1

5 0 0
                                    

Aku terpaku pada lelaki di hadapanku, lelaki yang sedang menjelaskan materi di depan itu membuat aku terkesima. Bukan parasnya, aku lebih tertarik pada cara dia menjelaskan materi yang kontekstual dan komunikatif. Kenapa aku tidak terpikirkan cara seperti dia, kenapa aku terlalu terpaku pada modul ajar yang aku lihat. Seseorang menepuk pundakku.

"Sudah hampir selesai, ayo keluar" temanku menarik lenganku untuk keluar kelas. Tapi mataku masih asyik melihat lelaki yang sedang berdiri di depan kelas. Sejak saat itu aku melihatnya sebagai role model ketika aku mengisi kelas suatu hari nanti.

Mungkin sejak saat itu atau entah sejak kapan, aku memiliki kebiasaan melihat ke arahnya. Memerhatikan setiap dia tertidur di ruangan, memerhatikan dia tertawa hingga terlihat giginya yang rapi, memerhatikan dia selalu makan dengan lahap, memerhatikan dia serius di depan laptop. Dan memerhatikan gerak gerik lainnya yang membuat aku sadar aku memiliki perasaan padanya.

Suatu ketika kami duduk bersebelahan. Posisi itu sulit membuatku melihat ke arahnya, terlalu jelas jika aku menoleh sementara dia ada di sebelah ku. Aku pura-pura sibuk mengerjakan tugas padahal kikuk takut salah tingkah.

"Cil, ngerjakan apa?" Menurutnya aku seperti anak kecil, itu sebabnya dia selalu memanggilku bocil.

"Asesmen"

"Nanti contohin ya" aku mengangguk. 10 menit kemudian aku menutup laptop dan melihatnya sudah tertidur dengan kepala menghadap ke arah lain. Aku kembali menyelesaikan tugasku. Selang 10 menit kemudian aku mengantuk dan memutuskan untuk tidur dengan meletakkan wajah di meja dan menghadap arah berlawanan dengan arah dazka.

Aku terbangun kala mendengar suara bel istirahat makan siang. Aku mengerjapkan mata. Dan terkejut. Entah sejak kapan wajah kami berhadapan dan jarak diantara kami sangat dekat. Aku buru-buru mengangkat kepala karena jantungku tak karuan wajahku terlalu dekat dengan laki-laki. Ada perasaan bahagia sekaligus aneh untukku. Buru-buru aku mengambil kaca dan memastikan aku tidak meninggalkan jejak air liur atau belek di mata. Setelah semua aman, aku kembali memandangi wajahnya yang terlelap. Dia damai dalam tidurnya. Wajahnya yang tegas, alisnya yang tebal, kumisnya yang rapi, dan satu lagi. Hidungnya yang mancung. Semua itu membuat siapapun bisa jatuh cinta.

"Jam berapa sekarang?" Aku terkejut dia terbangun. Untungnya saat itu aku membuka buku. Jadi aku tidak tertangkap basah sedang memandanginya.

"Masih baru istirahat kedua, jam 12.30" jawabku. Dia bangkit dari bangkunya lalu melangkah keluar. Aku lihat dari jendela dia berjalan menuju warung kopi langganannya.

"Dazka mana?" Reyhan mengetuk jendela di hadapanku. Aku terkejut, tapi telunjuk ku langsung mengarah kemana dazka tadi pergi. Dia mengangguk langsung mengikuti arah telunjukku.

Selang satu jam Dazka dan Reyhan datang. Kali ini penampilan Dazka jauh lebih rapi dari sebelumnya. Biar aku tebak. Kali ini dia akan mengisi kelas. Rupanya benar, dia kembali ke ruangan untuk mengambil buku dan laptopnya.

"Ngisi kelas berapa pak?" Oh ya, terkadang kami saling memanggil Pak Buk karena menghargai profesi kami sebagai guru, dan itu kami biasakan ketika di sekolah.

"XI-2" jawabnya.

"Observernya siapa?" Tanyaku lagi.

"Kamu aja Bu, aku ada kelas" Sahut Reyhan. Karena setahuku memang Dazka hanya mau diobservasi oleh Reyhan.

"Boleh?" Tanyaku padanya yang menjadi masam.

"Mau bagaimana lagi, ga ada orang lagi" jawabnya. Tapi aku merasa ucapannya dingin. Aku tau dia tidak ingin aku masuk kelas dan mengobservasi dia.

Dia berjalan di depanku, aku mengikutinya ragu-ragu masuk ke kelasnya. Dia menyalakan proyektor dan menyiapkan piranti kelasnya. Aku hanya memerhatikan dia di bangku belakang. Setelah proyektor menyala dia meminta peserta didik mengerjakan quiziz. Dan tidak lama kemudian guru pamong kami masuk dan ikut mengobservasi kelas. Keadaan kelas menjadi dingin. Aku melihat Dazka mulai gerogi diperhatikan guru pamong kami. Meski sudah beberapa kali aku alihkan perhatian beliau, Dazka masih terlihat tidak leluasa mengajar seperti biasanya.

Bel pergantian jam berdering. Guru pamong kami keluar sebelum Dazka mengakhiri kelas. Keadaan ini tidak asing bagiku. Sebentar lagi Dazka akan semakin risau dengan perilaku guru pamong kami. Karena aku tau Dazka kali ini tidak mengajar sebaik biasanya.

"Bu Diah sedang marah ya?" Itu pernyataan Dazka setelah kami keluar dari kelas. Aku berusaha menangkan dia dengan berbohong bahwa semua baik-baik saja.

"Kesalahan mengajar ku dimana? Sintaks mana yang aku lewati" ujarnya serius. Kali ini aku harus jujur mengungkapkan keluhan Bu Diah, guru pamong kami.

"Boleh aku jawab dengan jujur? Dia mengangguk dan alisnya mulai menyatu. Terlihat dia khawatir dengan performanya hari ini.

"Jadi tadi Bu Diah bilang jika pre-test pak Dazka terlalu panjang. Seharusnya untuk soal Pretest cukup dua soal. Karena terlalu panjang itu akhirnya banyak sintaks lain yang terlewat. Maaf aku harus bilang seperti ini. Tapi performa kali ini memang kurang baik" Aku meninggalkan dia sendiri, aku tau komentar itu terasa sakit setelah dia menyiapkan perangkat pembelajaran dengan baik. Tapi aku berharap dia bisa belajar dari kesalahannya kali ini.

Tuhan, jika kali ini aku benar-benar jatuh cinta. Tolong pastikan bahwa dia orang yang tepat untuk menerima perasaan ini

Rintik Yang Tak Sempat HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang