Waktu bergulir begitu cepat hingga kini hampir tiga minggu Zila tinggal berdua dengan suaminya, Levin di sebuah pavilium mewah yang terletak tengah kota. Meskipun kepindahan ini harus diwarnai berbagai percekcokan, pada akhirnya Zira mengalah mengikuti kemauan suaminya yang bekerja sebagai CEO perusahaan penyiaran yang termasuk ke dalam big 3 perusahaan terbesar di negara ini.
Seperti biasa, Zila menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dari pengusaha sukses itu. Pagi buta ia telah terbangun hanya untuk menonton televisi kemudian biasanya ia akan ketiduran di sofa depan televisi. Memang tak seperti seorang istri kebanyakan, Zila tergolong pemalas apabila disandingkan dengan istri pada umumnya. Namun untuk ukuran istri seorang kalangan atas, Zila tergolong rajin karena ia masih mau bangun pagi dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah meskipun tidak diminta oleh suaminya.
"Mas, kok pagi banget berangkatnya? Baru juga jam 5." Zila memperhatikan suaminya keluar dari kamarnya menenteng sebuah jas dengan kemeja biru muda yang telah ia kenakan.
Oh iya for your information, semenjak insiden malam pertama saat amarah besar Levin meluap, keduanya akhirnya memutuskan untuk tinggal di bawah atap yang sama namun masih memiliki dinding pemisah. Yap, kamar mereka terpisah.
Wanita itu memutar bola matanya malas begitu menyadari suaminya masih saja tak menggubrisnya. Levin malah sibuk memasang kancing lengan kemejanya dan seolah tak menyadari ada manusia lain di sekitarnya.
"Lebih seneng ngobrol sama kipas angin ada geleng-gelengnya daripada ngobrol sama suami batu yang entah punya telinga apa nggak," gerutu Zila meraih sebuah remot kemudian duduk bersandar pada sofa.
Dari tempatnya, Levin melirik sejenak istrinya yang sudah terfokus pada acaranya. Helaan napas meluncur dari mulutnya. Tanpa sepatah katapun terucap, Levin melengang begitu saja menuju pintu keluar.
Zila menoleh begitu mendengar langkah kaki di belakangnya. Dengan mengerucutkan bibir ia mencibir suami dinginnya itu. "Dasar punya suami gini amat. Tinggal cuma berdua yang satu kayak manekin hidup."
Baru juga ia selesai menggerutu perihal suaminya, tiba-tiba Levin berbalik. Ia menatap Zila dengan mata berkilat. Tenggorokan Zila mendadak kering begitu melihat manik abu suaminya itu menatapnya dingin.
"Ada apa?" cicit Zila setengah takut.
Levin mengangkat jam tangannya melihat jam kemudian kembali menatap istrinya. "Jam 8 akan kujemput. Temani aku menghadiri pernikahan kolegaku," perintahnya masih dengan suara dingin tanpa minat.
Zila berdecih lantas membuang muka.
"Kamu masih menganggapku ada rupanya," sindirnya dengan rasa takut yang mulai memudar.
"Aku tidak mau ikut denganmu!" tolaknya melirik suaminya dengan pandangan menyipit."Pastikan kau sudah bersiap. Kalau tidak, aku tetap akan menyeretmu meski kau hanya menggunakan piyama kekurangan bahan itu," ucap Levin dengan lugas. Ia lantas membalikkan badannya kembali berjalan keluar rumah.
Sedang Zila, ia memukul-mukul bantal kursi yang ada di pangkuannya. Nampaknya ia sudah gatal ingin mengubah tatanan ekspresi suaminya. "Haiyeeh rasanya pengen tak bejek-bejek. Dasar pemaksa!"
Kembali ia mencibir, namun setelahnya ia celingukan memeriksa suaminya takut kembali lagi seperti sebelumnya.
Seperti yang telah Zila utarakan, Levin yang kini berstatus sebagai suaminya membuat kehidupannya berubah total. Usai pertengkaran hebat pada malam pertama, ia beranggapan jika Levin pasti akan memperlakukannya lebih kasar karena telah membuat kesalahan besar. Tapi nyatanya justru pada malam itu terakhir kali Zila mampu melihat sosok Levin dengan ekspresinya.
Pasalnya semenjak Levin kelepasan meluapkan emosi kepadanya, suaminya itu berubah menjadi pendiam bahkan selama mereka tinggal bersama, suaminya itu terkesan menghindar dan mengabaikan kehadirannya.
Baru kali ini saja suaminya berbicara dan merespon dengan begitu panjang lebar."Kalo ada perlu aja baru ngomong, dasar suami musiman."
***
Deru mesin mobil terdengar berhenti di depan sebuah pavilium bercat hitam putih. Suasana pavilium itu nampak sepi, hanya ada beberapa petugas taman dan asisten rumah tangga saja yang terlihat sibuk mengerjakan pekerjaannya masing-masing.
Seorang pria keluar dari mobil itu dan segera disambut hormat oleh pekerja rumahannya.
"Bi, Zila lagi ngapain sekarang?" tanyanya sembari melepas fantofelnya hendak memasuki rumah.
Seorang wanita paruh baya yang tengah mengepel pun bergeser mendekat dan berbisik. "Nyonya masih tidur, Tuan, kayaknya tadi sempet uring-uringan waktu membongkar isi lemarinya."
Levin menahan sudut bibirnya agar tidak tertarik ke atas. Ia lantas mengangguk-ngangguk. Dari ekor matanya ia melirik ke arah sofa ruang tengah di mana ada tubuh mungil istrinya berbaring. Kemudian dengan langkah lebar ia mendekati keberadaan isterinya.
"Bukankah sudah kubilang jam 8 akan kujemput dan kamu harus sudah bersiap!"
Suara lantas Levin yang sengaja buat sedikit tinggi itu mampu menggugah tidur cantik Zila. Dengan setengah sadar ia mengucek matanya dan mengerjap perlahan. Dan ketika kesadarannya telah kembali, matanya melebar melihat suaminya ada di depannya.
"Loh udah pulang? Aku masih itu—"
Ucapannya terpotong begitu melihat pandangan suaminya tertuju pada badannya.
"Apa yang kau lihat?!" pekik Zila menutupi tubuhnya yang masih mengenakan piyama yang sama.
"Kau sepertinya sangat menyukai piyama itu ya?"
Piyama yang Zila kenakan ialah piyama berbahan katun dengan lengan singlet dan bawahan di atas lutut. Tentu maksud Levin kekurangan bahan adalah karena sepengetahuannya piyama wanita tak jauh beda dengan piyama pria yang berlengan dan bercelana panjang.
Mata Zila membulat menyadari suaminya berjalan mendekat. Seketika ia baru teringat ucapan suaminya pagi tadi.
"Hey tu–tunggu ak–aku akan berganti dahulu oke?"
Zila terus memundurkan langkahnya sembari mengulurkan tangan dalam posisi mendorong memberi isyarat agar suaminya itu berhenti mendekat.Tapi sayangnya Levin tak ingin mendengar, mimik wajahnya berubah sumringah. Lagi-lagi seperti yang pernah ia lakukan kepada Zila, ia menggendong istrinya bak karung beras.
"IYAKKK HEYY LEPASKAN AKUU!!!"
Zila terus berteriak memberontak dengan memukul-mukul suaminya untuk memintanya berhenti, namun sayangnya dengan ukuran tubuh mungil Zila, tenaganya tak cukup untuk membuat Levin merasa kesakitan.
"KUMOHON HEYY IZINKANKU UNTUK BERGANTI PAKAIAN LIMA MENIT SAJA!!!"Ia semakin panik ketika suaminya benar-benar menggendongnya dan membawa keluar. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran suami gilanya itu yang nekat membawanya keluar memasuki mobil dengan piyama berlengan dan bercelana pendek bahkan ketika banyak pekerja lelaki yang ada di luar rumahnya.
Bughhh
Pintu mobil tertutup sempurna dengan Zila yang didudukkan di kursi penumpang. Zila hendak kabur membuka kembali pintu mobil, namun terlambat Levin telah terlebih dahulu memasuki mobil dan menguncinya.
"Hey! Tolong apa kau benar-benar ingin mempermalukanku?!!"
Napas Zila semakin memburu melihat suaminya itu benar-benar menyalakan mobil dan ia nyaris menangis ketika mobil yang ia kendarai mulai melaju meninggalkan rumah.
"SADARLAH! Kau lupa jika aku ini masih istrimu, Mas?!"
Bentakan dan jeritan Zila di dalam mobil nyatanya tetap saja membuat Levan bungkam. Ia sama sekali tidak terusik dengan suara tinggi istrinya. Matanya masih terkunci pada ramainya jalanan dan tangannya masih fokus pada kemudianya.
"LEVIN SIALAN! BAWA AKU PULANG!!!"
#ToBeContinued
Lanjut?
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan
Vote dan comment
-18 Sept 24-
KAMU SEDANG MEMBACA
Tersakitinya Hati Istri Pengganti
Romance"Mas, kalau kamu tahu aku bukan orang yang terlibat insiden yang menjadi alasanmu menikah, apakah kamu akan langsung menceraikanku dan membebaskanku begitu saja?" Pertanyaan itu terus berputar di benak Zila. Sudah lebih dari 3 bulan wanita itu dinik...