Peringatan: Bab ini mengandung adegan kekerasan yang mungkin tidak nyaman bagi sebagian pembaca.
Dalam ruang bawah tanah kekaisaran yang gelap dan lembap, Letizia terbaring telentang di lantai dingin, rantai besi mencengkeram tubuhnya dengan kuat. Setiap gerakan hanya menambah rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Bau lembap bercampur keringat dan darah membuat suasana semakin mencekam. Damian berdiri di depan sel, wajahnya diselimuti ekspresi dingin, di mana kemarahan dan kebencian berpadu dalam tatapannya.
"Selena," panggilnya, suaranya penuh dengan penghinaan. Letizia menatapnya dengan kemarahan yang membara, meski ketakutan merayap dalam hatinya. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menyiksaku seperti ini?"
"Oh, jangan berpura-pura tidak tahu," jawab Damian sambil tersenyum sinis. "Kau dan Lukan merencanakan sesuatu, bukan? Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Letizia berusaha mengendalikan suaranya agar tetap tenang. "Rencana apa? Apa yang kau bicarakan?"
Damian mengeluarkan sebuah gulungan dari balik jubahnya, memperlihatkan peta detail struktur kekaisaran, lengkap dengan lokasi-lokasi strategis yang ingin ia ambil. "Rencanaku," ucapnya, dengan nada puas. "Aku akan menguasai seluruh kekaisaran. Siapa pun yang menghalangiku akan merasakan akibatnya."
"Ini gila, Damian!" teriak Letizia, merasakan putus asa menggerogoti jiwanya. "Kau akan menghancurkan semuanya!"
Namun, Damian tetap tenang, matanya bersinar dengan ambisi gelap. "Kekaisaran ini butuh kekuatan yang keras. Jika aku harus mengorbankan siapa pun, termasuk kau, untuk mendapatkan kekuasaan, aku akan melakukannya."
Letizia mencoba meronta, tetapi rantai besi itu terlalu kuat. "Kau salah, Damian. Kekuasaan tidak bisa diperoleh dengan cara ini. Apa kau tidak melihat betapa banyaknya penderitaan yang kau timbulkan?"
"Keberanianmu menakjubkan," jawab Damian, melangkah lebih dekat. Wajahnya kini hanya beberapa inci dari wajah Letizia, dan dalam cahaya remang, dia bisa melihat bayangan gelap di balik matanya. "Penderitaan adalah harga yang harus dibayar. Aku akan menunjukkan kepada semua orang betapa seriusnya aku."
Letizia merasa ngeri saat dia melihat niat jahat di mata kakaknya. "Apa rencanamu selanjutnya? Setelah kau mendapatkan kekuasaan, apa yang akan kau lakukan dengan semua ini?"
Damian tersenyum, senyumnya kosong. "Setelah aku mengambil alih, semua pengkhianat akan dihapuskan. Kau akan menjadi contoh dari kebengisan aku."
Letizia terdiam, merasakan ketakutan yang mendalam. Dia tahu apa yang dikatakan Damian adalah kebenaran. Kekaisaran akan dipenuhi kekejaman dan penindasan, dan dirinya akan menjadi korban pertama.
Sebelum pergi, Damian menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. "Nikmati waktumu di sini," katanya sambil mengunci pintu sel dengan suara berderak, "aku akan memastikan tidak ada yang datang menyelamatkanmu."
Setelah pintu tertutup, Letizia terjebak dalam kegelapan, merasakan keputusasaan menggerogoti harapannya. Namun, dia tahu dia harus berjuang. Rencana Damian harus dihentikan sebelum semuanya terlambat.
'Kemana perginya cintamu pada adikmu, Selena?' pikir Letizia heran.
Setelah meninggalkan sel, Damian berjalan menuju ruang kerja pribadinya dengan langkah berat, tetapi rasa bersalah mengganggu pikirannya. Ruang kerja yang gelap dan dipenuhi peta serta dokumen rahasia kini terasa menyesakkan. Dia tidak bisa fokus pada rencananya; wajah Letizia terus menghantuinya.
Dia duduk di kursi empuk, memegang kepala seolah berusaha menahan suara batinnya yang berteriak. "Apa yang telah aku lakukan?" gumamnya, suaranya penuh dengan penyesalan.
Dalam keadaan yang semakin kacau, Damian menatap meja di sampingnya, di mana berbagai benda tajam tergeletak—pisau, belati, dan alat-alat lain. Matanya dipenuhi kegelapan dan kesedihan. Dia berdiri gemetar dan mengambil pisau kecil, mengangkatnya ke arah lengannya, berusaha menenangkan rasa sakit batinnya dengan menciptakan rasa sakit fisik.
Setiap goresan yang dibuatnya mengeluarkan suara isak tertahan. Darah mulai menetes, namun dia tidak peduli. Dia ingin merasakan rasa sakit yang dialami orang lain, terutama Letizia.
"Apa yang telah aku lakukan?" teriaknya, suara penuh amarah dan penyesalan. "Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi! Tidak bisa!"
Rasa bersalah semakin menggerogoti pikirannya. Ia merasa telah menjadi monster—bukan hanya bagi musuh-musuhnya, tetapi juga bagi orang-orang terdekatnya. Setiap luka yang dibuat hanya memperburuk rasa sakit batin yang tak tertahankan.
Damian jatuh terjerembab di lantai, tergeletak di atas darahnya sendiri, napasnya memburu. Ia merasakan kekacauan total dalam pikirannya. Perasaan bersalah membanjiri hatinya, seolah-olah dia telah melanggar semua batas kemanusiaan.
Di tengah kegelapan dan kebisingan emosional yang menghancurkan, Damian mulai menggila. Dia berbicara kepada dirinya sendiri dengan nada tidak jelas, menyebut nama-nama yang tidak ada artinya. "Mengapa aku melakukan ini? Mengapa aku menyakiti Selena?"
Pisau itu tergenggam erat di tangannya, matanya menatap luka-luka di tubuhnya. Setiap bekas luka seolah menjadi pengingat akan kegagalannya, rasa sakit, dan kekejaman yang telah dia timbulkan.
Akhirnya, dalam keadaan yang sangat tidak stabil, Damian terbaring di lantai, dikelilingi oleh darah dan alat-alat tajam. Dia merasa kehilangan kendali, terjebak dalam pusaran kegelapan yang menggerogoti jiwanya. Semua usaha untuk meraih kekuasaan tampak sia-sia—sebab pada akhirnya, dia hanya menjadi korban dari kegelapan yang dia ciptakan sendiri.
Saat malam semakin larut, Damian tergeletak dalam kesadaran yang kabur, satu pikiran menghantui: apa yang harus dia lakukan untuk menghapus rasa sakit yang telah dia timbulkan? Apakah ada jalan kembali dari kegelapan yang telah dia pilih?
Damian merangkak di lantai, pikirannya kacau. Di tengah derita dan keputusasaannya, satu nama terus menghantuinya: Letizia. Semua kekacauan ini adalah akibat dari kedekatannya dengan Lukan—seorang pria yang telah merusak rencananya dan mungkin mempengaruhi adiknya dengan cara yang tidak diinginkan.
Dengan napas terengah-engah dan tubuh yang berlumuran darah, Damian berusaha mendekati cermin besar di sudut ruangan. Refleksi wajahnya tampak tertekan dan kacau. Dalam cermin itu, dia melihat dirinya sebagai penguasa muda yang dikuasai oleh kegelapan dan ketidakstabilan.
"Semua ini salah Selena," gumamnya pada refleksinya, suaranya bergetar dengan kemarahan. "Jika dia tidak terlibat dengan Lukan, semua ini tidak akan terjadi. Lukan meracuni pikiranku!"
Dia teringat kembali setiap momen saat Letizia dan Lukan bersama—pertemuan rahasia, percakapan di luar akademi. Rasa marah menggelora, membuatnya percaya bahwa semua masalah ini adalah akibat dari interaksi mereka. Dalam pikirannya, Lukan adalah sosok yang merusak dan meracuni Letizia, menjauhkan adiknya dari rencananya yang sudah direncanakan dengan teliti.
Rasa bersalah dan kemarahan menyala dalam dirinya tidak hanya ditujukan kepada dirinya sendiri, tetapi juga kepada Letizia. "Dia seharusnya tahu tempatnya," teriaknya, suaranya penuh dengan kepedihan. "Dia seharusnya tetap di jalurnya, tanpa melibatkan orang lain!"
Damian meraih pisau tergeletak di lantai dan memegangnya dengan erat, merasakan dorongan untuk melakukan sesuatu—apa pun—agar kekacauan ini berakhir. Namun, rasa sakit dan kepedihan emosional membuatnya sulit berpikir jernih.
Saat Damian berjuang dengan pikiran dan perasaannya, ia merencanakan langkah selanjutnya. Dia memutuskan untuk memperketat pengawasan terhadap Letizia, memastikan tidak ada gangguan dari Lukan atau siapapun yang dapat mempengaruhi adiknya. Dia merasa satu-satunya cara untuk mengendalikan situasi adalah dengan menjauhkan Letizia dari Lukan dan mengendalikan sepenuhnya setiap langkahnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/376445851-288-k19955.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Am I? (Telah Terbit)
Fiksi SejarahTELAH TERBIT!! Versi ini adalah versi yang sudah melewati tahapan revisi ulang dengan mengubah sebagian isi cerita!! Letizia Grey adalah seorang wanita muda dengan hidup sempurna. Namun, semuanya berubah drastis setelah pesta ulang tahun temannya. D...