01 | a not so meet cute

758 146 43
                                    

Bekerja di industri kreatif kerap kali dipandang sebelah mata. Padahal jika dikaji, pekerjaan itu tidak semudah kelihatannya.

Ada masa dimana Nina bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang ia lakukan di tempat ini saking mumetnya. Otaknya diperas habis untuk membentuk satu kalimat yang kata orang 'gitu doang'. Padahal mereka tidak tahu saja proses dibaliknya bisa berdarah-darah.

Yeah, orang-orang salah jika berpikir dengan bekerja di industri kreatif akan membuat hidupnya lebih mudah. Bebas mengatur waktu dan bisa bekerja dimana saja. Mungkin bagian itu memang benar. Tetapi membuat hidupmu lebih mudah? Absolutely not.

Bekerja di industri kreatif terkadang membuatmu tidak punya kehidupan. Kamu akan dikejar oleh banyak deadline dan dituntut untuk selalu berpikir kreatif tanpa batas. Bukannya mau menakuti-nakuti, tetapi itu lah realita yang sesungguhnya.

Meskipun begitu, Nina tidak pernah menyesal akan pilihan karirnya. Ia sudah suka menulis sejak SMP. Dimulai dari menulis fanfiction Justin Bieber sampai akhirnya ia mengenal dunia blog. Nina menulis apa saja yang membuatnya penasaran. Melakukan riset-riset kecil melalui internet untuk memenuhi rasa ingin tahunya lalu ia sampaikan lewat tulisan.

Menulis selalu menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi Nina. Dan ketika hal itu ia jadikan pekerjaan ... well ... tidak bisa dipungkiri, terkadang ia jenuh dan muak. Namun bukan berarti Nina jadi tidak lagi suka menulis. Nina suka menulis. Akan selalu menyukainya. Hanya saja, kejenuhannya dan rasa muak itu akan menghantarkannya pada writer block. Apabila itu terjadi, jelas pekerjaannya terhambat. Semua planning yang ia susun berpotensi berantakkan.

"Teh, jajan dulu lah. Ngopi, kita, ngopi. Lo kalau maksain otak lo mikir padahal dia udah capek, nggak bakal dapet, Teh." Adalah Nalendra—desain grafis yang satu tim dengannya dalam project brand parfume yang baru saja mereka dapatkan. "Yuk, come on, nanti Teteh yang neraktir ya."

"Kok gue yang neraktir?!" delik Nina sambil melotot ke Nalendra.

Nalendra cengengesan. "Akhir bulan, Teh. Tolong bantu lah. Gue lagi nabung beli alphard, Teh. Biar nggak kalah keren dari Mas Jordan sama Mas Sam."

Nina mendengus. "Bergaya sesuai kemampuan lo, Nalendra." Katanya seraya bangkit berdiri yang membuat Nalendra tersenyum lebar. "Malah senyum lo. Gue serius. Jangan maksain diri kayak orang lain gitu. Jadi diri lo sendiri apa adanya nggak akan bikin lo nggak keren kok."

"Jadi, gue sekarang udah keren nih, Teh?" tanya Nalendra dengan senyum tengilnya.

Nina memutar bola mata. "Mau ditraktir atau nggak, nih?"

"Iya, Teh, iya." Nalendra langsung mengangguk cepat. "Tapi gue beneran ditraktir, kan?"

"Iyaaa," kata Nina sambil mengambil dompetnya. "Tapi abis ini lo serius, ya. Kalau nggak kita lembur! Mas Sam udah nanya-nanya progress kita nih."

"Ya elah. Mas Sam nanya paling basa-basi doang. Lo kan mantannya, pasti dapet kelonggaran lah."

"Kelonggaran kepala lo!" Nina mencak-mencak. Tangannya sudah terkepal di udara hendak menonjok Nalendra. Tapi melihat pria itu hanya cengengesan, Nina membuat napas lantas menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yaudah, buruan beli kopi!"

Nalendra memang selalu santai setiap kali mengerjakan project. Meskipun begitu, ide yang dicetuskannya terkadang sangat menarik dan out of the box. Sebab itu, Nina senang-senang saja satu team dengan Nalendra—meskipun terkadang pria itu suka menggampang sesuatu dan lebih sering mengajaknya makan dibanding meeting.

Alasannya sih sebelum bertempur, dibutuhkan amunisi.

Mereka turun ke bawah menggunakan lift menuju kantin. Sepanjang itu, Nalendra malah mengajak Nina membahas gosip terpanas alih-alih project mereka.

Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang