Akibat dari tindakkan implusifnya yang membatalkan kencan—keesokan harinya, sang mama menemui Dewa di kantornya. Wanita paruh baya tersebut masih tampak cantik diusianya yang akan menginjak angka lima puluh delapan tahun. Dengan tubuh mungil, Kinanti Ayu kelihatan lebih muda dari usia aslinya. Ekspresi wajahnya yang tenang membuat mamanya memancarkan kelembutan. Padahal Dewa tahu, di dalam hatinya, mamanya menyimpan kekesalan padanya.
Terbukti, ketika Dewa menyapa sang mama dengan senyum di wajah, Kinanti menghadiahinya tatapan tajam lalu meneruskan langkah meminta Dewa mengikutinya. Mereka pergi ke salah satu restoran yang tak jauh dari kantor Dewa, menikmati brunch dalam keterdiam sebelum akhirnya Dewa berdeham dan bersuara.
"Aku udah minta maaf sama Mara" Jelas Dewa. "Dan kami udah sepakat buat nggak meneruskan kencannya karena Mara juga terpaksa, Ma. Dia nggak tertarik sama aku."
"Kalian belum pernah ketemu udah bilang nggak tertarik." Dengus Kinanti. Ia meletakkan garpu dan steak knife-nya dengan anggun. "Seharusnya ketemu dulu baru bilang nggak tertarik. Kamu juga. Bukannya udah janji sama mama. Kok tiba-tiba malah kamu batalin sih, Mas?"
Dewa ikut meletakkan garpu dan steak knife-nya. Menggerakkan salah satunya tangannya mengusap tengkuk. "Aku lagi bantuin teman, Ma."
"Bantuin temen?" Kening Kinanti mengerut. Meneliti ekspresi putranya lamat-lamat."Temen yang mana? Angga? Kemal?"
Dewa menggeleng.
"Dia baru pindahan. Jadi aku bantuin." Terang Dewa yang memancing rasa penasaran Kinanti.
Tidak mungkin teman yang Dewa maksud berjenis kelamin laki-laki. Jarang sekali teman laki-laki meminta bantuan pindahan.
"Temen cewek? Atau cowok?" desak Kinanti.
Dewa merapatkan bibir. Menyadari ia telah memberi celah bagi sang mama untuk mencuriganya. Mamanya tidak akan menyerah. Beliau teliti dan cerdas. Hanya dengan satu kalimat, dia bisa mendapatnya banyak pertanyaan dari sana. Jadi, tidak ada gunanya mengelak atau berbohong.
"Cewek."
Dalam sekejap, ekspresi Kinanti langsung berubah ceria. Bibirnya berkedut menahan senyum. Sudah lama sekali ia tak mendengar Dewa membicarakan wanita dengannya.
"Gebetan ya, Mas?" tanya Kinanti lebih bersahabat.
"Mmm ... probably?" Dewa menjawab tak pasti. Karena perasaannya pada Nina pun belum benar-benar jelas. Ia tidak tahu rasa ketetarikannya hanya sesaat karena Nina mengabaikannya ... atau ini adalah ketertarikan yang mendalam. Dewa sudah tidak muda lagi. Bukan waktunya ia mencoba-coba. "I'm looking for."
"Teman kantor? Atau ...?"
"Bukan teman kantor." Dewa menggeleng. Belum ingin memberikan informasi yang lebih mendetail pada Kinanti. "Bukan juga teman lama."
"Terus?"
Dewa tersenyum kalem. Mengambil tangan mamanya di atas meja lalu mengenggamnya dengan lembut. "Nanti aku kasih tahu Mama kalau udah ada perkembangan, ya."
"Dia nggak suka sama kamu, Mas? Atau dia udah punya pacar?" Kinanti jelas belum menyerah.
"Later, Ma." Dewa berkata lembut. "Nanti pasti aku kasih tahu Mama. Tapi nggak sekarang. Okay?"
Mata Kinanti menyipit. "Ini bukan cuma alasan kamu aja biar mama nggak desak kamu buat ikut kencan lagi, kan?"
"No, of course, not." Dewa menggeleng meyakinkan. "Aku masih mau cari tahu perasaanku sama dia. Lagian, aku nggak mau buru-buru." Sebuah senyum kecut di bibir Dewa membuat Kinanti melunak. "Aku nggak mau salah pilih lagi dan bikin mama kecewa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Called It Love
Fiksi UmumDibuat patah hati oleh orang yang paling ia sayangi membuat Kanina muak akan hubungan asmara. Ia tak lagi tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun. Lebih baik ia sendirian sehingga tak perlu takut disakiti. Sampai seorang pria yang bekerja di tow...