Chapter 2

12 2 2
                                    

Ruangan dua puluh lima kali delapan belas meter tersebut kini genap. Bukan hanya cat dinding yang sengaja diwarnai abu-abu gelap dan putih kelabu, tetapi penerangan di kamar itu juga sengaja dimatikan oleh pemiliknya.

Tidur dalam keadaan lampu terang bukan pilihan baik. Amoora tidak pernah bisa tidur jika kamarnya terang.

Perempuan yang mengenakan piyama motif awan mendung tersebut merebahkan dirinya di kasur berukuran besar. Bulu mata panjang nan lentik miliknya tampak begitu cantik saat ia memejamkan mata. Hidungnya terlihat kecil namun mancung. Surai hitam panjangnya tergerai indah di bantal yang ia tiduri.

Amoora tidur dengan tenang. Napasnya tampak teratur, terlihat dari perutnya yang naik turun secara perlahan. Kamar itu senyap, hanya bunyi jam dinding di sisi kanan lemari yang mendominasi.

Sementara itu, ada sepasang langkah yang diam-diam mendekati ranjang Amoora. Ia menapakkan kaki dengan begitu pelan, tak ingin membangunkan wanita yang diincarnya.

Sepuluh langkah lagi, orang tersebut membuka gulungan kain yang ia bawa, mengeluarkan sebilah pisau.

Ia berjalan mendekat. Samar-samar tersenyum penuh kemenangan.

Tujuh langkah dari sasarannya, ia mengangkat pisau itu ke udara. Bersiap menghujam.

Tiga langkah terakhir, saat seseorang yang tak diketahui namanya tersebut telah siap menikam jantung gadis tidur tersebut, tanpa ia sadari dua buah jarum seukuran telunjuk orang dewasa telah bersarang dulu di dadanya.

Secepat kilat menusuk organ di dalamnya.

Ia berteriak tertahan. Kedua matanya melotot kaget sekaligus menahan sakit yang teramat sangat.

Detik setelahnya langsung tersungkur dengan tubuh perlahan membiru.

Gadis yang semula tampak tidur tenang itu lalu duduk di kasurnya. Ia merenggangkan kedua tangannya seakan tak terjadi apapun, kemudian menoleh pada manusia yang baru saja ingin membunuhnya, tapi justru ia bunuh.

Amoora menyunggingkan senyum.

"Manusia bodoh mana yang mengira aku lengah meski dalam keadaan mata tertutup?"

Sejak pintu dibuka tadi, meski sudah berusaha tanpa suara. Amoora sudah terbangun. Suara sekecil apapun instingnya dengan pasti menangkap pergerakan yang berbeda. Ia membiarkan saja orang itu mendekat masuk, lalu diam-diam menarik jarum beracun yang tersembunyi di balik jahitan selimut.

Membuka tutupnya lalu bersiap melemparkannya dengan pasti.

Amoora menepuk tangannya dua kali. Seluruh lampu ruangan menyala bersamaan. Tampak dengan jelas tubuh seorang pria berjaket kulit berwarna coklat tengah sekarat di samping ranjang.

Kaki jenjang Amoora melangkahi manusia itu lalu menuju ke pintu keluar. Saat di depan kamarnya, ia melihat empat orang penjaga pingsan. Tercium bau obat yang membuat Amoora refleks menutup hidungnya.

Ia dengan segera menekan tombol kecil yang ada di gelang pergelangan kirinya. Seketika semua sirene bahaya di rumah itu berbunyi nyaring.

Amoora melanjutkan langkahnya, menuju ruangan besar tempat pertemuan penting di kastil tersebut diadakan.

Semua orang yang ada di kastil terbangun saat mendengar sirene tanda bahaya tersebut. Telah hilang semua kantuk yang semula terasa berat.

Seluruh penjaga, pelayan, juga petugas seluruh kamar dengan cepat memenuhi aula. Sebanyak nyaris empat ratus orang bersiaga penuh di depan Amoora. Paham akan sirene bahaya yang tadinya dibunyikan.

Sebelum ada yang bertanya, Amoora mengangkat suara. "Ada penyusup di kamarku."

"Aku perintahkan seluruh Kepala Utama untuk memeriksa semua orang yang ada di sini."

"Tidak ada yang boleh keluar dari kastil sampai pemeriksaan selesai!"

"Karena aku yakin, pria yang ingin menusukku itu tidak sendirian. Ada orang lain yang membantunya hingga sampai di sini."

Saat titah itu diberikan, sebanyak sembilan puluh tujuh orang membungkuk hormat lalu segera berbalik melakukan tugasnya.

Bukan hanya orang dan identitas yang diperiksa lengkap. Namun juga isi kamar digeledah secara bersamaan. Benda-benda mencurigakan segera dikumpulkan untuk diperiksa lebih lanjut.

Rekaman kamera pengawas utama maupun yang tersembunyi juga diperiksa secara cermat.

Amoora mengatupkan rahang. Orang yang menggangu tidur tenangnya tidak akan ia beri ampun.

Seorang perempuan dengan rambut sedikit berantakan datang terlambat ke aula. Berlari hingga hampir tersandung.

"Ada apa, Amoora? Astaga! Aku terlambat kemari karena pingsan di dapur. Bersama dua orang pelayan lain."

Nandhini sedikit terhuyung. Tujuh pelayan yang lain berserta penjaga pintu kamar Amoora kemudian datang setelahnya.

"Siapa orang yang terakhir kau temui sebelum pingsan?" Amoora bertanya.

Nandhini yang mengenakan piyama berwarna pink muda tersebut berpikir sejenak lalu menggeleng.

"Tidak ada. Aku sedari sore di kamar untuk melukis dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda. Baru setelah itu ke dapur untuk memeriksa pelayanku karena tidak kunjung kembali saat aku menyuruh mereka mengambil air minum dan kudapan."

"Aku melihat mereka jatuh pingsan kemudian secara tiba-tiba dapur dipenuhi asap tebal seperti aroma obat yang membuatku juga pingsan."

Amoora mengepalkan tangannya geram. Penyusup itu pastilah telah berada di kastilnya sejak lama hingga merencanakan semuanya dengan matang.

Amoora kemudian menjentikkan jarinya. Seketika langit-langit ruangan menganga terbuka lalu turun ratusan benda terbang berbentuk seperti bola-bola kristal yang memenuhi ruangan.

Seruan-seruan tertahan dan pertanyaan-pertanyaan terdengar seperti dengungan tawon di ruangan itu. Tak menyangka ada benda seperti canggih yang disembunyikan oleh pemilik kastil.

"Robot kristal ini akan mengikuti serta mengawasi tiap dari masing-masing kalian hingga pemeriksaan oleh Kepala Utama usai. Jika ada pergerakan mencurigakan atau mencoba untuk keluar dari kastil sebelum waktunya, bola kristal itu akan berubah menjadi enam mata pisau yang detik itu juga akan merobek tubuh kalian hingga habis."

Semuanya terdiam. Tampak takut dan cemas memikirkan kemungkinan terburuknya. Siapapun yang telah masuk ke dalam Kastil Anjani, tidak bisa melakukan pelanggaran, atau akibatnya mereka tanggung sendiri.

Nandhini di sebelahnya mengigit kuku. Sudah terbiasa sebenarnya menghadapi situasi seperti ini, tetapi tetap saja menakutkan. Terlebih melihat Amoora yang tampak seperti predator kala siap menerkam buruannya membuat Nandhini hanya bisa diam tak berkutik.

"Tolong siapkan aku minuman herbal setelah ini. Aku merasa berkali-kali ingin pingsan." Nandhini berbisik pada pelayannya.

Amoora meliriknya tajam, membuat Nandhini gelagapan. Takut salah bicara.

"Ah tidak-tidak. Buatkan juga untuk Amoora. Maksudku Nona. Nona Anjani." Iya mengusap pelipis dan lehernya yang berkeringat.

Berdekatan dengan Amoora saat situasinya seperti ini membuat nyali siapa saja menciut.

"Aku tidak mau minuman herbal. Aku ingin segelas darah."

Nandhini dan orang yang mendengarnya refleks melangkah mundur sambil menunduk gemetar. Meskipun tahu bahwa Nonanya tidak berkata sungguh-sungguh tentang itu, tapi mendengarnya saat ini seakan benar-benar akan dilakukan.

Amoora mendekati seorang pelayan yang tampak masih muda. Sekitar dua puluhan tahun.

"Darah segar dari wanita muda sepertimu contohnya."

****


Anjani (I am Not Your Queen!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang