Jisung tau-tau sudah berada di kosan Mark dengan beberapa kaleng minuman soda dan cemilan yang dia bawa. Mark sudah paham jika semua sahabatnya datang padanya berarti ada masalah pada mereka.
"Mau sampe kapan berantem sama nyokap, Jisung?" Tanya Mark sambil memutar kaleng soda dan memperhatikannya sesaat.
"Kesel aja, Bang. Yang dibela si Johan terus" jawab Jisung spontan. Jisung lanjut untuk memakan keripik kentangnya sambil meluapkan kekesalan.
"Mama tuh ga pernah peduli, Bang. Kuliahku. Kondisiku. Kematian bokap. Ga ada yang mama peduliiiiiiin. Dari dulu kerja terus sampe sekarang udah nikah dua kali masih kerja terus. Kayak semua di dunia ini tuh harus bisa mama bayar. Padahal kan ga semua yang gue mau itu bentuknya barang!" Oceh Jisung yang benar-benar hanya bisa dilihat jika anak itu sedang kesal atau hatinya sedang tidak baik.
Mark mendengarkan dalam diam tetapi hatinya mulai paham kemana arah penjelasan Jisung. Kalau Jisung sudah menyebut 'Abang' pada dirinya atau yang lain maka itulah saatnya Jisung butuh didengarkan dan ditemani.
"Apa wajar, Bang? Ada pekerja meninggal, nih. Pas ada pembangunan proyek. Meninggalnya juga kejatohan material dari atas. Terus kebetulan bosnya itu nikahin istri dari pekerjanya yang meninggal itu. Pas tuh pekerja meninggalnya baru 3 bulan lalu!" Jisung tanpa sadar meremat kaleng soda yang sudah kosong diminumnya.
"Gue juga yakin nyokap selingkuhin bokap gue pas masih hidup" ucapan Jisung yang pelan itu membuat Mark menoleh padanya.
Kisah Mark dan Jisung hampir sama. Bedanya tidak ada perselingkuhan diantara kedua orang tua Mark. Mereka hanya berpisah demi diri mereka sendiri. Mark juga bisa paham kenapa Jisung menolak keberadaan Johan. Mark pun juga belum bisa menjamin apakah dia bisa menerima Haechan dalam hidupnya meski sebagai teman.
"Kita ga tau apa yang dirasain sama orang tua kita, Jisung. Tapi lo pasti juga paham nyokap lo juga kehilangan bokap lo" ucap Mark dengan suara pelan dan menenangkan.
"Ngga mungkin, Bang-"
"Dengerin gue dulu" titah Mark masih dengan suara yang menenangkan. Jisung pun tidak tersinggung karena ucapannya terpotong.
"Nyokap lo cuma pengen lo dewasa dan tau harus berbuat apa di situasi kayak gimana. Suka ga suka lo harus terima, Jisung"
"Tapi gue ga bisa lupain kematian bokap, Bang!" Kekeuh Jisung kali ini dengan dua bola mata yang berkaca-kaca.
"Sebutan anak yang kehilangan ayahnya, Yatim. Kalo anak yang kehilangan ibunya, Piatu. Tapi ga ada julukan atau panggilan atau kata-kata apapun yang dijadiin istilah saat orang tua kehilangan anak. Karena ga akan bisa menggambarkan rasa sakit itu, Jisung"
Jisung memperhatikan wajah Mark yang tenang dan juga dewasa itu sambil menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Padahal dia punya sahabat sekaligus kakak yang seperti ini tapi Jisung justru tidak pernah belajar darinya.
"Nyokap lo juga kehilangan, Jisung. Dia ga mau kehilangan lo setelah kehilangan bokap lo. Soal kematiannya, gue yakin bakalan ada jalan buat tau itu semua. Tapi itu nanti, Jisung. Sabar dulu", Mark mengusap sambil memijat srfikit bahu Jisung yang sejak tadi mengeras.
"Makasih, Bang"
"Hm" balas Mark sambil mengangguk cepat.
"Bang Renjun, apa kabar?" Tanya Jisung sesaat setelah ia kembali menyantap cemilan dan meminum sodanya.
Kali ini wajah Mark yang terlihat murung. "Renjun terus menerima komentar buruk. Kemarin ada yang melempar batu ke rumahnya jadi sekarang dia tinggal di rumah lain tapi masih deket kampus. Gue pun ga tau kenapa orang-orang nyerang dia hanya karena dia ga pantes ada di grup kita"
![](https://img.wattpad.com/cover/376547263-288-k33942.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM
FanfictionSekumpulan pemuda yang terlihat baik-baik saja tapi tersimpan banyak dalam hidup mereka. Walaupun persahabatan mereka semakin erat tetapi kemungkinan untuk menjauh juga semakin besar. Hal yang mampu membuat mereka bertahan selama ini adalah ego mas...