5. We Made a Start

220 26 0
                                    

Makasih yang masih betah di sini ^^, happy reading~

.

.

Meletakkan tas kerja dan jas pada salah satu kursi yang mengelilingi meja makan, Reno melepas jam tangan serta menaruh benda itu di atas meja. Kemudian sembari melonggarkan dasi, ia beranjak mengambil gelas. Membuka kulkas untuk menemukan sebotol air dingin, ia tuang ke dalam gelas hingga penuh. Merasakan sensasi dingin yang mengalir di tenggorokan hingga ke perut, Reno mendesah lega di akhir kegiatan minumnya.

Habis ini, mungkin ia akan olahraga sebentar di ruang gym pribadi yang terdapat di salah satu sudut rumah luas ini. Lalu mandi, makan, baru bersantai sampai kantuk menjemput. Biasanya, sebelum mandi, Reno merokok di balkon kamar. Namun, ia putuskan untuk tidak kali ini karena sudah menghabiskan tiga batang rokok di sela-sela jam kerja tadi. Batas yang Reno tetapkan untuk dirinya sendiri.

Terdengar langkah kaki menapaki tangga, membuat pria itu berbalik badan, menemukan anak gadisnya sedang membawa piring kosong. Bisa ditebak, Jane menyantap makan malam di kamar.

"Hi, Dad," sapa Jane, sama sekali tidak antusias.

"Hi, Sweetheart." Reno membalas tanpa melepas Jane yang beranjak ke tempat cucian piring dengan langkah gontai. "Why the long face? Is everything okay?" tanya pria itu.

Jane membuka keran air, hendak mencuci piring kotor miliknya. "No. Not at all. By the way, ada sop ayam di meja. Kalo udah dingin, Daddy angetin sendiri ya, sebelum makan. Sorry, aku tinggal makan duluan. Abis Daddy lama banget pulangnya."

Tinggal berdua, Jane otomatis menjadi koki di rumah ini. Kebetulan, ia memang hobi mencoba-coba resep. Kalau untuk beres-beres rumah, Reno telah menyewa pekerja yang datang pagi-pagi dan pulang sore hari.

Membuka tudung saji, Reno berusaha membangkitkan suasana hati putrinya. "Makasih ya, udah dimasakin. Yang kali ini pasti juga enak kayak biasanya."

Kehangatan pria itu memang sudah tercurah sepenuhnya kepada Jane seorang. Itu sebabnya, yang tersisa untuk orang lain hanya sikap dingin dan ketus. Reno memang tidak repot–repot memikirkan perasaan orang lain, selama putri semata wayangnya baik-baik saja.

"Mau temenin Daddy makan?" Mengurungkan niat olahraga dan mengundur jadwal mandi, pria itu memilih menggunakan waktu bersama Jane. Untungnya, gadis itu mengangguk setelah menyeka tangannya yang basah.

"Jadi, ada cerita apa hari ini?" ujar Reno saat mencedok nasi ke atas piring. Masih ingin menggali alasan dibalik wajah muram gadis itu.

Menarik napas berat, Jane menggerutu, "Tuh, si Nalapetaka."

"Kenapa? Berantem lagi?" Kali ini Reno mengisi mangkoknya dengan kuah sop.

"Aku sekelompok sama dia. Mana cuma berdua lagi, ngeselin."

"Tugas apa?"

"Jadi, kita disuruh buat biografi gitu. Terus nggak pake ba-bi-bu, tiba-tiba dia langsung mutusin, maminya yang bakal jadi narasumber."

Sambil mengunyah, Reno manggut-manggut. "Kamu maunya orang lain?"

"Ya, jelaslah. Nala sama maminya itu sama-sama nyebelin. You remember what she said about me, right? Dia secara nggak langsung bilang aku membawa pengaruh buruk buat sekolah. Apa tokoh masyarakat begitu yang harus aku interview?" Jane bersedekap, geram, hampir memutar bola mata ketika kenangan pahit itu melintas di kepala.

Menanggapi lonjakan emosi putrinya dengan tenang, Reno yang penuh wibawa, bicara lembut. "Memang kamu maunya siapa yang jadi narasumber? Daddy banyak kenalan, bisa diusahain buat kamu."

I Guess It's OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang