"Amoora, dengarkan aku, pulanglah sekarang juga!" Suara di seberang telepon yang terdengar panik itu pada nyatanya tidak membuat Amoora mengalihkan perhatiannya dari seekor ikan besar yang tengah ia panggang dari bara api.
Aroma bawang putih dan rempah dari ikan yang masih segar menguar ke udara. Tercium begitu lezat.
"Di sana berbahaya!"
Gadis itu hanya diam tanpa ekspresi. Membiarkan saja seseorang mengoceh dan terus memintanya pulang.
"Kenapa pula kau berkemah di sana, Amoora? Tempat itu diketahui tidak jauh dari markas perompak. Kau sendirian, pulanglah!" Berulang kali perempuan yang usianya lebih muda tiga tahun dari Amoora itu membujuk untuk pulang, tetapi gadis dengan alis tebal menukik itu hanya menanggapinya dengan diam seribu bahasa.
Tangannya terjulur meraih bumbu rempah yang masih tersisa sedikit di dalam mangkuk kecil untuk dituangkan dan diratakan ke permukaan badan ikan.
"Mereka kejam Amoora! Mereka tidak segan melecehkan bahkan membunuh siapa saja. Aku sungguh khawatir meski aku tahu kau bisa menjaga dirimu sendiri."
Suara gemeletuk api dari ranting kayu yang terbakar itu mewakili jawaban Amoora.
"Perompak itu kini masih menjadi buronan polisi. Di malam seperti ini bisa saja mereka berkeliaran di sekitaran sana."
"Belum lagi jika ada binatang buas—,"
"Aku akan pulang." Gadis dengan rambut tergelung itu akhirnya bersuara.
Terdengar helaan napas lega dari seberang telepon.
"Nanti, jika apa yang aku inginkan sudah kudapati."
"Amoo—,"
Klik
Perempuan dengan bibir ranum alami tersebut melemparkan benda pipih persegi panjang di tangannya ke dalam tenda.
"Gadis berisik!" Amoora mengumpati Nandhini yang baru saja meneleponnya.
Kesiur angin dingin menerpa kulit putih Amoora yang hanya dilapisi baju berwarna hitam berbahan tipis. Namun ia tak merasa kedinginan. Sudah terbiasa dengan cuaca yang selalu berubah-ubah.
Hutan luas dengan pepohonan tinggi nan menjulang itu pada kenyataannya tampak indah dan sejuk bila di siang hari. Namun, jika sudah melewati tengah malam seperti ini, kanopi hutan tampak menyeramkan. Terlebih hanya Amoora seorang diri yang berkemah di sana.
Suara uhu burung hantu terdengar dari kejauhan. Amoora mendongak, menatap rembulan separuh yang tertutup awan kelabu.
Gadis itu hanya menatapnya sepintas kemudian beralih lagi kepada ikan bakar yang hampir matang. Tidak peduli jika sebentar lagi akan turun hujan di tengah hutan lebat nan gelap itu.
Amoora meletakkan dua ranting kering ke dalam bara api. Ia kemudian beranjak berdiri, berniat mengambil teko air dari dalam tenda ketika rungunya menangkap suara yang berbeda tak jauh dari tempatnya berdiri.
Suara daun kering yang diinjak itu semakin lama terdengar lebih dekat dan jelas. Amoora tetap tenang dan menunggu. Ia memfokuskan pendengarannya pada satu titik. Gadis itu menyeringai. Instingnya menangkap radar bahaya.
Tiga detik kemudian, saat Amoora melangkah mendekati meja dengan teko air panas di atasnya, tiga orang pria berlari kompak dan mengepung dirinya.
Amoora menatap ketigaanya dengan datar, tidak tampak raut wajah takut dari ekspresinya.
"Wah-wah! Makan besar kita hari ini, Tuan!" Seorang pria dengan ikat kepala menatap Amoora seperti serigala kelaparan.
Pria yang lain tertawa. Menyetujui perkataan rekannya. Mereka semua tampak mengenakan pakaian abu-abu kehitaman. Bebat kepala bergambar tengkorak dan tato di seluruh lengan memperlihatkan bahwa mereka bukan orang yang datang dengan niat baik. Wajah dipenuhi kumis dan brewok serta tatapan melecehkan mereka jatuhkan pada satu titik; Amoora.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anjani (I am Not Your Queen!)
ActionAction-Misteri-Fantasi Memiliki bekas luka bulan sabit di leher kiri artinya mempunyai sumpah untuk menjadi manusia yang tak pernah ingkar akan ucapan yang telah terlontar. Janji adalah hutang. Janji menjadi harga mati. Kebiasaan itu telah secara tu...