04 | help her

643 146 47
                                    

Pertemanan Nina dengan Sisy baru dimulai sejak ia resmi bekerja di Sembagi. Tentu, yang pertama kali mendekati adalah Sisy karena Nina terlalu pendiam untuk melakukan itu duluan. Orang-orang berkata, teman kantor sebaiknya tidak dijadikan sahabat. Tetapi bagi Nina, Sisy adalah teman terbaik yang ia miliki. Meskipun Sisy luar biasa bawel—namun kebawelan itu lah yang mewarnai hari-hari Nina.

Kehidupan Nina di kantor akan terasa membosankan jika tidak ada Sisy.

Lebih dari pada itu, Sisy sangat ceria dan baik. Saking baiknya, Sisy kadang terlalu royal. Untuk Nina yang tipe tidak suka merepotkan orang lain, pertolongan Sisy membuatnya terbebani. Nina akan merasa berhutang budi dan tak akan tenang sebelum bisa membalasnya.

"Sy, gue kan minta tolong nyariin gue apart yang biasa aja. Tipe studio juga udah cukup buat gue kok," ujar Nina. "Ini kenapa jadi tipe dua kamar gini?"

Sepulang kantor, Sisy mengajak Nina bertemu Mbak Nia—sepupunya yang ingin menyewakan apartemennya pada Nina—di sebuah caffeshop di daerah Kuningan. Hanya saja, Nina tak menyangka jika apartemen yang ditawarkan itu tipe dua kamar dengan harga yang terlalu miring. Nina sudah ingin menolak. Tetapi Mbak Nia malah yang memohon agar Nina mau tinggal di apartemennya.

"Mbak Nia itu udah kaya. Udah lah, lo tenang aja." tukas Sisy mengibaskan tangan. "Dia juga trauma nyewain apartnya ke orang yang nggak dikenal. Kemarin aja pintunya sampe rusak, AC rusak. Entah diapin sama tuh orang. Pas diminta pertanggungjawaban, orangnya malah ngilang nggak bisa dihubungin. Makanya Mbak Nia was-was. Dia kan mau ke Amrik ikut suaminya. Kalau disewain ke orang yang nggak dikenal, dia susah mantau. Pas gue cerita lo lagi cari apart, Mbak Nia langsung nawarin apart-nya. Dia malah senang banget pas tau lo nyari apart. Dia percaya lo orangnya nggak barbar."

"Tetap aja, Sy. Harganya kemurahan," Nina meringis. "Gue kan jadi nggak enak."

"Nina, lo nggak perlu ngerasa nggak enak. Toh, lo kan nyewa. Nggak gratis. Mbak Nia juga nggak masalah. Dia senang, lo senang. Case closed," ucap Sisy. "Plus, kalau adek dan ibu lo ke apartemen lo, mereka bisa nginep."

"Iya sih ... tapi ..."

"Come on, Nin. Lo orangnya baik, makannya hal-hal baik juga mengikuti lo. You deserve this. Don't think too much, okay?"

Nina menghela napas dengan sebuah pemikiran ironi di dalam kepalanya. Ia tak pernah menganggap dirinya baik. Nina bukan manusia sempurna. Ada kebencian di dalam hatinya yang membuatnya tidak bisa memandang dunia dengan cara positif seperti Sisy. Nina akan selalu curiga saat ketika seseorang berbuat baik padanya. Bahkan pada Sisy—orang yang ia percaya saja, terkadang Nina masih seperti itu. Padahal ia tahu Sisy orangnya memang tulus.

"Nanti lo temenin gue cari sesuatu buat Mbak Nia sebagai ucapan terima kasih gue. Okay?"

"Okay, sis!" Sisy bersorak senang sambil bertepuk tangan heboh. "Ntar gue bantuin lo pindahin. Ah, apa gue minta tolong Mas Risyad juga kali, ya?" katanya tiba-tiba mendapat ide.

"What? Jangan, jangan!" Nina yang hendak minum matcha latte-nya sontak kembali menaruh gelas ke mejanya. "Nggak enak lah gue. Kenal dekat juga nggak."

"Tapi kan gue kenal."

"Kan elo yang kenal, Sisy. Gue nggak."

"Kalian udah pernah kenalan." Sisy bersikeras. "Lagian, kita butuh cowok buat pindahan elo, Nin."

"Ada adek gue."

"Dua cowok bakal bikin pindahan lo lebih gampang." Sisy manaik-turunkan alisnya.

"Sisy, nggak." Ucap Nina tegas.

"Nin, please ... biar gue punya alasan ketemu Mas Risyad." Mohon Sisy sambil menangkupkan tangannya. Jurus andalannya agar Nina melunak. "Please, please, please."

Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang