6

1 0 0
                                    

Rasanya baru kemarin aku jatuh cinta dan patah hati. Tapi aku tak ingin mengingat tentang dia. Tentang kenangan manis bersamanya, atau tentang luka yang dia tanam sedalam akar boscia albitrunca. Jika diingat, kenangan tentang dia bukan kenangan yang begitu buruk. Hubungan kami terlalu singkat untuk sebuah ikatan yang erat. Tapi hatiku, pikiranku, semua tak sudih mengingat dia. Mungkin terlalu sakit, hingga aku lupa bagaimana rasanya jatuh cinta kala itu. Itu sebabnya aku tak ingin bercerita tentang dia.

Tapi mungkin kalian pasti penasaran tentang laki-laki itu. Siapa dia? mengapa aku mau dijodohkan dengan dia?

Dua tahun yang lalu, di momen lebaran bersama keluarga. Aku masih ingat betul pertanyaan yang dilontarkan beberapa kerabat padaku.

"Udah punya pacar belom?"

"Kapan menikah? Udah punya calon belum?"

"Sebentar lagi lulus kuliahnya, ga bawa calonnya ke rumah?"

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu saja dilontarkan layaknya kaset rusak yang nyala berulang kali. Akupun lelah menjawab satu persatu, sayangnya aku tidak merekam jawaban itu. Seharusnya aku rekam dan memutar rekaman jawabannya jika ada yang tanya. Kali ini paman yang aku anggap seperti ayahku pun ikut bertanya. Aku jawab sekaligus aku beri dia tantangan.

"Jangan tanya Mulu kapan nikah, langsung aja Carikan calonnya. Baru tanya kapan nikah". Mungkin seperti itu jawabanku. Tapi ternyata jawaban itu pula yang membuat pamanku punya keberanian menjodohkan aku.

Kabarnya pamanku mendatangi sepupu Abahku yang memiliki salah satu pondok pesantren. Tapi laki-laki yang diharapkan pamanku bisa menjadi jodoh ku sudah sold out sehingga aku tidak lagi diberi kabar tentang perjodohan itu. Dua tahun berlalu, aku lupa tentang perjodohanku. Ternyata paman kembali mengabariku dan mengabarkan siapa laki-laki itu.

"Aku punya calon jodoh buat kamu" ujarnya malam itu di rumah. Aku buru-buru pulang karena kabar aneh itu.

"Siapa dia? Dia sudah tahukah jika aku ingin menjadi PNS? Dia tahukah jika aku ingin tetap berkarir setelah menikah? Dia tahukah jika aku tidak bisa meninggalkan ibuku bahkan setelah berumah tangga?" Aku mengajukan sederet pertanyaan panjang itu karena berharap laki-laki itu tidak sanggup dengan syarat yang aku ajukan.

"Paman sudah diskusikan ini, dia baik. Dia Sholeh, keturunannya bagus, dia tidak merokok, dia tutur katanya baik, dia juga seorang guru, dan dia mengizinkan kamu tetap berkarir sebagai PNS" deg. Tak ku sangka dia menyanggupi semua itu. Aku mencari cela dimana aku bebas dari perjodohan ini. Apa yang harus aku ajukan lagi?

Untuk sekian lama, aku melihat mata ibu berbinar. Seolah bahagia anak gadisnya akan memiliki pasangan. Aku semakin bingung menatap semua orang. Pamanku, bibiku, ibuku, semua bersemangat untuk perjodohan ini.

"Jika Azki setuju, pertunangan ini akan dilaksanakan Minggu pagi" aku semakin terkejut. Apa ? Pertunangan ini dilaksanakan kurang dari tiga hari dari sekarang? Tunggu? Ini aku tidak diberi kesempatan untuk melihat wajah laki-laki itu? Aku tidak diberi kesempatan untuk bertemu?

"Ini Azki tidak boleh ketemu dia dulu? Ini langsung tunangan beneran?" Aku menyampaikan kerisauanku.

"Ketemunya pas tunangan aja ya, biar kuat ikatannya" tidak. Aku ingin memberontak.

"Tapi Azki, ada satu kurangnya laki-laki ini?" Aku tersenyum. Apakah kekurangan ini bisa menjadi alasan aku menolak perjodohan ini?.

"Apa paman?"

"Dia pernah gagal dalam pernikahan sekali" bagai disambar petir aku menerima informasi itu. Apa? Ini serius keluarga ku menjodohkan aku dengan seorang duda.

"Maksudnya dia duda?" Pamanku mengangguk. Aku menoleh pada ibu.

"Gapapa nak, ibu Ikhlas. Mungkin memang itu jalan jodohmu" tidak ibu. Tidak mungkin. Akhhh aku membutuhkan banyak waktu untuk berpikir tentang ini. Tidak semudah itu mengiyakan menikahi seorang duda.

"Ada banyak hal yang harus kamu pertimbangkan jika menolak perjodohan ini nak" seolah tau apa yang akan keluar dari mulutku, pamanku mulai menjelaskan dampak dan kutukan yang akan aku terima jika tidak patuh pada kyai dan keluarganya. Kebetulan laki-laki itu di rekomendasikan oleh sepupu Abahku yang punya pondok pesantren itu. Digambarkan pula contoh saudariku yang terkena kutukan itu. memang semua itu hidup menderita. Tapi apakah menerima perjodohan itu satu-satunya pilihanku?.

Setelah itu aku tidak menjawab. Tidak mengiyakan dan tidak juga menolak. Disisi lain aku tidak ingin dapat kutukan serupa seperti saudari ku yang lain. Di sisi lain aku tidak ingin menikahi duda. Jari manisku diukur untuk cincin pun aku diam. Aku hanya menerima foto laki-laki itu. Dan aku pandang dia tidak jelek-jelek amat untuk bersanding dengan ku.

Sejak malam itu, hingga malam menuju pertunaganku. Aku tidak lagi bisa beristirahat dengan tenang. Awan kegelisahan terus menutup langit-langit kamarku. Perasaan was-was, khawatir, dan trust issue tentang marriage is scary terus menggerogoti kedamaianku.

"Ibu yakin Azki bisa bahagia bersama laki-laki itu?" Di malam sebelum pertunangan ku itu aku memastikan lagi keputusan ibuku.

"Azki, dia laki-laki yang baik. Ibu kemarin baru saja dari rumahnya. Ibu memastikan perilaku dia dengan orang di sekitarnya. Dan ibu jatuh cinta pada tutur katanya yang sopan. Nak kali ini ibu yakin. Jika engkau menikah dengan dia, lahir dan batin mu aman"

"Tapi bagaimana dengan aku Bu? Aku takut kehilangan kebebasanku. Aku takut jika harus tinggal di pesantren mengikuti dia. Aku takut jika hanya boleh berkarir di dalam pesantren. Aku takut salah tingkah karena diperhatikan banyak orang Bu?" Aku mulai menitikkan air mata. Ibu hanya mendekapku erat.

"Jangan risau nak. Ibu jamin kamu tidak kehilangan kebebasanmu. Kamu tetap bisa menjadi Azki yang sekarang. Kamu tidak akan tinggal di pesantren. Kamu tinggal di sini bersama ibu. Kamu bisa berkarir di luar pesantren. Ibu sudah memastikan itu semua nak"

Perlahan keraguanku berkurang. Hal yang paling aku takutkan adalah kebebasanku hilang, dan ibu berani menjawab perihal itu.

Tuhan jika dia memang jodohku, hapuskan keraguanku dan ajarkan aku cara mencintainya. Tapi jika dia bukan jodohku tunjukkan aku caranya berpisah secepat mungkin

Rintik Yang Tak Sempat HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang