18 : Rasa Cemburu (1)

3.6K 241 2
                                    

Mathias hari ini meminta King tidak perlu menjemputnya, karena ia ingin mengunjungi ayahnya dirumah sakit.

Mathias duduk di tepi ranjang rumah sakit, menatap ayahnya yang semakin lemah. Setiap napas yang diambil oleh pria tua itu terdengar berat dan menyakitkan, seolah-olah setiap helaan nafas adalah perjuangan yang harus dihadapi. Wajah ayahnya pucat, kulitnya kian memucat, dan rambutnya sudah nyaris botak. Mathias merasa hatinya hancur melihat kondisi ayahnya yang semakin tak berdaya.

"Ayah..." bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar di dalam kamar yang sunyi itu. Matanya penuh dengan air mata yang tertahan. Dia tahu bahwa jika ayahnya pergi, seluruh hidupnya akan berubah. Tidak ada lagi yang tersisa untuknya. Ayah adalah satu-satunya alasan yang membuat Mathias bertahan selama ini, satu-satunya yang mengikatnya dengan kehidupan.

Jika ayahnya meninggal, Mathias merasa hidupnya akan berakhir juga. Dia tidak bisa membayangkan dunianya tanpa pria tua yang selalu ada di sisinya sejak kecil. Meski hubungan mereka kadang tegang dan penuh kesalahpahaman, dia tahu bahwa cinta yang mereka bagi tak tergantikan.

Dalam hati, Mathias berdoa agar ayahnya panjang umur. "Tolong, ayah... bertahanlah lebih lama. Aku tidak bisa hidup tanpamu," gumamnya, meski dia tahu bahwa tidak ada yang bisa menahan waktu atau kematian. Namun, dalam hatinya yang terdalam, Mathias masih berharap keajaiban terjadi, bahwa ayahnya bisa sembuh dan mereka bisa memiliki lebih banyak waktu bersama.

Setelah beberapa saat berada di sana, merasakan beratnya suasana, Mathias akhirnya memutuskan untuk pergi. Ia mencium dahi ayahnya dengan lembut dan berbisik, "Aku akan kembali besok, Ayah." Lalu, dengan langkah yang lesu, dia meninggalkan ruangan itu. Hatinya terasa kosong, penuh dengan perasaan tidak berdaya yang menyesakkan.

Ketika Mathias kembali ke tempat kerjanya, suasana di bengkel berbeda dari biasanya. Ada kehebohan di antara para pekerja, dan dia segera mendengar desas-desus tentang kunjungan seorang wanita cantik, seorang model terkenal yang sedang bersama King.

"Pacar King yang super cantik itu datang ke sini," kata salah satu teknisi dengan nada iri.

Mathias mendengarnya dengan jelas, dan entah mengapa, perasaan tak nyaman tiba-tiba muncul di dadanya. Ada rasa sakit yang perlahan merayap ke hatinya, meski dia tak tahu dari mana asalnya. Dia tak seharusnya peduli, tak seharusnya merasa seperti ini. King bukan miliknya, dan King pun tak pernah memberikan sinyal bahwa dia memedulikannya dengan cara yang lebih dari sekadar profesional.

Saat hendak mengambil barang-barangnya, tanpa sengaja Mathias melewati ruangan di mana King dan wanita itu sedang bersama. Mathias berusaha tidak mempedulikan, namun tatapan matanya secara otomatis tertuju pada mereka berdua. Dan di sanalah dia melihat pemandangan yang membuat dadanya terasa sesak.

King dan wanita itu sedang berciuman.

Mathias berhenti di tempat, tubuhnya terasa beku. Dia tahu bahwa dia seharusnya segera pergi, tapi pandangannya tetap terpaku pada mereka. Mereka terlihat begitu intim, begitu dekat, seolah-olah dunia di sekitar mereka lenyap. Wanita itu melingkarkan lengannya di leher King, sementara King tampak memeluknya dengan erat. Ciuman mereka dalam, penuh gairah, dan tak ada keraguan dalam tindakan mereka.

Mathias merasa hatinya terhempas. Sakit yang tak tertahankan mulai menjalar dari dadanya ke seluruh tubuh. Matanya terasa panas, namun dia berusaha keras menahan air mata yang hampir jatuh. Dia tak ingin terlihat lemah, tak ingin ada yang tahu betapa hancurnya perasaannya saat ini.

"Apa yang sedang kupikirkan?" Mathias bertanya pada dirinya sendiri. Kenapa dia merasa seperti ini? Kenapa melihat King bersama orang lain membuatnya begitu sakit? Dia seharusnya tidak peduli. Lagipula, mereka hanyalah rekan kerja. Tidak lebih.

Namun, meskipun dia terus mencoba meyakinkan dirinya sendiri, kenyataan bahwa perasaannya kepada King ternyata lebih dalam dari yang dia kira semakin tak terbantahkan. Selama ini, dia mencoba mengabaikannya, berusaha menyembunyikan perasaan yang muncul, tapi sekarang semuanya menjadi jelas. Mathias masih jatuh hati pada King, dan menyadari hal itu membuatnya merasa semakin hancur

Dengan langkah cepat, Mathias berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Ia berjalan cepat menuju keluar bengkel, mencoba menghirup udara segar untuk menghilangkan rasa sesak di dadanya. Dia menunduk, memeluk erat tas yang dibawanya, berharap rasa sakit itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Namun, sekeras apapun dia berusaha, bayangan King yang berciuman dengan wanita itu terus menghantuinya.

Di luar, Mathias duduk di kursi di dekat pintu bengkel. Angin sore yang sejuk menerpa wajahnya, namun itu tidak membuat perasaannya lebih baik. Dia merasakan perutnya bergolak, seolah-olah emosinya tak bisa lagi ditahan di dalam. Kenyataan bahwa dia tidak hanya jatuh hati pada King, tetapi juga tak akan pernah mendapatkan tempat di hatinya, semakin memperparah luka di dalam dirinya.

Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Mathias mendongak dan melihat Noe mendekat. "Mathias, kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada prihatin saat melihat Mathias berjalan tergesa-gesa dengan tongkat kruknya.

Mathias tersenyum kecil, meski jelas itu senyum yang dipaksakan. "Ya, aku baik-baik saja. Hanya butuh udara segar."

Noe menatapnya dengan tatapan tajam, seolah mengetahui ada sesuatu yang lebih dari sekadar butuh udara segar. Namun, dia tidak menekan lebih jauh. "Kalau begitu, istirahatlah sebentar. Kau tampak lelah."

Mathias mengangguk. "Terima kasih."

Saat Noe pergi, Mathias menghela napas panjang. Dia merasa sangat lelah tidak hanya fisik, tapi juga emosional. Dia tahu dia harus menghadapi perasaannya ini, tapi saat ini dia tidak siap. Yang bisa dia lakukan hanyalah menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan dan berharap rasa sakit itu perlahan menghilang.

Beberapa hari kemudian, Mathias terus bekerja di bengkel seperti biasa, mencoba mengabaikan perasaannya terhadap King. Namun, gosip tentang hubungan King dan model itu terus menyebar di kalangan pekerja. Mereka semua tampak terpikat oleh keindahan dan pesona wanita itu, dan beberapa dari mereka tak segan-segan membicarakannya di hadapan Mathias, seolah mereka tahu perasaannya.

"King benar-benar beruntung, ya? Wanita itu sangat cantik dan terkenal. Mereka pasangan yang sempurna," kata salah satu teknisi sambil tertawa.

Mathias hanya bisa tersenyum pahit. Dia tahu mereka tidak bermaksud jahat, tapi setiap kali mendengar pembicaraan tentang King dan pacarnya, hatinya terasa ditusuk. Dia tidak bisa menghindari rasa cemburu yang tumbuh di dalam dirinya, meskipun dia tahu bahwa itu salah.

Semakin hari, perasaannya semakin sulit ditahan. Dia mulai menjauh dari King, tidak lagi mengobrol atau bahkan bertukar sapa seperti dulu. Setiap kali King mendekat, Mathias mencari alasan untuk pergi, seolah-olah dia takut jika semakin dekat, luka di hatinya akan semakin dalam.

Namun, King sepertinya mulai menyadari perubahan ini. Suatu hari, saat Mathias sedang sibuk di bengkel, King tiba-tiba menghampirinya.

"bisa kita bicara sebentar?" King bertanya dengan nada serius

Mathias terkejut, tapi dia mengangguk pelan. Mereka berjalan keluar bengkel dan berhenti di tempat yang agak sepi. Mathias bisa merasakan ketegangan di udara, tapi dia tidak tahu apa yang akan King katakan.

"Beberapa hari ini kau berangkat lebih pagi dan pulang lebih cepat tanpa menungguku" kata King tanpa basa-basi. "Ada apa?"

Mathias merasa jantungnya berdegup kencang. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan perasaannya kepada King? "Aku... aku hanya tidak ingin menjadi bebanmu, itu saja," jawabnya dengan gugup.

King mengerutkan kening. "Beban? Itu alasan yang buruk, Mathias. Kau menghindariku"

Mathias terdiam, tidak bisa menyangkal kebenaran di balik kata-kata King. Tapi dia juga tidak bisa mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. "Aku tidak menghindarimu," katanya akhirnya, meski nadanya terdengar lemah.

King menatapnya tajam, seolah mencoba membaca pikiran Mathias. "Apakah ini tentang kekalahan di balapan terakhir? Atau ada sesuatu yang lain?"

Mathias tertunduk, merasa terpojok. Dia ingin berbicara, tapi kata-kata tidak keluar. Dia merasa terluka, bingung, dan terjebak dalam perasaannya sendiri. Akhirnya, dengan suara pelan, dia hanya bisa berkata, "Tidak apa-apa."

Fallen by Your HandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang