7

0 0 0
                                    

Minggu, 27 April 2024

Pagi itu aku terbangun dan mendapati seisi rumah ramai. Semua orang datang berdatangan mengantar makanan. Ada yang sibuk bebersih, ada juga yang sibuk menghias diri. Semua orang sibuk pada pekerjaan masing-masing. Sementara aku sibuk bertarung dengan pikiranku. Aku, perempuan aktivis yang selalu berusaha memperjuangkan keadilan kini tak mampu memperjuangkan keinginan sendiri. Lebih dari itu, aku mengunci diri di kamar, memperhatikan Dazka dalam layar gawai ku. Wajahnya yang tegas itu, sikapnya yang humoris dan membuat ku nyaman. Aku justru berharap Dazka adalah laki-laki itu. Perasaan yang baru tumbuh enam bulan ini harus aku tebas karena perjodohan gila ini. Oh Dazka, aku bahkan tidak berani mengabarimu hanya untuk sekadar perpisahan pada perasaanku. Pertunangan ini tidak seperti dalam bayanganku. Semua terjadi begitu cepat dan sangat sederhana. Tidak seperti orang lain. Pertunangan ini tidak ada foto bersama kedua mempelai. Tidak ada juga foto keluarga. Lebih dari itu pertunangan ini hanya didatangi keluarga intiku dan keluarga inti laki-laki itu.

Lebih anehnya lagi, sungguh tak pernah ada dalam bayanganku jika pertunagan ini dilaksanakan secara terpisah. Keluarga laki-laki ku bertemu keluarga laki-lakinya. Dan keluarga perempuan ku bertemu keluarga perempuan laki-laki itu. Bahkan aku tidak bisa leluasa melihat laki-laki itu. Laki-laki yang katanya sangat mencintaiku.

Sepanjang hari aku memaksakan diri tersenyum seolah bahagia hari ini hari pertunanganku. Semua keluarga perempuan dia sibuk memotret diriku, sibuk bertanya tentang diriku, sibuk memerhatikan aku. Sementara aku tidak sekalipun punya kesempatan mengulik hidup laki-laki itu. Bahkan aku tak punya kesempatan melihatnya lebih lama. Kami hanya berpapasan sekilas saat dia menyalami keluargaku. Sungguh aku ingin acara ini cepat-cepat berakhir.

Setelah memasang cincin di jari manisku. Setelah semua obrolan itu habis tak terdengar, akhirnya mereka pamit pulang. Aku bergegas kembali ke kamar setelah menyalami semua keluarganya.

Diam-diam aku melihat ke seserahan yang diberikan dari pihak laki-laki. Tidak ada yang istimewa, bahkan semua benda itu tidak ada yang sesuai lifestyle ku. Ah mungkin karena tinggal di desa, itu sebabnya tak tahu fashion remaja kota sepertiku. Aku merebahkan diri di kasur hingga ibuku datang menghampiriku.

"Jam berapa balik ke asrama?" Tanyanya. Iya aku harus segera balik asrama karena besok aku harus berangkat pagi. Terlalu jauh jika aku berangkat dari sini. Rumah kakekku.

"Habis dhuhur-an aja Bu" ujarku. Ibu duduk di sebelahku, mengawasi cincin yang kebesaran di jari manisku.

"Cincinya kelihatan jadul ya?" Seolah ibu tau isi hatiku saat melihat cincin yang tebal dan terlihat kuno itu.

"Iya Bu gapapa ko" ujar ku asal.

"Barang yang kamu suka kamu ambil, yang ga suka ditinggal di sini saja" aku menoleh pada ibu. Ternyata ibu tau barang seserahan itu tidak ada satupun yang sesuai seleraku.

"Nanti Azki lihat ya, kalau bajunya pas dan bisa dipakai ntar Azki pakai" ujarku. Tapi ibu justru membawakan semua barang-barang itu dan menyuruhku melihat sekarang.

Aku buka satu-satu setiap kotak itu. Satu-satunya barang yang cukup untuk ukuranku hanya sandal pink jadul itu. Selain itu semua baju seukuran ibu. Bukan hanya itu bahkan aku tau semua pakaian itu di bawah seratus ribu dari bahannya. Aku kecewa. Tapi aku berusaha menenangkan ibu yang terlihat lebih kecewa daripada aku. Jika dilihat keluarga mereka dari golongan berada, bahkan kelas sosialnya ada di atas keluarga kami. Tapi kenapa barang-barang yang diberi ini seolah tidak menghargai kami. Bahkan jika kata ibu mungkin baju-baju itu tidak beli dan asal ambil barang yang sudah tidak dipakai.

"Azki ambil kerudung ini ya Bu?" Aku harap dengan begini ibu masih bisa melihat bahwa ada barang yang aku suka.

"Buat apa kamu nak? Ini bahannya jelek. Lagi pula ini tidak sesuai seleramu" ibu tau meskipun aku jarang sekali membeli pakaian tapi ibu tau semua pakaianku dari brand ternama.

"Gapapa Bu, nanti bisa aku jadikan syal" candaku. Ibu terus mengomel perihal barang seserahan itu. Sedikit menanamkan rasa sesal aku hadir di pertunangan ini.

Aku merapikan seluruh barang bawaanku dalam tas, memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal. Ibu turut membantuku menyiapkan bekal makanan yang kata ibu buat nanti makan malam di asrama. Aku mengangguk saja. Tentu seorang ibu selalu repot membawakan bekal untuk kepergian anaknya.

Ternyata adzan dhuhur sudah berkumandang, setelah sholat aku bergegas pamit ke semua kerabat untuk kembali ke asrama. Tidak sedikit yang heran, kenapa aku buru-buru balik setelah acara.

"Setelah pertunangan ini aku harus apa paman?" Tanyaku pada paman yang sedang memanaskan mobil. Katanya keluargaku setelah ini akan pergi takziah ke paman keluarga tunanganku.

"Setelah ini kamu dibebaskan mau ngapain aja. Boleh chatingan, boleh main bareng atau apapun yang kamu mau" aku tersenyum. Apa itu artinya sebentar lagi aku bisa merasakan fase pacaran seperti teman-teman ku?. Meski pertunangan ini tidak memberikan kesan yang baik untukku, setidak mungkin setelah ini aku mendapatkan kenangan baik dari laki-laki itu.

Aku baru teringat jika aku tidak memiliki kontak tunanganku. Aku teringat jika aku memiliki kontak saudara perempuan laki-laki itu. Aku menghubunginya untuk meminta izin berkomunikasi dan meminta kontak saudara laki-lakinya. Tapi jawaban yang ku terima tidak sesuai prediksiku.

Rintik Yang Tak Sempat HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang