2. Memories Bring Back You

280 32 0
                                    

Boleh kasih vote-nya?😚
.
.
.

Bunyi klakson kendaraan di mana-mana membuat Nala mendengkus. Terjebak macet adalah hal paling suram untuk memulai hari Rabu. Ia melirik jam yang melingkar di tangan.

“Telat ini mah nyampe sekolah,” rutuknya pelan. “Mami sih kelamaan dandan, cuma ke sekolah doang padahal.”

“Hei, mau ke sekolah kek, kantor kek, bahkan cuma tidur-tiduran di rumah aja, Mami harus tetap kelihatan cantik. Lagian, gara-gara siapa Mami pagi-pagi harus ke sekolah gini?” sahut Thea tidak terima disalahkan.

Setiap pergi dan pulang sekolah, biasanya ada sopir yang akan mengantar-jemput Nala. Namun, karena hari ini Thea juga harus datang ke sekolah akibat anaknya membuat masalah dengan teman sekelas, ia juga diminta hadir oleh kepala sekolah.

Belum puas membuat anak gadisnya merasa bersalah, Thea mengulurkan tangannya ke sebelah. “Tuh lihat, karena buru-buru, kutek Mami jadi rusak kepentok pintu. Ini baru kemaren lho Mami nail art.”

Nala tidak begitu suka dengan perawatan diri dan perintilan perempuan-perempuan pada umumnya, agak pusing menghadapi ibunya sendiri. Meskipun, ia juga sudah terbiasa karena seumur hidup bersama. Soal kemarin Thea yang mau membelikan paket make up juga bukan keinginan Nala. Thea hanya berusaha menumbuhkan minat gadis itu, setidaknya untuk mengenal barang-barang wanita seperti kebanyakan remaja SMA.

Mereka memang berbeda. Nala lebih suka berpenampilan sederhana, sementara Thea senang tampak menonjol. Lihat saja sepasang anting berbentuk bulatan besar yang bergantung di telinga, juga kacamata cokelat yang bertengger di hidung. Mengenakan tanktop hitam dibalut outer putih berbahan tweed, serta rok kulit dan sepatu bot setinggi mata kaki, Thea tampak seperti model-model fashion show, bukan mendampingi anak ke sekolah.

Nala mendengkus. Terserah saja ibunya mau berpakaian seperti apa, asalkan, “Nanti kalo ketemu orangtua Jane, Mami jangan nyolot, ya.”

“Terus Mami harus diem aja? Jelas-jelas anaknya duluan yang jambak kamu. Pokoknya, Mami nggak terima.”

“Ini ‘kan harusnya masalah kami berdua, nggak perlu libatin orangtua. Please, biarin aku selesaiin masalahku sendiri.”

Thea terperangah oleh seorang gadis yang memiliki pemikiran jauh lebih dewasa daripada umurnya. “Wow, look who all grown up. Aneh banget kamu bisa terlibat berantem yang kayak anak-anak begini.”

Tidak menjawab lagi, Nala bertopang dagu dengan malas, melempar tatapan ke luar jendela, hingga pintu gerbang sekolah sudah terlihat di ujung jalan.

Sekelebat ingatan berputar di dalam kepala Thea. Dulu, ia juga bersekolah di sini, Cendekia Bangsa. Sekolah bergengsi yang terdiri dari dua gedung besar, memisahkan antara murid SMP dan SMA. Meskipun telah mengalami renovasi ke model bangunan yang lebih modern, tetapi sama sekali tidak menghilangkan citra baiknya. Sudah banyak orang-orang sukses yang lahir dari institusi ini, termasuk Thea sendiri.

Lingkungan sekolah tampak sepi, menandakan kegiatan belajar telah berlangsung. Angin sejuk pagi hari menerpa wajah Thea dan Nala yang sedang berjalan berdampingan menuju ruang kepala sekolah.

Pintu diketuk dua kali oleh Thea, sebelum ia memindahkan kacamata ke atas kepala. Kemudian, seorang wanita sepuh menyambut kedatangan mereka dengan senyum sopan.

“Pagi, Bu,” sapa Thea terlebih dahulu sambil menjabat dan mencium tangan sang guru, kemudian disusul Nala.

Hesti adalah seorang guru yang juga mengajar Thea di bangku SMP. Sekarang, beliau menjadi kepala sekolah SMA Cendekia Bangsa.

I Guess It's OverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang