5

1 0 0
                                    

Sejak kejadian itu kami jarang berkomunikasi. Grup obrolan kami di WhatsApp sepi dan kami tidak lagi berkumpul sekadar ngopi atau diskusi singkat. Jarak kami semakin terlihat ketika di kelas kuliah. Aku mengasingkan diri dan tak ingin dekat dengan mereka berempat. Semua teman menatap kami aneh. Dingin ini juga dirasakan mereka yang tau kedekatan kami. Sudah beberapa kali ajakan ngopi Dazka tidak aku iyakan. Sudah berapa kali aku menghiraukan panggilan Dazka.

Hatiku belum sembuh, aku tidak ingin terluka jika dekat mereka. Aku takut semakin sadar jika aku hanya dimanfaatkan.
"Kamu kenapa dek sama Dazka? Ko canggung? Kalian bertengkar?" Ujar kak nin yang menyadari hubungan renggang kami.

"Ga bertengkar sih, tapi aku males aja sama mereka" jawabku sembari merapikan buku yang akan aku bawa pulang.

"Kalian bertengkar? Dingin banget loh suasananya? Kerasa sekali jarak diantara kalian"

"Emang biasanya bagaimana kak? Perasaan biasa aja juga"

"Engga loh, biasa kalian selalu ngobrol. Kalian itu asyik banget. Eh sekarang jadi dingin kaya es"

"Aku kemarin tanyain Dazka, dia ngapain kamu sampai kamu bersikap bersikap dingin seperti ini lalu di curhat, katanya dia terlalu jahat sama kamu sampai dia bingung harus bagaimana menghadapi kamu. Dia bingung harus bagaimana mengembalikan senyum mu itu. Apakah kesalahan mereka sudah fatal sampai kamu seperti ingin jauh dari mereka seperti ini ?" Aku tertawa, tidak menyangka Dazka diam diam berusaha menghadapi aku, pantas saja beberapa hari ini dia selalu mengajak aku pergi setelah kuliah.

Aku bercerita singkat tentang kejadian di sekolah kala itu. Aku sejujurnya hanya ingin Reyhan meminta maaf padaku dan menjelaskan kemana dia selama dua pekan hilang kabar itu. Aku tidak marah pada mereka berempat, aku hanya kecewa mereka berpihak pada Reyhan dan tidak sadar perjuangan ku berusaha melindungi tim kita. Aku yang selalu berbohong untuk menutupi absen mereka. Aku yang selalu mengerjakan semua tugas untuk mereka, aku yang selalu menutupi setiap kesalahan mereka. Tapi aku juga yang menderita sendirian. Aku hanya kecewa itu.

Pak Agung masuk ke dalam kelas dan meminta kami bergabung sesama kelompok. Aku tak berpindah dari tempat duduk ku. Aku sungguh tak ingin berkumpul manusia-manusia aneh itu. Tapi justru mereka mendekat ke arahku.

"Ngerjakan apa? Apa dibagi aja tugasnya?" Tanya Lia. Aku hanya diam. Aku juga begitu sebal pada Lia. Sebal karena dia juga sering bolos sekolah dengan berbagai macam alasan dan melimpahkan tugas pada yang lain.

"Kamu ngerjakan apa?" Kali ini dia melihat ke arah layar laptop ku.

"Aku ngerjakan asesmen topik satu. Terserah aja kalau dibagi" ujarku karena di desak.

"Kamu aja yang bagi" aku membelalakkan mata. Apa?? Menyuruh aku membagi tugas adalah menyuruh aku mengerjakan semua sendiri. Karena mereka tidak akan peduli apa yang menjadi tanggung jawab mereka.

"Kamu bagi aja lah buk. Aku hanya mengerjakan quiz. Males ah ngerjain yang lain" aku melimpahkan tugas pada Lia. Dazka mendekatkan diri ke arahku. Melihat layarku lalu berkata.

"Kalau malas ga usah dikerjakan. Kalau capek istirahat, jangan dikerjakan. Biar kali ini aku saja yang mengerjakan semua tugasmu. Kamu hanya perlu sabar menungguku menyelesaikan satu per satu" aku terkejut, curiga itu bukan Dazka. Aku tatap matanya. Tapi kali ini dia terdengar tulus. Tidak ada tawa seperti biasanya ketika dia bercanda.

"Aku serius, kamu hanya perlu sabar menunggu aku" ujarnya lagi. Aku tersenyum. Jujur kali ini aku luluh di hadapan Dazka. Sikap dinginku hilang entah kemana.

"Tumben sekali kau perhatian pada Azki" ujar Lia mewakili perasaan ku.

"Kamu kesambet apa Pak?" Aku masih tidak percaya pada sikap Dazka.

"Salah ta aku baik sama kamu Az? Salah aku berubah?" Aku lagi lagi tersenyum. Apakah dia masih Dazka yang sama?

Aku melihat ke arah jempolnya. Itu jempol yang aku bilang tugel (dalam bahasa Jawa tugel terpotong atau terpenggal) ketika dia mengabari bahwa dia kecelakaan dan ibu jarinya patah. Sejujurnya aku sudah penasaran mendengar sebab dia kecelakaan, ingin tau dia apa yang dibalut dibalik perban yang sebesar ukuran jempolnya. Aku ingin tau bagaimana dia membawa motor, dan lain sebagainya. Tapi karena kejadian itu. Aku urungkan semua rasa penasaran ku itu.

"Itu jempol kenapa ? Tugel beneran ?"

"Pukul ya kamu ini Az, ini patah bukan tugel"

"Yah kan patah dalam bahasa jawa adalah tugel"

"Hiii kamu itu ya pengen banget deh liat aku menderita" Dia beralih menghadap ke arahku lalu bercerita awal mulai dia kecelakaan karena membongkar sepeda trillnya hingga masuk UGD dan operasi. Dia juga menunjukkan gambar ibu jarinya jika tanpa perban dan bagaimana bentuk pen yang saat ini sedang menyambungkan tulang ibu jarinya. Kami tertawa bersama dan kebekuan itu sudah mencair. Kami kembali berbagi tawa dan canda.

***
"Nanti pulang kuliah mau ngopi ga?" Dazka menghampiri tempat duduk ku sebelum pindah kelas karena mata kuliah ini kami beda dosen pembimbing.

"Ngopi dimana?"

"Nanti aku kabari ya. Jangan pulang dulu nanti" aku mengangguk. Dia keluar, berganti kelas.

Dua jam berlalu, kelasku berakhir sedikit telat dari biasanya. Aku bergegas pulang dan merapikan barang bawaanku.

"Az, dicari Dazka tuh di bawah" aku terkejut Dazka belum pulang. Melihat Dazka dan Reyhan duduk di gazebo, Aku teringat kita punya janji, tapi hubungan ku dan Reyhan belum sehangat aku dan Dazka.

"Jadi ngopi?" Tanyaku

"Yah inikan menunggu kamu Azki. Masa mau dibatalin sih. Kita udah menunggu lama kamu keluar kelas" jawab Dazka.

"Dimana?" Tanyaku lagi.

"Di koneng ya, mau kan?" Aku mengangguk lalu kita jalan beriringan menuju parkiran dan melajukan motor bersamaan.

Seharusnya aku sadar ngopi bersama Dazka kali ini ditujukan untuk mengembalikan hubungan pertemanan aku dan Reyhan. Tapi alasan Reyhan menghilang tidak juga diungkapkan. Aku melihat Reyhan, mengamati sebesar apa rundung dukanya sampai dia menghilang begitu saja. Dia memang terlihat lebih pendiam. Tapi itu tidak menjawab pertanyaan ku.

"Jadi apa alasan kamu menjadi pendiam dan dingin kemarin-kemarin" bukannya bertanya apa Reyhan, Dazka malah mengajukan pertanyaan padaku. Aku bingung harus cerita dari mana. Tentang lukaku kah? Tapi dia sendiri tidak pernah tau aku tunangan.

"Mba ini good day freeznya dua, kopi hitamnya satu" mas mas penjaga kedai mengantarkan pesananku. Aku mengeluarkan uang dari dompetku sebelum akhirnya Dazka membayar lebih dulu dan mencegah tanganku.

"Lah kenapa? Aku mau bayar"

"Kali ini aku yang bayar" ujarnya lagi. Aku semakin melihat dia curiga.

"Tapi kan aku punya hutang ke om, dan aku janji kalau kita ngopi aku yang bayar" jawabku lagi.

"Jangan, uangnya Azki simpan. Biar om yang bayar" dia menepuk dadanya, seolah menunjukkan bahwa dia memang seorang om yang sedang mentraktir keponakannya.

"Baik lah om, terima kasih" jika dilihat-lihat terkadang kelakukan dia memang mirip om om ala sugar Daddy. Jika diingat pertama kali kita ngopi bareng. Dia juga bilang bahwa biaya aku di kedai selama bersama dia adalah tanggung jawab dia. Ah Dazka, kadang dia baik kadang pula sangat menyebalkan.

Dulu aku berusaha meredam perasaanku, tapi sekarang aku berusaha mencintai mu kembali Dazka. Apakah bisa? Setelah banyak luka, kecewa dan trauma. Apakah bisa?

Rintik Yang Tak Sempat HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang