03 | secret gardens in my mind

523 138 22
                                    

Dewa melirik jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sesuatu yang tidak aneh lagi untuknya. Pria itu membuka pintu mobil. Duduk di belakang kemudi. Saat hendak meletakkan tasnya di jok belakang—pandangannya teralih pada paper bag bewarna putih.

Ia berniat memberikan lagi dress tersebut pada Nina. Tetapi Dewa tidak sempat karena terlalu sibuk. Ia juga jarang melihat Nina belakangan ini. Biasanya gadis itu selalu berdua bersama Daisy—gebetan Risyad—duduk di TheWall setiap Jum'at siang. Atau mengantri di kantin bersama teman laki-lakinya.

Nina bukan wajah baru dalam pengelihatan Dewa. Ia cukup sering melihat Nina—meskipun Dewa tidak yakin gadis itu menyadari eksistensinya. Dewa juga tidak tahu kenapa Nina menarik perhatiannya. Mungkin karena gadis itu tidak seperti wanita lainnya—yang menatap Dewa penuh pemujaan dan memberinya berbagai hadiah. Nina sangat cuek. Ia tampak selalu sibuk dengan urusannya sendiri sampai tidak peduli dengan sekitarnya.

Atau bisa jadi karena gadis itu ... cantik?

Well, laki-laki mana pun pasti menganggap Nina cantik. Meskipun gadis itu selalu berpenampilan simpel—yang mana high waist jeans, kaos, dan kemeja adalah pakaian yang sering dipakai Nina—hal itu tetap membuat Nina tampak menarik. Tak kalah menarik dari Daisy yang selalu mengenakan outfit mencolok dengan warna-warna terangnya.

Kejadian beberapa hari yang lalu betul-betul ketidaksengajaan. Dewa sama sekali tak berniat modus pada Nina. Gadis itu memang menarik perhatiannya. Namun Dewa belum berpikir mendekati Nina karena ia sudah cukup sibuk untuk melakukan pendekatan dengan seorang wanita.

Terlebih, Nina tak menunjukkan ketertarikan padanya.

Dewa menarik badannya menghadap kemudi. Pria itu menyalakan mesin mobil kemudian memanuver kendaraanya keluar dari basement. Malam ini ia tidak langsung pulang ke apartemen. Dewa akan mampir ke Salio bertemu teman-temannya. Sebuah bar yang cukup populer di Senopati. Sudah cukup lama Dewa absen—kali ini mereka berniat menyeret Dewa keluar dari kantor kalau menolak ajakkan mereka.

"Wih, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga," Angga menyapa sambil tersenyum sumringah. Mengadukan tinju tangannya dengan Dewa yang duduk di sebelahnya. "Emang bangsat bos lo, Wa. Lo disuruh lembur, sementara dia malah pulang duluan dan asik-asikkan nongkrong di Salio." Kata Angga mengerling pada Peter yang cuma cengengesan.

"Nggak usah ngehasut karyawan terbaik gue ya, Ngga!" tukas Peter yang duduk di hadapan Angga.

"Mending lo buruan resign terus gabung ke perusahaan bokap lo." Saran Kemal. "Atau minta bokap lo inventasi supaya lo bisa bikin firma arstitek sendiri."

"Heh! Apaan?!" Peter menyela keras. "Nggak usah ngasih ide ke Dewa, ya. Nggak ada Dewa, kelar gue sama bokap gue."

Angga dan Kemal tertawa. Sementara Dewa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak berniat bergabung dengan perusahaan keluarganya yang bergerak di bidang properti—meskipun sampai sekarang ayahnya belum menyerah untuk membujuknya. Dewa tahu, sebagai anak satu-satunya, ia adalah harapan kedua orang tuanya. Namun Dewa ingin menentukan sendiri jalan hidupnya. Ia ingin membangun karir dengan kedua tangannya sendiri. Mungkin beberapa orang menganggap keputusannya adalah keputusan yang konyol. Tapi hidup hanya sekali, dan ia akan melakukan apapun yang ia mau.

"Anyway, lo bisa keluar gini, apa cewek lo nggak marah?" Peter balas menyerang balik Angga. "Ngeri banget gue ntar Emila tiba-tiba muncul dari pintu terus nyeret lo keluar."

"Yaa, si Angga nggak bilang makanya nggak marah." Timpal Kemal sambil tertawa.

"Lagian cewek posesif gitu masih mau aja," ledek Peter sambil mengangkat gelasnya. "Mau gue cariin cewek nggak?"

Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang