9

6 0 0
                                    

Ada perasaan sakit yang sulit dijelaskan, ada perasaan kacau yang entah dari mana. Desiran ombak itu terus menampar dinding hatiku, berat tapi belajar menerima tidak semudah yang aku bayangkan. Ternyata memiliki pasangan tidak semenyenangkan bayanganku. Aku tetap berteman sepi dan melakukan semua sendiri. Semua bayangan indah yang akan mengobati Inner child ku harus aku kubur dalam-dalam. Laki-laki yang dipilihkan keluarga sama sekali tidak romantis dan aku tidak merasa diperjuangkan. Dia sama sekali tidak punya inisiatif untuk mengenalku lebih jauh, dia tidak ingin berjuang untuk bertemu dengan ku. Dia sungguh menyebalkan. Setiap ingin ku selalu dibalas dengan dalih bahwa agama melarang laki-laki dan perempuan bertemu. Meski sudah ku bilang dia bisa menemui aku dan ibuku di rumah. Dan dia selalu bilang itu dilarang di keluarganya. Ibuku ikut geram. Bagaimana bisa laki-laki sekaku itu diidolakan keluargaku. Aku tidak punya kesempatan bertemu dengannya, aku tidak punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Aku benci batasan-batasan itu.

"Kita akan bertemu setelah kita akad nanti" hanya itu yang mampu dia ucapkan dan aku benci itu.

"Lalu kamu berharap aku punya perasaan cinta kepadamu? Yakin kamu bisa menjadi laki-laki yang baik untukku saja aku tidak bisa"

"Lalu bagaimana agar kamu bisa mencintaiku"

"Kamu tanya bagaimana? Untuk mengenalmu lebih jauh saja aku tidak diberi kesempatan. Kamu kira pertemuan pertama kita di acara pertunangan dan mungkin pertemuan kedua ketika akad bisa membuat aku mencintaimu?"

"Cinta itu bisa tumbuh setelah menikah, kita bisa lebih belajar mencintai setelah itu" bukan menenangkan dia malah mengucapkan kalimat yang sulit ku terima.

"Aku tidak yakin kamu bisa jadi pasangan yang baik untukku. Aku tidak yakin bisa menyerahkan seluruh hidup ku padamu nanti. Lalu kamu mau aku menyetujui akad nikah diantara kita? Segila-gilanya keluarga ku menjodohkan aku dengan mu tidak mungkin keluargaku memaksaku untuk segera akad dengan mu. Kamu tidak dengar ucapan pamanku? Semua yang berkaitan dengan pernikahan harus atas izinku. Jika aku saja tidak yakin bersamamu mana mungkin aku memberikan izin keluargaku untuk menikahkan aku"

Dia diam. Hening.

"Aku ke rumah mu sekarang" ujarnya setelah itu. Lalu aku menginformasikan kehadiran Arya pada ibu.

Aku dan ibu cukup terkejut dengan keberanian Arya mengambil keputusan itu. Ternyata dia berani melanggar aturan keluarganya sendiri. Entah mengapa aku puas dengan keputusan yang diambil Arya.

Ibu menyarankan aku untuk mengajak Arya keliling kampus. Alasannya agar Arya mengenal sedikit tentang lingkunganku. Aku menyetujui itu dan bersiap menyambut dia dengan sepeda Genio hitamku. Lalu ku lihat dia sudah seberang gang menuju rumahku. Aku langsung memberi isyarat dia untuk mengikuti sepedaku. Aku tidak ingin para tetangga ku heboh dengan kedatangan laki-laki di rumah ku.

"Mau kemana?" Ujarnya dari arah samping ku.

"Ke kampus ku ya?" Dia mengangguk. Lalu mengikutiku sepanjang jalan.

"Sudah sarapan?" Itu pertanyaan ku ketika kami sudah sampai di depan asrama ku.

"Belum"

"Yaudah kita sarapan dulu baru nanti kita tentukan mau kemana hari ini" dia mengangguk. Dia menyarankan untuk pergi dengan satu sepeda. Aku sedikit terkejut, bukankah lebih baik kita beda kendaraan jika tidak ingin melanggar aturan keluarganya lebih jauh. Tapi alasan tidak efisien untuk kita berdua membuatku menyetujui dia memarkirkan motornya di asramaku sementara kita pergi dengan motorku.

Setelah membeli sarapan aku mengajaknya ke lab merdeka di kampusku, itu semacam taman jogging track yang rindang dan banyak teman santai yang nyaman. Kita lesehan di gazebo sembari menikmati sarapan kami. Lalu di situ aku baru menyadari, ternyata dia tidak merokok yang seperti diucapkan pamanku. Aku terkejut dia mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya lalu merokok di hadapanku.

"Kamu merokok?"

"Iya, kenapa?"

"Kata pamanku kamu tidak merokok"

"Oh ya paman bilang seperti itu? Aku merokok tapi bukan yang setiap saat. Cukup sehabis makan" Terlihat jelas aku kecewa. Laki-laki yang aku idamkan bukan laki-laki perokok. Aku benci asap rokok.

"Kamu keberatan aku merokok?" Aku mengangguk.

"Aku sesak napas jika ada asap rokok" hanya itu jawabanku. Meski aku tau langka sekali menemukan laki-laki yang tidak merokok, tapi aku sangat ingin memiliki pasangan yang tidak merokok. Untuk kesehatan jantungku dan kesehatan mentalku. Aku cukup memiliki banyak pengalaman buruk tentang perokok di sekitarku.

"Kamu tenang aja, aku ga akan merokok di depanmu lagi. Aku akan menjauh ketika merokok" tapi tetap saja asap rokok itu menempel hingga baju. Dan aku tetap tidak suka itu.

"Tetap saja aku tidak suka, aku tidak bisa hidup sehat jika di dalam rumah ada seorang perokok" jawabku. Dia berjanji akan mengurangi rokoknya, tapi aku tidak percaya. Aku sangat sadar jika laki-laki tidak akan semudah itu berubah untuk pasangannya.

Satu persatu aku kehilangan wish list ku tentang suami idamanku. Dia sama sekali tidak ada di dalam sana. Terlebih dia bercerita banyak hal padaku. Entah ini perasaan bias atau tidak. Tapi seluruh cerita yang dia sampaikan hanya tentang bagaimana dia terluka, tentang dia korban atas kejahatan perempuan di masalalunya, tentang trauma berat yang membuat dia sakit. Tidak hanya cukup sampai di situ, dia sangat berharap aku menjadi obat untuk luka-lukanya. Bukannya prihatin aku semakin merasa semua itu aneh. Dia tidak seperti laki-laki yang ada di sekitarku. Biasanya laki-laki selalu berusaha menyembunyikan kelemahannya dan menunjukkan sisi tegar dan kuatnya. Tapi dia berbeda. Atau mungkin dia sudah menganggapku istimewa hingga dia menunjukkan sisi lemah itu. Tapi entahlah. Aku berkecamuk dengan pikiran ku sendiri.

"Jadi bagaimana?" Itu akhir dari ceritanya. Dia ingin aku menanggapi semua cerita-cerita tragedi itu.

"Jika kita fokus pada lukanya, maka kita akan terus terluka. Tapi jika fokus pada pelajarannya maka kita akan terus tumbuh"

Hanya itu yang mampu ku ucapkan. Mungkin bukan kalimat itu yang ingin dia dengar. Tapi entah mengapa aku tidak menyukai tipe manusia seperti itu. Memang tidak semua kondisi mental manusia itu sama. Tapi aku termasuk jenis manusia yang mudah belajar dari kesalahan dan menjadikan rasa sakit itu pelajaran. Memang tidak sepenuhnya aku seperti itu. Tapi itu sisi ego aku tidak ingin menunjukkan kelemahan ku pada manusia lain.

"Ayo kita ke mall, ada banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu" melihat dia termenung lama aku bergegas mengajaknya pergi dan melupakan semua kesedihan yang kita bagi tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rintik Yang Tak Sempat HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang