dua puluh tiga

1.5K 56 2
                                        

Area 17+

Gadis itu membuka pintu rumahnya. Tubuhnya masih basah disertai hujan tadi, wajahnya sangat pucat. Sesekali terlihat flu, lalu terbatuk sesekali. Seperti ia akan segera sakit, mengingat lumayan lama dirinya kehujanan tadi.

"Sudah pulang ?" Nada tajam itu ia dengarkan dari aska—kakaknya.

Allesia tertegun, bukannya tadi pagi ia dengar aska akan pulang larut malam. Tapi kenapa sore ini aska sudah menampakkan dirinya. Atau dialah yang salah terima informasi, aska memang sangat sulit ditebak.

"Kakak." Ucap gadis itu lemas, mungkin kakinya akan roboh sebentar lagi.

Aska berjalan pelan kerahnya. "Kau—masih ingat pulang allesia ? "

Gadis itu mengangguk. "Masih, tadi aku bertemu temanku sebentar—," ucapannya terputus kala aska dengan cepat menyela perkatannya.

"Teman. Kau berciuman dengan temanmu ? "

Gadis itu gemetar, sungguh tak pernah ada dibenaknya aska akan tau secepat ini. Dan bahkan dia tak bisa mengelak apa yang kakaknya katakan.

"Orang yang kau sebut teman itu—apa aku bisa menyebutnya temanmu, sedangkan hal yang kalian lakukan lebih dari itu, atau memang kau yang semurah itu ?"

"Tidak, aku rasa kakak salah paham."

Aska menarik gadis itu mendekat—mencengkram kedua lengan itu dengan kedua tangannya, kuku-kuku panjangnya menancap pada lengan mulus itu. "Bagian mana yang membuatku salah paham, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Tak salah—kau dan ibumu sama-sama wanita murahan."

Tangan kasarnya mencengram wajah itu kuat, "Kau—tak perduli seberapa keras aku melarangmu. Kau tetap melanggarnya, aku benar ?"

Gadis itu menggeleng, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menjelaskan namun rasanya sangat sulit sekali.

"Aku bukan wanita seperti itu meskipun kakak sangat membenciku."

"Aku memang sangat membencimu! Sampai aku mati akan terus benci kepadamu! Dan hal bodoh yang kau lakukan hari ini itu adalah hal yang paling kubenci! " teriaknya didepan wajah pucat gadis itu.

Aska melirik rambut gadis itu yang masih basah, mengingatkannya pada kejadian yang dilihatnya sore tadi. "Kalau kau tau, aku bahkan bisa membunuh pria itu sekarang juga. Atau jangan-jangan kau berfikir dia akan menyelamatkanmu dariku, mimpi saja kau!"

Didorongnya gadis itu kearah meja makan—gadis itu bertumpu pada meja dihadapannya. Pinggangnya terkena suduh meja yang terasa sangat ngilu, dirinya terkulai lemas kebawah, tak sanggup lagi menahan bobot tubuhnya. Apalagi disaat tubuhnya yang dirasa kurang sehat.

Allesia bergerak menjauh kala merasa aska mendekat lagi padanya. "Biarkan aku menjelaskannya kakak, itu tidak seperti yang kau pikirkan. Aku, aku—tak melakukan itu karna keinginanku, dia—,"

Plak!

Satu tamparan aska layangkan kepipi tirus itu. Emosinya sedang meledak- ledak sekarang, tak perduli apa yang akan dikatakan allesia, setan dalam dirinya memilih untuk tidak perduli.

Gadis itu memegang pipinya yang terasa nyeri, kesadarannya hampir hilang. "Sungguh, percayalah kak. Apa yang terlihat tak seperti yang kau bayangkan. Kami hanya teman, itu hanya sebuah kesalahan, sungguh percaya padaku."

Plak!

Wajah allesia terlempar kesamping, saat pipinya ditampar sekali lagi. Wajah pucat itu kini berubah memerah disertai air mata. Gadis itu terkulai lemas—aska tak akan percaya padanya.

"Kau—apa kau tau apa yang didapatkan naina ketika kau berbicara padanya? Apa kau tidak melihat bukti dari kehancuran yang bahkan bisa kuberikan padamu juga. Semua yang kau katakan, kau pikir aku akan percaya ?"

Aska menjambak gadis itu untuk menatapnya. "Aku bahkan mengancammu, tapi apa yang kau lakukan. Kau bahkan tidak perduli gadis sialan!"

"Hukuman seperti apa yang cocok untukmu, hm ?" Ucapnya menatap gadis itu lekat-lekat.

Gadis itu semakin menangis. "Jangan kak, sudah. Tolong ampuni aku." Katanya sambil menatap aska sendu. Ketika mendapati naina yang turun dengan bayi digendongannya, gadis itu menatap naina penuh harap—berharap naina akan datang dan menolongnya.

Pria itu melihat lirikan mata gadisnya. "Kau melihatnya—tapi untuk apa, dia tak akan mampu menolongmu. Menangislah, menangis untuk kehancuranmu allesia."

"Lepas! Lepas kak! Ampun, aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi. Tolong ampuni saja aku kakak." Teriak gadis itu disela jambakannya.

Aska menyeringai. "Naina! Pergi dari sini segera, hingga waktu yang kutentukan. Cepat pergi dan bawa bayimu juga. Jangan kembali sampai waktu yang kutentukan, cepat!"

Naina terpaku, cukup kaget dengan kegaduhan tadi—hingga membuatnya keluar dari kamar dan melihat kejadian ini. Aska, tak pernah ia kira akan menyakiti allesia sampai seperti itu, tapi apa boleh buat, dirinya juga tak berniat untuk menolong gadis itu. Memilih tak perduli ia arahkan kakinya keluar—pergi sampai aska memanggilnya kembali.

Aska menyeret allesia keatas—tepat kearah kamar utama. Itu adalah kamarnya. Langkah allesia terjatuh-jatuh, bahkan ia tak bisa mengimbangi kecepatan aska berjalan. Ia coba berontak, bahkan coba menggigit tangan kakaknya, namun nihil. Tak berpengaruh sama sekali pada aska.

Satu tangan aska menarik allesia kuat. Satunya lagi membuka pintu kamar itu dengan kasar—ia lemparkan tubuh lemas itu diranjangnya. Satu kakinya menendang pintu itu agar tertutup kuat. Tak lupa mengunci pintu itu. Emosi membakarnya. Ia tarik dasi yang mengikat lehernya sedari tadi. Melihat langkah allesia yang mundur ia tarik kaki gadis itu agar terlentang dihapannya—menarikknya kuat hingga tatapannya bertemu dengan gadis itu.

"Apa kau ingin mengetahui sebuah rahasia ? semua yang dikatakan naina memang benar. " ucapnya sambil mengikat kedua tangan itu dengan dasinya kuat-kuat.

Allesia terpaku, tak sadar kedua tangannya sudah berpindah keatas kepalanya. Kepalanya berfikir keras tentang kalimat yang aska berikan.

"Aku mencintaimu, sudah sangat lama." Katanya sambil melebarkan kedua kaki gadis itu. Lagi-lagi allesia belum sadar akan posisi mereka.

Aska mengelus pipi merah itu pelan. "Sejak kita kecil, sejak kau manja padaku, sejak kau meminta perhatianku, aku tidak ingat sejak kapan. Tapi kau bahkan tak pernah melihatku—kau bahkan berciuman dengan temanmu."

Gadis itu menatap kakaknya, terdiam membisu. Kedua matanya berlinang air mata.

"Aku bahkan membawa beberapa gadis yang kukenalkan padamu, tapi kau—tak terlihat perduli sama sekali. Aku membawa mereka semua untuk melihat reaksimu. Apa kau akan cemburu—tapi ternyata tidak, semuanya palsu allesia. Wanita-wanita itu semua palsu hanya untuk mengelabuimu."

Aska mengecup bibir pucat itu sekilas. Wajah allesia bak orang gila sekarang, rambutnya acak-acakan, wajahnya memerah. Berbeda dengan aska yang sangat dikuasai emosi sekarang.

"Aku sangat membencimu, tapi tak sebesar rasa cinta yang kupunya untukmu allesia."

Aska menenggelamkan kepala disela leher gadis itu—wanita yang bahkan tak sadar bahwa pakaiannya sudah tanggal semua. Baik dirinya maupun aska, entah sejak kapan.

"Aku tak akan bisa melihatmu mencintai siapapun, sampai aku mati." Ucap aska sendu. "Dengan cara apapaun, kupastikan aku akan jadi pemenangnya."

"Kau egois." Tiba-tiba gadis itu bersuara. "Lepaskan aku." Ucapnya dingin.

"Tidak akan pernah, kecuali aku mati."

Hal yang terjadi selanjutnya adalah penyatuan tubuh yang dilakukan paksa oleh aska. Meski telah berontak sekuat mungkin namun tenaganya kalah kuat dengan aska, disamping itu tak kuat menahan kesedihannya—hingga membuat gadis itu pingsan ditengah pergumulan mereka. Aska bahkan tak perduli, baginya ini satu-satunya cara memiliki adik cantiknya itu.

"Aku mencintaimu. " aska mengecup kening itu lama, tubuhnya terkulai kesamping. Terbesit senyuman cerah diwajahnya, untuk pertama kali rasanya ia senang sekali, seperti mendapat bongkahan berlian rasanya. Ingin sekali ia berteriak pada dunia bahwa allesia adalah miliknya. Ya, hanya miliknya.

Silahkan maki aska sepuasnya, tidak ada larangan kali ini🩶

🍒🍒

Sorry Lia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang