanya Adnan, mencoba menghidupkan percakapan.

“Aku cuma merasa jenuh akhir-akhir ini,” jawab Shanera singkat.

Adnan menggigit bibirnya, merasa kebingungan harus mulai dari mana. Ia merindukan Shanera, merindukan saat-saat mereka tertawa bersama, membicarakan hal-hal kecil tanpa beban. Namun sekarang, ia merasa seperti orang asing di hadapannya. “Sha, apa kita... apa kita masih mau mencoba?”

Aktivitas Shanera terhenti, pandangannya kosong. “Aku nggak tahu, Nan. Aku benar-benar nggak tahu lagi.”

Keheningan yang panjang menyusul kata-kata Shanera. Adnan tahu, ini bukan hanya tentang rasa lelah atau kebingungan Shanera, tapi tentang hubungan mereka yang sudah tidak lagi memiliki arah.

“Apa kamu mau berhenti?” tanya Adnan akhirnya, suaranya bergetar. “Kalau iya, aku pengen tahu.”

Shanera tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Adnan, matanya mulai memerah. “Aku nggak tahu, Nan. Tapi aku juga nggak bisa terus-terusan kayak gini.”

Itu adalah kalimat yang tidak diucapkan dengan mudah. Meski terasa pedih, Adnan bisa merasakan bahwa itu adalah kebenaran yang Shanera coba sembunyikan selama ini. Perbedaan mereka sudah terlalu besar, dan cinta saja tidak cukup untuk menutupinya.

---

Beberapa minggu setelah percakapan itu, Shanera dan Adnan sama-sama sepakat untuk memberikan diri mereka lebih banyak ruang. Meskipun keduanya belum secara resmi putus, jarak di antara mereka semakin jelas. Shanera makin tenggelam dalam bisnisnya, bahkan mulai merencanakan ekspansi Pawkie’s ke kota lain. Sementara itu, Adnan mulai lebih terlibat dengan proyek film dan bisnis keluarganya.

Namun, setiap kali Adnan mencoba fokus pada pekerjaannya, pikirannya selalu kembali pada Shanera. Ada sesuatu yang menggantung di antara mereka—sebuah keputusan yang belum sepenuhnya dibuat, namun sudah terasa di hati. Setiap percakapan yang mereka lakukan menjadi semakin formal, semakin canggung, seakan-akan mereka sedang menunda sesuatu yang tak terhindarkan.

Pada satu malam, Adnan mendapatkan telepon dari Shanera. Suaranya terdengar lembut, namun ada nada serius di baliknya. “Kamu sibuk, Nan?”

“Enggak, Sha. Ada apa?” jawab Adnan, cemas.

“Aku butuh bicara sama kamu. Bisa ketemu?” Shanera terdengar seperti seseorang yang sudah lama mempersiapkan kata-kata ini. Adnan tahu, ini adalah momen yang selama ini ia takutkan.

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang dulu sering mereka datangi. Hujan turun dengan lembut, menambah kesan melankolis pada suasana. Shanera duduk di sudut, menatap secangkir kopi di depannya dengan pandangan kosong.

“Aku udah mikir lama, Nan,” Shanera mulai, suaranya hampir berbisik. “Mungkin kita berdua memang terlalu berbeda sekarang.”

Adnan menelan ludah, hatinya terasa berat. “Sha, apa kamu serius?”

Shanera mengangguk pelan. “Aku serius, Nan. Aku masih sayang sama kamu, tapi aku nggak bisa terus-terusan merasa seperti ini. Aku nggak tahu bagaimana caranya kita kembali seperti dulu.”

Adnan mencoba menahan emosinya. Ia tahu, di dalam hati kecilnya, ia juga merasakan hal yang sama. Tapi mendengarnya dari Shanera terasa seperti pukulan yang tak terelakkan. “Kamu yakin ini keputusan yang terbaik?”

Shanera mengangguk lagi, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak yakin, Nan. Tapi aku tahu kita nggak bisa terus begini. Aku merasa kehilangan diriku sendiri, dan kamu juga pasti merasa terjebak.”

Adnan meremas tangannya, berusaha keras untuk tidak menunjukkan perasaannya. “Aku ngerti, Sha. Tapi ini berat.”

Keduanya terdiam lagi, membiarkan hujan yang turun menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di antara mereka. Shanera meraih tangan Adnan di atas meja, menggenggamnya sebentar sebelum melepaskannya perlahan.

“Aku minta maaf, Nan,” kata Shanera, suaranya serak. “Aku harap kita bisa menemukan cara lain, tapi aku rasa ini jalan terbaik.”

———

"Sha, aku minta maaf. Aku tahu aku banyak kurangnya, tapi, aku bener-bener bahagia bisa menjalani 5 tahun ini sama kamu."

Shanera maju mendekati pria yang kini menjadi mantan kekasihnya itu, air matanya masih mengalir dengan deras.

"Adnan, terimakasih banyak ya."

Adnan yang mendengarnya langsung menarik tubuh Shanera ke dalam pelukannya, seolah olah dirinya tidak akan bisa melihat gadis itu lagi.

———

Malam itu mereka berpisah dengan baik, pelukan hangat dan kata kata romantis mungkin tidak akan pernah ada lagi antara mereka.

———

"Putus baik-baik"
Kalo baik-baik kenapa putus?
Sedikit lagi mendekati ending 💃🏻💃🏻💃🏻

Seeking for Clarity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang