Chapter 1: Rumah dan Luka

121 11 0
                                    

a/n: Bacanya pelan pelan aja ya 🫵🏻

———

Gadis itu terdiam, menatap kosong pada pria di depannya. Suara gemuruh di kepalanya seolah membungkam segala suara lain di ruangan itu. Pengunduran diri? Mengapa tiba-tiba seperti ini? Pertanyaan itu terus berkecamuk di benaknya.

"Maaf, Pak. Saya tidak pernah mengajukan surat pengunduran diri ini. Apakah ada kesalahan?" suara Shanera gemetar, tetapi tatapannya tetap tegas. Ia tak ingin menunjukkan kelemahannya, meskipun hatinya mulai terasa berat.

Pria itu menatapnya dengan datar, mengusap dagunya perlahan. "Shanera, keputusan ini sudah bulat. Terlalu banyak masalah personal yang kamu bawa ke tempat kerja. Saya tahu kamu sedang berjuang, tapi bisnis tetap bisnis. Kami butuh seseorang yang fokus."

Perasaan sesak di dada Shanera semakin menjadi. Ini sudah kali kedua dalam setahun dirinya dipaksa untuk mundur. Sebelumnya, ia bekerja di sebuah agensi modeling yang lebih kecil, dan alasan pengunduran diri pun mirip: konflik personal. Kali ini, ketika dia merasa mulai menata hidup dan menyeimbangkan pekerjaan dengan hubungannya yang penuh liku dengan Adnan, dunianya seakan kembali runtuh.

Keluar dari ruangan itu dengan langkah gontai, Shanera mendekap kertas pengunduran diri itu di tangannya. Jalanan menuju lift terasa begitu panjang, setiap langkahnya disertai perasaan tak menentu. Apa yang akan ia katakan pada Adnan nanti? Apakah ini akan menjadi satu lagi alasan untuk mereka berdebat?

---
Di luar gedung, langit tampak mendung, seolah ikut merasakan beban di hatinya. Shanera meraih ponselnya dan menatap layar selama beberapa saat sebelum akhirnya mengetik pesan untuk Adnan.

"Nan, aku perlu bicara. Bisa ketemu malam ini?"

Pesan terkirim, dan seperti biasa, Adnan cepat merespon.

"Bisa, sayang. Di tempat biasa kan?"

Shanera menutup ponselnya, lalu menghela napas panjang. Tempat biasa mereka adalah sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat di mana mereka dulu pertama kali bertemu. Kenangan manis itu kini terasa seperti kenangan yang tidak bisa Shanera deskripsikan, karena kenangan itu terlalu rapuh untuk dipegang erat.

---
Malam harinya, di kafe yang telah menjadi saksi banyak momen antara mereka, Shanera duduk di meja sudut, menunggu Adnan. Rasa gugup menyelimuti dirinya, bukan hanya karena masalah pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam. Akhir-akhir ini, Adnan sering terlihat sibuk dan jauh, terlalu terfokus pada rencananya untuk membangun hotel keluarganya dan juga fokus untuk syuting film barunya. Shanera merasa seperti sebuah prioritas yang semakin memudar.

"Hei, maaf lama," suara familiar Adnan menyapa dari belakang. Ia duduk di depannya dengan senyum yang ia kenal baik, tetapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Matanya, yang biasa hangat dan penuh perhatian, tampak sedikit redup.

"Kamu mau bicara soal apa Sha?" tanya Adnan, suaranya penuh perhatian seperti biasa.

Shanera menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. "Aku... dipecat lagi," ucapnya lirih.

Adnan terkejut, wajahnya berubah serius. "Apa? Kok bisa? Bukannya kemarin kamu bilang semuanya baik-baik aja di tempat kerja?"

"Aku juga nggak tahu kenapa, Nan. Mereka bilang aku terlalu banyak membawa masalah pribadi ke tempat kerja. Aku pikir, setelah semua yang kita lewati, aku mulai menemukan ritme. Tapi ternyata nggak..." Shanera menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang.

Adnan menggenggam tangannya di atas meja. "Aku di sini buat kamu, Sha. Kita bisa cari solusinya bareng-bareng."

Namun, ada jeda dalam kata-katanya, sesuatu yang membuat Shanera merasa lebih waspada. Ia menatap wajah Adnan, mencoba mencari kejujuran di sana. "Kamu sibuk, Nan. Aku nggak mau selalu ngerepotin kamu dengan masalahku."

Adnan tertawa kecil, tapi ada nada getir di balik tawanya. "Sha, kamu tahu aku selalu ada buat kamu. Tapi...," kata-katanya terhenti.

"Tapi apa?" Shanera menatapnya tajam, jantungnya berdetak lebih cepat.

Adnan menarik napas panjang. "Kita udah lama nggak ngobrol kayak gini, ya? Aku makin sibuk sama urusan hotel, aku juga harus bisa bagi waktu biar bisa syuting dengan baik, dan kamu dengan karir mu. Aku cuma merasa... mungkin kita butuh waktu buat berpikir lagi tentang semua ini."

Shanera terpaku. Kata-kata itu terasa seperti jarum yang menusuk dadanya. Apakah ini akhir dari mereka? Apakah usaha mereka mempertahankan hubungan ini tidak cukup?

"Adnan, kamu mau bilang apa?" suaranya nyaris tak terdengar, bergetar.

Adnan menatap matanya dalam-dalam, lalu tersenyum lemah. "Aku cuma mau kita baik-baik aja, Sha. Tapi... kadang aku merasa kita udah nggak ada di jalan yang sama lagi."

Shanera merasakan kepedihan yang tak terucap, dan hanya bisa berbisik, "Kamu rumahku, tapi kamu juga lukaku. Aku baru aja dipecat dan kamu ngajak aku buat putus, malam ini? Aku butuh support kamu Nan!"

Adnan terdiam, kekasihnya tidak pernah berteriak seperti itu, untungnya kondisi kafe ini sepi.

"Siapa yang bilang aku ngajak putus Sha? Kamu kayaknya kecapean deh hari ini, harusnya kamu istirahat dulu, kalau emosi kamu udah stabil baru kita ngobrol. Aku tunggu didepan." Suaranya penuh dengan kekecewaan, Adnan memutuskan untuk menunggu diluar kafe agar sang kekasih bisa kembali tenang.

Shanera tak menjawab, hanya membiarkan air matanya jatuh pelan-pelan.
Ini yang membuat dirinya bimbang atas hubungan yang keduanya jalani.

---
Lima belas menit Adnan menunggu diluar, akhirnya Shanera menampakkan dirinya. Gadis itu berjalan dengan pelan menuju sang kekasih, tangannya mencoba menggapai tangan pasangannya, mencari kehangatan diantara genggamannya itu.

Adnan langsung saja menarik tubuh gadisnya ke dalam pelukannya, pada saat itu juga tangisan Shanera pecah untuk keduakalinya. Tapi, kali ini ada Adnan yang merengkuh tubuh mungilnya itu, ada Adnan yang terus mengelus punggung rapuhnya itu.

Malam itu mereka menangis dibawah sinar bulan, tangisan kekecewaan, kesedihan, kegundahan bercampur menjadi satu.

---

Seeking for Clarity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang