cerita ketiga : permulaan

29 3 1
                                    

National University Of Music and Art. Salah satu universitas yang menjadi tempat untuk Mark dan semua kawannya belajar. Disinilah semuanya bermula. Ketika niat Mark untuk membanggakan dan membuktikan pada dirinya sendiri dengan perjuangan tanpa henti. Mark ini berasal dari negara yang jauh, Kanada. Dia hidup dengan ibu, ayah, dan kedua kakak laki-lakinya.

Ibunya menikah dua kali dan kakak laki-laki Mark juga bukan saudara kandungnya. Tapi Mark sudah menduga Haechan tidak akan pernah mengetahui cerita ini karena Mark berpisah dengan Haechan saat adiknya masih bayi.

Narandazka ingin mengasuh Haechan, hanya Haechan tanpa mempedulikan Mark dan ibunya.

Dari nasib itulah Mark memutuskan untuk datang dari jauh dan mengadu nasib sekaligus ingin bertemu dengan ayah kandungnya, itu kalau bisa. Mark hanya ingin mengatakan padanya kalau anak dan istri yang sudah dia buang kini telah bahagia dengan keluarga yang sesungguhnya.

Mark kembali ke rumahnya dengan parasaan yang aneh. Setelah melihat interaksi Haechan dan Narandazka sepertinya Mark tidak perlu melakukan apapun lagi. Biarlah Haechan tidak tau kalau Mark adalah kakak kandungnya.

***

"Kau sudah makan? Bagaimana kuliahmu?"

Chenle menyantap cemilannya lagi sebelum menjawab pertanyaan ibunya yang sedang dalam perjalanan bisnis untuk kesekian kalinya.

"Sudah, Ma. Kuliahku masih sama saja. Tapi aku janji akan tampil bulan depan" jawab Chenle yang masih mengunyah.

"Ketika kau tampil nanti, Mama dan Papa akan pulang"

"Tidak perlu berjanji, Ma. Orang tua yang sibuk itu bagus" jawab Chenle dengan nada yang santai.

"Baiklah. Jaga kesehatan Chenle"

"Iya. Mama dan Papa juga"

Karena Chenle memang sudah terbiasa sejak kecil hidup sendiri dengan orang tua yang selalu mencari uang maka dia tidak pernah bersuara atau mengucap bahwa ia kesepian.

Chenle tau betul bagaimana kerasnya perjuangan Mama dan Papanya hingga dia bisa menikmati kenyamanannya yang sekarang. Baginya, memusingkan hal sepele seperti kesepian, kurang kasih sayang karena Mama dan Papa bekerja, atau merasa sendiri itu sangat membuang waktu. Chenle tidak butuh itu.

Setelah selesai dengan cemilannya dia melangkah menuju ruang latihan yang ada di rumah 18 lantainya. Di rumahnya sendiri pun dia masih bisa berlatih koreografi dan vokal indahnya. Chenle memang hidup dalam kesempurnaan.

***

Jaemin dan Jeno. Mereka berdua sedang sibuk dengan ponsel masing-masing. Hidup si kembar ini bisa dibilang mudah tapi juga agak sulit. Setelah mereka diadopsi oleh Umi dan Abi mereka segalanya mulai berubah. Jeno dan Jaemin tidak lagi merasa ada kasih sayang yang hilang atau merasa seperti anak yang dibuang.

"Nana, Jeno. Makan dulu" teriak Umi dari ruang makan mereka. Tanpa berfikir atau membuang waktu Jeno dan Jaemin langsung menuju ruang makan.

"Ini untuk Nana dan ini untuk Jeno" ucap Umi sambil menyodorkan piring pada mereka.

"Terima kasih, Umi" balas Jaemin dan Jeno hampir bersamaan.

"Udah pada sholat belum?" Tanya Abi dengan suara berat dan tatapan tajam tapi juga masih lembut pada kedua anaknya.

"Sudah" jawab Jaemin dan Jeno lagi-lagi hampir bersamaan.

"Sholat apa?" Tanya lagi Abi yang memastikan.

"Isya" jawab Jaemin dengan mudahnya.

"Lain kali lebih tepat waktu sholatnya. Dikampus juga. Sesibuk apapun jangan tinggalkan sholat!"

DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang