cerita keenam : Mark bertemu ayahnya

8 0 0
                                    

Lagi-lagi hujan membasahi kota. Hujan kesukaan Mark selalu menemaninya saat didalam bus menuju rumahnya. Disampingnya tentu Haechan yang sudah beberapa minggu menjadi kawannya ketika pulang pergi kampus.

"Mampir dulu kali di rumah gue. Lebat banget nih ujannya" tawar Haechan dengan suara cerianya.

"Ngga. Gue pulang aja" tolak Mark halus.

"Pulang ke rumah gue kan?" Tanya Haechan yang menggoda sekaligus menawarkan lagi ajakannya.

"Ya udah deh" ucap Mark akhirnya mengiyakan.

Diperjalanan jantung Mark sudah berdegup kencang dan saat menginjak lantai rumah Haechan detakannya semakin terasa. Seakan jantungnya itu mau keluar dari dadanya.

"Ada siapa, Chan?" Suara bariton itu langsung membuat Mark dan Haechan menoleh cepat.

Papa? Ucap Mark dalam hatinya. Tidak salah lagi dialah orang yang Mark cari. Mark tidak akan lupa garis wajah ayahnya sendiri meski dia sudah menua.

"Temenku. Mark, ini ayah. Ayah, ini Mark"

Narandazka menjabat tangan Mark begitu juga sebaliknya.

"Wajahnya seperti bukan asli dari ras sini"

"Dia bule, Yah"

"Oh ya? Jadi, ibumu di luar negeri?"

Mark mengangguk dengan tatapan yang masih terkunci pada Narandazka. Dia sudah sedekat ini dengan ayahnya tapi kenapa Mark tidak bisa memeluknya?

"Kebetulan hari ini banyak makanan, Mark. Ayo ikut makan malam bersama kami" ajak Narandazka yang spontan merangkul bahu Mark. Disaat ini Mark berharap waktu bisa berhenti sebentar.

"I-iya. Terima kasih" jawab Mark yang merasa senang dan terkejut secara bersamaan.

Makan malam itu hanya ada Narandazka, Siska atau istri dari Narandazka, lalu Haechan dan Mark. Kalau saja ada ibunya juga Mark pasti sudah merasa seperti di rumahnya sendiri.

"Jadi, ayahmu juga di luar negeri, Mark?"

Mark memutar sendoknya sebentar dan melamun sesaat sebelum menjawab, "Iya" jawab Mark singkat.

"Haechan tidak menyusahkanmu, kan?"

Mark melirik Haechan sebentar yang tiba-tiba merubah wajahnya sedikit merajuk pada Mark. "Tidak, Om. Dia justru jadi moodbooster kami" jawab Mark yang memang kenyataan.

"Tapi kalau di rumah, dia tidak bisa dikalahkan. Abangnya yang selalu maklum sama sifatnya"

"Ya, saya pun juga kadang kayak gitu, Om" balas Mark yang iseng.

"Oohhh, begitu? Terima kasih, terima kasih!!" Balas Haechan dengan wajah kesal. Mereka pun tertawa riang karena Haechan yang terus kesal.

Suara tawa itu hening sesaat lalu sebuah helaan nafas datang dari Narandazka, "Mark" jeda sesaat diantara mereka semua. Narandaka untuk sekali lagi menarik nafas panjang lalu melanjutkan, "Kenapa tidak bilang kalau ayah kamu ada disini?"

Pertanyaan yang harusnya bahkan tidak terfikir oleh Mark masuk ke dalam telinganya. Mark tidak percaya. Jadi, Haechan sudah tau semuanya?

"Menurut lo kenapa gue tiba-tiba pindah ke universitas musik?" Tanya Haechan pada Mark yang masih memasang wajah terkejutnya.

"Jadi, apa kabarmu? Bagaimana kabar ibu juga, Mark?" Tanya Narandazka sambil meletakan sendok dan sumpitnya. "Maaf karena baru sekarang ayah bisa menemukanmu. Itu pun dengan bantuan Haechan" usapan lembut Narandazka pada Mark semakin membuat anaknya itu susah menahan air mata.

"Gue seneng lo ternyata abang gue. Kalo boleh gue juga mau ke Kanada ketemu nyokap" kata Haechan.

Mark menoleh pada Siska yang juga ibu tirinya, "Kami semua ingin mengunjungi rumahmu, Mark. Sekaligus meminta maaf untuk semuanya" kata Siska.

"Tapi Mark pasti tau kalau ayah akan meminta pada ibumu untuk berpisah saat pergi kesana. Tapi ayah akan membuat kondisinya tidak akan terlalu menyakitkan" ujar Narandazka yang sudah menjelaskan lebih dulu tujuannya.

"Tidak apa-apa. Sebenarnya ibu juga pasti mengerti. Dia juga ingin lepas dari statusnya saat ini" jawab Mark dengan anggukan halus.

"Sungguh? Dia mau meninggalkan ayah?" Tanya Haechan dengan mulut masih mengunyah nasi.

"Hm. Ibu ingin menetap di Kanada jadi kalau memaksa terus bersama ayah itu tidak mungkin. Aku pun juga tidak terlalu mengharapkan pengakuan akan orang tuaku. Mereka berdua sudah cukup berjuang membesarkanku. Hal yang semacam pengakuan rasanya seperti memberatkan langkah untuk masa depanku" jawab Mark yang tanpa sadar menggunakan bahasa baku pada Haechan.

"Haechan itu adikmu, Mark. Bersikaplah lebih santai padanya" tegur Siska dengan senyuman.

"Baik" jawab Mark mangangguk. Mark melanjutkan makannya dengan menyuap nasi ke dalam mulut.

"Hey Mark!" Panggil Haechan yang membuat Mark membeku dengan sendok yang masih diantara giginya tetapi kedua matanya membola melirik pada Haechan.

"Kau benar-benar anak yang sangat baik" puji Haechan yang tidak dibalas apapun oleh Mark.

"Baiklah. Kalau begitu kabari ayah kalau kalian sudah libur. Kita semua akan pergi ke Kanada" ucap Narandazka.

***

"Terima kasih sudah mengundang saya makan malam di rumah ini" Mark membungkuk sempurna dihadapan ayah dan istri ayahnya atau ibu tirinya. Bagi Mark makan malam, suasana, dan apapun yang ada didalam rumah itu sungguh hangat dan membahagiakan.

"Datanglah kapanpun, Mark" titah Narandazka yang diiyakan oleh Mark.

"Hati-hati dijalan" pesan Siska yang juga diiyakan oleh Mark.

"Sampai bertemu di kampus, Leader kami!" Haechan memberikan gestur hormat sebelum Mark melangkah meninggalkan gerbang menuju halte bus terdekat.

Dalam setiap langkah Mark hatinya berucap sedih. Kenyamanan dalam rumah itu adalah harapannya setiap hari. Candaan dan obrolan saat makan malam dengan keluarga lengkap seperti itu adalah impian Mark yang menurutnya tidak akan terwujud.

Aku tidak ingin pengakuan
Aku tidak butuh pengakuan
Aku bisa sendiri
Aku kuat
Aku bisa melewati ini semua
Aku hanya perlu bekerja keras

Mark terus berseru dalam batin untuk mengusir kesepian yang selama ini memenuhi dirinya. Mark hanya perlu sukses dan bahagia dengan usahanya sendiri. Itu saja.


-Dream-

DREAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang