Chapter 5: Pertanda Damai

53 7 0
                                    

———

Sudah dua minggu sejak percakapan yang memecah keheningan di antara mereka di malam penuh hujan itu. Shanera masih ingat setiap kata yang keluar dari mulut Adnan, dan bagaimana beratnya suasana ketika ia melangkah keluar dari tokonya. Tapi setelah itu, mereka memutuskan untuk saling memberi ruang. Shanera menyibukkan dirinya dengan toko Pawkie's, mencoba melupakan segala kegelisahan tentang hubungan mereka. Ia fokus pada kreasi cookies baru, memberikan perhatian lebih pada Lego dan Smokie, serta mencoba menikmati hidupnya tanpa terlalu banyak mengandalkan kehadiran Adnan.

Namun, yang tidak ia duga adalah pesan singkat dari Adnan yang datang pagi itu.

"Sha, aku mau ketemu. Nggak ada tekanan, cuma pengen ngobrol sedikit. Ada waktu buat makan siang bareng?"

Shanera membaca pesan itu berkali-kali, berusaha meredakan debaran hatinya yang tiba-tiba melonjak. Adnan ingin bertemu lagi, setelah waktu yang mereka habiskan untuk berpikir dan merenung. Tanpa banyak pertimbangan, Shanera membalas pesan itu.

"Oke, jam 12 di tempat biasa."

Jam 12 tepat, Shanera sudah duduk di sebuah meja di sudut kafe tempat mereka biasa bertemu. Ia mengenakan sweater hangat dan celana jeans, tampil sederhana seperti biasa. Meski hatinya masih dipenuhi keraguan, ada bagian kecil dalam dirinya yang berharap kali ini pertemuan mereka akan berbeda. Mungkin, hanya mungkin, ini bisa menjadi awal dari sesuatu yang lebih baik.

Adnan datang tak lama kemudian, mengenakan jaket hitam dan celana kasual. Ia terlihat sedikit lelah, tapi ada ketenangan di wajahnya yang membuat Shanera sedikit lega. Mereka saling bertukar senyum, canggung tapi tidak sepenuhnya dingin.

"Maaf kalau aku terlambat," ucap Adnan saat duduk di hadapannya. "Tadi ada meeting sebentar."

Shanera mengangguk, "Nggak apa-apa. Aku juga baru sampai kok."

Keheningan melingkupi mereka sejenak. Pelayan datang untuk mencatat pesanan mereka—secangkir kopi hitam untuk Adnan dan teh hijau untuk Shanera. Setelah pelayan pergi, Adnan memulai percakapan dengan hati-hati.

"Sha... aku cuma pengen tahu, gimana kamu sekarang? Udah sedikit lebih baik?"

Shanera terdiam sesaat, berpikir sebelum menjawab. "Aku berusaha, Nan. Aku nggak bisa bilang kalau aku udah sepenuhnya baik-baik aja, tapi aku lagi coba bangkit lagi." Suaranya tenang, namun ada kejujuran dalam setiap kata yang keluar.

Adnan mengangguk pelan, matanya tetap tertuju pada Shanera. "Aku juga, Sha. Aku juga lagi coba ngatur semuanya. Nggak gampang, tapi aku pikir, break kemarin itu ngebantu kita buat mikir lebih jernih."

Shanera mendesah, mengusap jemarinya yang dingin di atas cangkir teh yang belum disentuhnya. "Mungkin. Mungkin kita memang butuh waktu buat ngambil jarak, tapi aku benci rasanya, Nan. Aku benci ngerasa jauh dari kamu."

"Aku juga ngerasa begitu." Adnan berkata pelan, tangannya terangkat sedikit, lalu jatuh kembali ke meja. "Aku nggak mau kita terus-terusan kayak kemarin. Pertengkaran itu... nggak ada yang menang, Sha. Kita cuma bikin satu sama lain capek."

Shanera mengangguk, matanya perlahan melembut. "Iya, aku ngerti. Dan aku juga tahu, aku bukan satu-satunya yang lagi ngerasa tertekan. Kamu juga punya banyak hal yang harus diurus."

Adnan menatap Shanera dengan pandangan bersyukur. "Makasih karena kamu ngerti, Sha. Aku kadang takut kamu ngerasa aku ninggalin kamu."

Shanera tersenyum tipis, lalu menggelengkan kepala. "Aku nggak pernah ngerasa ditinggalin, Nan. Aku cuma... ingin kamu ada di samping aku, meski hanya sebentar. Aku tahu kamu sibuk, tapi kadang, aku butuh kepastian kalau kamu masih ada buat aku."

Adnan terdiam, merenung sejenak sebelum akhirnya berbicara lagi. "Aku janji, aku bakal lebih baik, Sha. Aku bakal coba bagi waktu lebih adil antara kerjaan dan hubungan kita. Mungkin kita nggak bisa sering ketemu, tapi aku bakal pastiin kita tetap komunikasi. Kamu penting buat aku, Sha, dan aku nggak mau kehilangan kamu."

Kata-kata itu, meski sederhana, membuat hati Shanera sedikit lebih ringan. Mungkin ini bukan solusi instan untuk semua masalah mereka, tapi setidaknya ada harapan di sana. Mungkin, hubungan mereka bisa sedikit lebih baik dari sebelumnya, asalkan mereka berdua sama-sama mau berjuang.

"Sama-sama, Nan," Shanera akhirnya berkata, senyum kecil mengembang di wajahnya. "Aku juga bakal coba lebih mengerti. Aku nggak mau kita terus-terusan saling menyalahkan."

Adnan tersenyum kembali, sedikit lega. Mereka berdua tahu, perjalanan ini masih panjang, tapi setidaknya hari ini mereka mengambil langkah kecil ke arah yang benar. Setelah sekian lama merasa terpisah, akhirnya ada secercah harapan untuk mereka.

Kafe tempat mereka bertemu tetap ramai dengan suara obrolan dan musik pelan yang mengalun. Namun bagi Shanera dan Adnan, suasana itu tak lagi membebani. Mereka menikmati momen kecil ini, duduk berhadapan sambil menikmati minuman mereka. Tidak ada beban berat yang harus diselesaikan malam ini, hanya percakapan ringan dan senyuman yang menandakan bahwa meskipun banyak hal yang belum teratasi, mereka masih saling peduli.

---

Di sudut kafe—Pawkie's, Lego dan Smokie mungkin sedang menunggu Shanera pulang untuk membawa mereka kembali ke apartemen gadis itu. Tapi untuk sekarang, Shanera merasa lebih tenang. Tidak ada yang tahu bagaimana masa depan hubungan ini, tapi setidaknya, untuk hari ini, mereka baik-baik saja.

---

Adnan memandangi Shanera dengan tatapan yang lembut, hatinya dipenuhi harapan. "Aku janji, Sha. Kali ini kita bakal coba lebih baik. Kita bisa ngelewatin ini."

Dan Shanera, meski masih ada sedikit keraguan, memilih untuk percaya.

"Ya, kita bisa, Nan."

———

Mungkin di chapter selanjutnya bakalan lebih singkat kata-kata maupun kalimatnya, soalnya cerita ini ga bakal sampai 15 chapter.

Seeking for Clarity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang