PROLOGUE

2.2K 227 46
                                    

Career shifting dari staff keuangan ke copywriter adalah keputusan yang tak akan pernah Nina sesali. Tiada hari tanpanya mengeluh setiap kali berangkat ke kantor. Diperparah dengan lingkungan kerja yang toxic—makin bulat lah tekad Nina untuk resign.

Kalau dipikir-pikir, Nina memang tidak cocok dengan pekerjaan itu. Jika bukan demi menyenangkan mamanya yang menginginkan Nina bekerja di kantor bude-nya—mungkin Nina tidak akan menerimanya sejak awal.

Nina suka membaca. Sebab itu, menulis sudah lama menjadi hobinya. Nina tidak pernah tahu hobinya itu dapat menghasilkan uang sampai ia berada di semester empat. Karena tulisannya Nina tidak perlu meminta uang bulanan pada sang mama dan membayar uang kuliahnya sendiri. Bisa dibilang, Nina sudah hidup mandiri sejak kuliah.

Tapi tetap saja, bagi sang mama, itu tidak menjanjikan. Dan sebagai anak pertama yang memiliki satu orang adik, Nina tahu dia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keluarganya. Terlebih mamanya sudah cukup tua untuk terus bekerja. Meskipun mamanya tidak pernah membebankan Nina dengan tanggungjawab itu, Nina tidak bisa mengabaikan hal tersebut.

Hanya mama orang tua yang ia punya. Hanya Kian saudara yang ia punya. Nina akan melakukan apa saja untuk mereka berdua.

Cukup sulit meyakinkan mama saat Nina mengatakan ingin resign dan career shifting. Tapi Nina tahu mama akan luluh dan mendukung keputusannya selama Nina yakin dan percaya akan keputusan yang ia ambil. Mama selalu begitu, keras di awal, tapi lama-lama akan luluh ketika anaknya kelihatan sangat bertekad.

Itu juga lah yang meyakinkan mama untuk mendukung Kian kuliah kedokteran meskipun mama tahu biayanya tidak sedikit.

Sudah empat tahun Nina bekerja di Sembagi sebagai senior copywriter. Sebuah Crative Agency yang berada di bawah naungan Semanjaya Group. Kantor mereka berada di lantai lima belas Wisca Tower. Daisy—HRD Sembagi sekaligus teman kantornya mengatakan kalau Wisca Tower adalah surganya priaa-pria tampan.

Well, Nina tidak teralu peduli soal itu. Tapi dia mengakui Daisy benar.

Jum'at siang mungkin adalah hari yang paling ditunggu oleh para wanita di Wisca Tower. Penuhnya TheWall—coffeshop dekat kantor—bukanlah pemandangan luar bisa untuk Nina. Dia tahu alasan kenapa mereka semua ada di sini. Dan alasannya sama seperti yang Daisy lakukan.

Apalagi kalau bukan menunggu Mas-Mas ganteng Jum'atan?

Biasanya segerombolan pria dengan wajah rupawan dan badan fit hasil gym itu akan mampir ke TheWall untuk membeli kopi. Jika beruntung, beberapa dari mereka akan melanjutkan obrolan mereka di salah satu meja.

"Gue nggak ngerti, deh." Nina mengerutkan kening, menekan ujung pen-nya di kening. "Lo kan Kristen, Sy. Dan gue yakin lo nggak ada keinginan buat log in. Terus kenapa lo ikut-ikutan nungguin mereka Jum'atan, sih?"

"Lho, emang kenapa? Memang gue nggak boleh ikut menganggumi ketampanan mas-mas ganteng Jum'atan?" Daisy menyahut enteng. Menyibak rambut bergelombang hasil nyalonnya ke belakang. "Lagian ya, Nin. Gue yang nggak ngerti sama lo. Jelas-jelas mereka semua seiman sama lo. Kenapa lo kayak nggak pernah berminat sih setiap gue ajak nongkrong di sini?"

"Gue nggak ada waktu buat pacaran."

"Atau jangan-jangan lo malah sama kayak gue lagi," Daisy melemparkan senyum separo.

"Maksud lo?"

"Sukanya sama yang beda agama," Daisy menaik-turunkan alisnya.

Nina memutar bola mata. Sejak orang-orang tahu jika ia adalah mantan pacar Samudera. Semua orang sering meledek Nina belum move on makanya sampai sekarang belum punya pacar. Padahal Nina tidak lagi punya perasaan pada Samudera. Ia hanya menganggap pria itu sebagai teman dan kakak laki-lakinya.

Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang